Kehidupan Alexa dibuat berubah sejak kedatangan lelaki yang berhasil membuat setetes air matanya jatuh dipertemuan pertama mereka. Dalam kekosongan hidupnya, Alexa menemukan Elio lelaki yang mengubah segalanya. Bersama Elio, ia merasakan kebebasan dan kenyamanan yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Meskipun banyak yang memperingatkannya tentang sisi gelap Elio, hatinya menolak untuk percaya. Namun, ketika sebuah peristiwa mengguncang dunia mereka, keraguan mulai merayap masuk, memaksa Alexa untuk mempertanyakan pilihannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhea Annisa Putri Sofiyan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aftermath
Axel mengguncang tubuh Alexa yang lemas, tapi tidak ada reaksi. Wajah Alexa pucat, matanya tertutup rapat, dan napasnya lemah. Tanpa berpikir panjang, Axel mengangkat tubuh Alexa dalam pelukan, lalu bergegas menuju mobilnya yang terparkir di luar.
Dengan hati-hati, Axel membaringkan Alexa di kursi belakang. Tangannya gemetar saat menutup pintu, sebelum ia berlari ke kursi pengemudi. Begitu masuk, Axel segera menyalakan mesin mobil dan melaju kencang.
Di sepanjang jalan, Axel tak berhenti melihat ke arah kaca spion, memastikan Alexa masih bernapas di belakang. Pikirannya berkecamuk dengan perasaan bersalah dan takut. Di kepalanya hanya ada satu hal memastikan adiknya selamat.
Sesampainya di rumah sakit, Axel segera memanggil bantuan medis. Beberapa tenaga medis bergegas membawa tandu, dan Axel membantu mereka mengangkat Alexa keluar dari mobil. Mereka langsung membawa Alexa ke ruang gawat darurat, meninggalkan Axel yang kini berdiri mematung di lorong rumah sakit.
Waktu terasa berjalan lambat bagi Axel. Dia mondar-mandir di depan pintu ruang gawat darurat, berusaha menenangkan diri, namun kecemasan dan rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Beberapa kali dia mengusap wajahnya yang kusut.
Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. Axel segera menghampiri dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Axel dengan suara serak.
Dokter itu mengangguk, wajahnya tenang. "Adik Anda mengalami syok dan hipotermia akibat paparan air dingin. Kami sudah menangani kondisinya, dan dia akan pulih. Namun, dia perlu istirahat total untuk memulihkan kondisi fisiknya yang kelelahan."
Axel menarik napas lega, meskipun perasaan bersalah masih membebani dadanya. "Terima kasih, Dok."
Axel kemudian diizinkan masuk ke ruang perawatan tempat Alexa dirawat. Melihat adiknya yang masih terbaring lemah di atas ranjang, Axel duduk di sisi tempat tidur dan menggenggam tangan Alexa, seakan tak ingin melepasnya. Dia mengusap lembut punggung tangan adiknya, mencoba memberikan sedikit kehangatan.
“Maaf, Lex... Gue nggak ada buat lo…” bisiknya pelan. Axel sadar, semua yang terjadi pada Alexa ada kaitannya dengan dirinya. Axel bertekad untuk selalu ada di samping Alexa, tidak akan membiarkan adiknya terluka lagi.
Axel duduk di samping tempat tidur Alexa, masih memegang tangan adiknya yang dingin. Sambil menghela napas panjang, Axel merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ia tahu harus mengabari kedua orang tua mereka, meskipun perasaan bersalah membuatnya ragu.
Ia menghubungi nomor ayahnya, Alex. Telepon berdering beberapa kali sebelum suara berat ayahnya terdengar di ujung sana.
"Halo? Axel?" suara Alex terdengar tegas, namun segera berubah khawatir saat mendengar nada putranya yang sedikit gemetar.
"Pa... ini Axel. Alexa... Alexa ada di rumah sakit," jawab Axel pelan, suaranya bergetar.
"Apa? Alexa kenapa?" suara Alex langsung berubah panik.
Axel menelan ludah, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab. "Alexa ngalamin syok dan hipotermia..tapi, dokter bilang Alexa bakal pulih.. sekarang Alexa lagi istirahat di ruang rawat."
Ada keheningan sesaat di telepon, sebelum Axel mendengar suara ibunya, Alana, yang ikut berbicara.
"Axel, ini Mama.. gimana kondisi Alexa sekarang?" Alana bertanya dengan nada cemas.
"Alexa masih lemah, Ma, tadi sudah ditanganin dokter.. Alexa cuman butuh waktu sampai pulih," Axel berusaha meyakinkan ibunya meski hatinya sendiri masih dipenuhi kecemasan.
Alana menghela napas lega, namun kekhawatiran masih tergambar jelas dari suaranya. "Papa sama Mama bakal segera ke sana, Tolong jaga Alexa sampai Papa Mama datang, ya."
