Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Juan
Amara mendorong troli tempat obat-obatan keluar dari ruangan salah satu pasien. Kejadian hari ini membuat ia terlambat pulang meski rumahnya hanya di belakang rumah sakit saja.
Arloji di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hari yang semakin larut membuat suasana rumah sakit ini semakin sunyi. Terlebih yang Amara lalui adalah lorong menuju gudang penyimpanan obat yang letaknya di ujung bangunan rumah sakit ini.
Lamat-lamat Amara mendengar suara langkah kaki yang seperti mendekat. Namun saat ia menggerakkan lehernya untuk menoleh kebelakang, tak dilihatnya seorangpun yang ada di sana.
Untuk pertama kalinya Amara merasa ngeri mendengar decitan roda troli yang ia dorong sendiri. Sebab, cerita horor yang selama ini berkembang di masyarakat tentang rumah sakit, berhasil meracuni pikirannya. Karena selain tempatnya orang sakit, rumah sakit juga menjadi tempat peregangan nyawa yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya.
Kesunyian serta dingin embusan angin malam yang menyapa kian membuat bulu kuduknya berdiri. Amara bahkan hampir saja terlonjak saat dedaunan tanaman hias yang menjuntai di sekitar sana bergerak seolah melambai. Amara menghela napas lega sambil mengusap dadanya begitu ia tahu, ternyata gerakan daun itu ditimbulkan oleh embusan angin yang menerpa.
Amara yang sempat berhenti kembali melanjutkan perjalanannya lagi. Namun entah mengapa dirinya merasa sedang diawasi. Jelas-jelas ia mendengar suara derap langkah, namun kenapa pada saat Amara menoleh, tak ada seorangpun yang terlihat di sana. "Aneh", gumamnya.
Karena merasa terintimidasi oleh sesuatu yang tak berwujud, lagi-lagi kulit ari Amara terasa merinding takut. Ia mencium aura mistis yang kental di tempat yang baru ia datangi sebagai tempat kerjanya seminggu yang lalu.
Sebagai orang baru, sudah pasti banyak hal yang belum Amara tahu mengenai tempat kerjanya. Meski bangunan rumah sakit ini tampak mewah dan terawat. Tapi yang namanya rumah sakit ya tetap saja rumah sakit. Tak ada orang yang ingin berlama-lama berada di sini.
"Amara ...." Suara bisikan yang menyebut namanya kian jelas terdengar menyapa telinganya. Bahkan aroma wangi yang semerbak merasuk ke rongga penciuman mengingatkannya pada kembang setaman meskipun ia merasa tak asing dengan aroma ini.
Namun karena pikiran yang sudah teracuni membuatnya lupa pernah mencium aroma ini di mana. Terlebih hawa panas yang muncul dari arah belakang, kian membuatnya bergidik ngeri karena berpikir di belakangnya ada setan.
Langkahnya terhenti. Amara mencengkeram kuat pegangan troli. Sementara matanya terpejam rapat dengan bibir komat-kamit tak henti merapalkan mantra. Eh, salah. Memanjatkan doa yang ia bisa, maksudnya.
Sembari meyakinkan diri bahwa di dunia ini tidak ada kuasa lain melebihi kuasa Tuhan, sang pencipta alam dan seluruh isinya. Tak ada yang perlu di takuti selain Dia. Hingga pada akhirnya membuat Amara yakin bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun pada saat ia akan mendorongnya kembali, entah mengapa troli itu mendadak terasa berat seperti ada yang menahan.
Dan benar saja, saat ia membuka mata terlihat sebuah tangan kekar tampak mencengkeram kuat pegangannya. Sontak Amara terlonjak. Tangannya spontan melayangkan satu pukulan.
Plak!
Amara terkejut karena bisa menyentuh makhluk itu. Dan ia membulatkan bola matanya dengan sempurna mendapati sesosok menjulang telah berdiri dihadapannya sambil mengusap pipi.
"Hey! Kenapa kau menamparku!"
Amara membungkam mulutnya yang ternganga. Sementara bola matanya membulat tak percaya. "Juan!"
"Iya ini gue!" pria bertubuh tinggi itu menjawab ketus. Wajah putihnya memerah padam tak bisa menyembunyikan kekesalan.
"Kurang ajar! Kenapa kau menakutiku seperti ini, sih!" Plak! Plak! Amara menghadiahi pukulan di lengan Juan bertubi-tubi. "Rasakan ini!" Teriaknya geram. Bukannya merasa bersalah, Amara justru menghadiahi pukulan membabi-buta.
"Hey, hentikan! Sakit tahu!" Juan mengangkat kedua tangan dan menjadikannya sebagai tameng pelindung wajah.
"Biar kaurasakan!" sentak Amara. Setelah merasa lelah dan puas, iapun menghentikan aksinya. Ditatapnya wajah Juan dengan mimik kesal dan sorot mata tajam. Dadanya naik turun akibat napasnya yang memburu. Ia telah mengerahkan tenaganya untuk hal itu.
"Why?"Juan bertanya heran. "Ngapain mata kamu melotot kayak gitu?"
"Aku lagi kesel, tau!" sentak Amara. Ia lantas kembali menghadiahi Juan sebuah cubitan di lengan. "Iiihh!" geramnya.
"Aduh. Sakit, tau ,,," keluh Juan sambil meringis. Namun ia sama sekali tak mau menepis tangan Amara hingga gadis itu melepaskannya. "Tanganmu keras juga, ya. Aku yakin, seluruh tubuhku akan lebam dan memar setelah ini," gerutunya sambil mengusap tempat-tempat di mana Amara tadi menjatuhkan pukulan.
"Jangan berlebihan! Tubuhmu terlalu kekar untuk mengeluh sakit akibat pukulanku. Jadi jangan bertingkah seolah kau teraniaya gara-gara aku."
"Memang nggak ada ahlak, ya." Juan berdecak sambil berkacak pinggang. Kepalanya setengah menunduk saat menatap Amara yang lebih pendek dari dia. "Aku datang kemari khusus untuk menemanimu, tahu nggak! Tapi kau malah menghadiahi pukulan bertubi-tubi seperti tadi," gerutunya kesal, lantas memalingkan wajah membuang muka.
Mengulum senyum, Amara lantas memiringkan kepala mengamati Juan yang membuang muka. "Cie cie. Ngambek ya?" godanya kemudian. Tangannyapun mencolek pinggang Juan dengan nakal, membuat tubuh pria jangkung nan berotot itu seketika menegang kegelian. Namun Juan masih bersikukuh tak mau menatap Amara.
"Iya, iya. Aku nggak ada ahlak. Aku minta maaf, deh!" bujuk Amara sambil mengerucutkan bibirnya. Walaupun itu percuma sebab Juan tak melihatnya juga.
Menggembungkan pipi, Amara lantas mendesah pelan, lalu berjinjit dan menjulurkan tangannya untuk memegang sisi wajah Juan sebelum kemudian menariknya. "Sini lihat aku!" Amara memaksa Juan menatapnya. Ia memasang wajah imut saat pandangan mereka bertemu. "Jangan tekuk wajahmu lagi kayak gitu. Aku nggak suka, tau!" tegasnya sambil menyebik. Lantas berbalik badan dan membelakangi Juan. Kini gantian ia yang memasang mimik kesal. Benar-benar drama yang menyebabkan.
Amara kembali meraih pegangan troli dan bersiap mendorongnya. Namun sebelum melangkah, ia menyempatkan diri menoleh ke arah Juan. "Kau bilang akan menemaniku, bukan? Jadi, temani aku sampai selesai nanti ya," pintanya sambil mengerlingkan mata. Mengeluarkan jurus memohon paling ampuh dengan memasang wajah imut.
Juan hanya berdecak. "Percaya diri sekali kau! Memintaku menemani setelah menghajarku sedemikian rupa!" Juan berkacak pinggang sambil memasang wajah garang.
"Jadi kau tak mau?" tanya Amara. Wajah imut itu seketika memberengut.
"Dengan satu syarat," sahut Juan cepat.
Amara mengulum senyum. "Aku tak keberatan," jawabnya kemudian. "Toh selama ini syaratmu selalu menguntungkan untukku, kan ,,," tuturnya sambil tersenyum dengan lagi-lagi mengerlingkan mata.
Juan menyeringai sambil membuang muka sejenak, lalu menggerakkan tangannya untuk mencubit pipi Amara dengan gemas. "Sudah kubilang kau ini terlalu percaya diri! Aku ini tidak sebaik itu, tahu ...!"
"Juan! Lepas ,,," pinta Amara dengan nada merengek seraya memukul lengan Juan agar menghentikan cubitannya. "Kau tidak ingin melihatku di sini sampai pagi, kan?? Jadi temani aku sekarang!" tegasnya sambil mengempaskan tangan Juan ke udara lalu meraih lagi trolinya.
"Baiklah Tuan Putri ,,,. Sekarang lepaskan tanganmu." Juan melepaskan tangan Amara lalu merebut troli itu sebelum kemudian menyunggingkan senyum termanisnya. "Biarkan aku yang mendorongnya, okay," ucanya dengan nada memaksa dan penuh tuntutan, seolah tak ingin mendengar penolakan dari Amara.
Gadis itu hanya tersenyum sembari mengangkat bahunya. Keduanya lantas berjalan beriringan menuju gudang.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