Axel mengangguk meski mereka tak bisa melihatnya. "Iya, Ma.. Axel bakan jagain Alexa"
Setelah menutup telepon, Axel duduk kembali di samping Alexa, tatapannya tak lepas dari wajah adiknya. Kini dia hanya bisa menunggu dengan perasaan campur aduk, berharap Alexa segera pulih dan kedua orang tua mereka bisa tiba secepat mungkin.
Elio merangkak perlahan dari kanvas ring, merasakan setiap detak jantungnya yang berdengung di telinga. Pukulan Axel masih terasa, membangkitkan rasa sakit yang menyebar dari rahang hingga ke seluruh tubuhnya. Dengan napas terengah-engah, ia berusaha bangkit.
Ia merasakan tatapan orang-orang di sekelilingnya, campuran antara rasa penasaran dan simpati. Beberapa teman yang awalnya bersorak kini tampak khawatir. Elio mengabaikan mereka, fokus pada satu tujuan mengambil barangnya dan pergi.
Elio menatap pantulan dirinya di cermin ruang ganti, memperhatikan wajah penuh luka, lebam di rahang, dan darah yang mengalir dari sudut bibir. Ia mengepalkan tangannya, menahan perasaan marah, kecewa, dan bersalah yang bercampur aduk di dalam dirinya. Perkataan Axel terus terngiang di kepalanya, penuh penekanan, “Gue pernah bilang jangan sakitin Alexa.” Elio menyesali semua yang terjadi, namun ia sadar kesalahan yang dibuatnya tak mungkin lagi diperbaiki.
Elio menghantam cermin di depannya, dengan kemarahan yang tak tertahankan, melampiaskan amarah yang meluap.
Prang!
Suara kaca yang retak menggema di seluruh ruangan. Cermin itu pecah, serpihannya berhamburan, beberapa menyayat kulit tangannya hingga berdarah.
Namun, rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan luka di hatinya. Ia berdiri terpaku, menatap darah yang mengalir dari tangannya, berharap rasa sakit itu mampu meredakan kemarahan dan rasa bersalah yang menggerogotinya.
Mengeluarkan tasnya, memasukkan handuk basah dan perlengkapan tinju dengan gerakan cepat.
Setelah mengambil barang-barangnya, Elio melangkah keluar, berusaha menutupi rasa sakit yang mendera. Ia langsung menuju motornya, sebuah motor sport berwarna hitam.
Elio membuka kunci motor dan menaikinya, merasakan getaran familiar dari mesin yang menyala. Dengan sekejap, ia melesat keluar dari area gym, menyusuri jalanan ibu kota yang padat.
Awan mendung menggantung rendah di langit, menandakan hujan mungkin akan segera turun. Namun, Elio tidak peduli. Dia menekan gas memacu motor dengan kecepatan tinggi. Lampu merah menyala di persimpangan, tetapi tanpa ragu, Elio menerobosnya, mengabaikan teriakan marah dari pengendara lain.
Suara klakson dan sumpah serapah dari mobil-mobil yang terpaksa berhenti. Elio meluncur di antara kendaraan, tubuhnya membungkuk rendah mengikuti lekuk jalan, menembus keramaian dengan kecepatan tak terduga.
Setiap belokan Elio mempercepat laju kendaraan. Ia melewati jalanan yang ramai, melawan arus kendaraan Genggaman tangannya pada stang motor semakin kuat.
Elio menyalakan lampu sein dan berbelok ke jalan kecil yang lebih sunyi, memasuki komplek perumahan. Beberapa detik kemudian, ia melambatkan laju motor masuk gerbang berhenti didalam garasi Ia menurunkan helmnya,
berjalan gontai didalam rumah. ia mendapati rumah dalam keadaan sepi, tanpa suara atau tanda-tanda kehidupan.
Masuk ke kamarnya, Elio membanting pintu menjatuhkan tubuhnya diatas kasur. Namun, frustrasinya tak kunjung reda, amarahnya tak terkendali, Ia bangkit mulai mengamuk seolah kesetanan. Ia melempar bantal ke dinding, menendang kursi, dan menabrak meja kecil hingga semua barang di atasnya berantakan di lantai. Vinyl-vinyl favoritnya yang tergantung di dinding ikut terjatuh, beberapa pecah berkeping-keping. Kemarahannya semakin memuncak saat ia mengambil gitarnya, lalu membantingnya ke lantai. Suara kayu yang retak dan senar yang patah menggema di ruangan, tetapi itu tidak membuatnya merasa lebih baik, ia hanya merasa semakin hampa.
Elio berteriak, melepaskan semua kemarahannya di kamar yang sunyi itu.
Barang yang ada dikamarnya hancur berantakan, Elio jatuh terduduk di lantai, di tengah kekacauan yang ia ciptakan sendiri. Napasnya terengah-engah, tangan yang terluka bergetar.
Elio duduk dalam keheningan, memandangi jendela yang memantulkan bayangan dirinya terluka, rapuh, dan tenggelam dalam penyesalan yang mendalam.