Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengumuman Dari Raja
Arven memenuhi undangan sang Raja. Dia datang ke kerajaan sang ayah.
Langkah Arven menggema di aula megah kerajaan Veghour, penuh ketegasan yang tak dapat diganggu gugat. Wajahnya tetap, nyaris tak menunjukkan emosi, tetapi matanya berbicara lain--tajam, menembus, seperti belati yang siap menikam kapan saja. Semua yang melihatnya tahu, ia bukan hanya putra sang raja; ia adalah ancaman.
Di ujung aula, Raze menunggunya dengan senyum tipis yang mengandung ejekan. "Oh, kau akhirnya ingat punya ayah seorang raja, ya?" Raze menyeringai, intonasinya lembut namun penuh racun, seolah setiap kata adalah permainan intelektual yang menunggu untuk dijawab.
Namun, Arven tidak gentar. Ia berhenti tepat di hadapan Raze, menatap lurus tanpa ragu. "Lebih baik terlambat daripada hanya tahu bicara tanpa tindakan, kan?" balasnya, nada suaranya rendah namun setajam tatapannya.
Raze terkekeh kecil, berusaha menutupi kekaguman yang mulai muncul. Saling lempar kata itu adalah permainan mereka, tetapi kali ini Arven bukan pemain biasa. Ia datang dengan amunisi penuh, siap mengubah cemoohan menjadi senjata yang berbalik arah.
Kemudian,
Aula megah itu dipenuhi gema langkah Kasim Istana yang bergerak anggun ke tengah ruangan. Kedua pangeran sudah duduk di kursi masing-masing, saling melempar tatapan dingin. Di sebelah kanan, Pangeran Bayangan dengan pakaian gelap yang rapi, matanya tajam seperti elang. Di sebelah kiri, Pangeran Malam dengan senyum sinis dan sikap santai yang seperti ular.
Kasim membungkuk dalam di hadapan mereka, tangannya yang kurus memegang gulungan perkamen berhias lambang kerajaan. “Yang Mulia Raja telah memutuskan kehendaknya. Dengarkan baik-baik, karena ini menyangkut masa depan dunia bayangan.”
Pangeran Malam mendengus. “Apa lagi drama baru dari Ayah kita? Dia tidak pernah benar-benar memutuskan apapun, kan?”
“Diam, Raze,” Pangeran Bayangan memperingatkan dengan nada datar. “Biarkan dia bicara.”
Kasim membuka gulungan itu dengan hati-hati, suaranya terdengar lantang namun tenang. “Yang Mulia Raja ingin menyerahkan tahta kepada salah satu dari kalian. Namun, ia menginginkan penerus yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun dinasti.”
Mata Pangeran Bayangan menyipit. “Maksudnya?”
Kasim melanjutkan dengan senyum tipis. “Yang pertama dari kalian yang menikah dan memiliki keturunan akan menjadi raja selanjutnya.”
Hening sejenak. Hanya suara angin lembut yang terdengar dari jendela aula.
Raze tertawa terbahak-bahak. “Menikah? Ayah kita benar-benar kehilangan akal sehatnya. Apa dia mengira kita ini pahlawan cerita romantis?”
Arven tetap diam, tetapi matanya memperlihatkan kilatan pemikiran. “Dan jika tidak ada yang memenuhi syarat itu?” tanyanya dingin kepada Kasim.
Kasim menjawab tanpa ragu. “Maka tahta akan dibiarkan kosong, dan dunia bayangan akan jatuh ke dalam kekacauan sepenuhnya. Tentu, Yang Mulia Raja berharap itu tidak terjadi.”
“Kekacauan sudah ada di sini, bahkan sebelum keputusan ini,” gumam Pangeran Malam sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ini hanya cara Ayah mempercepat kehancuran kalau saja tahta itu tidak jatuh ke tangan ku. Sudah benar aku yang menjadi Raja selanjutnya karena anak sulung dari Ratu pertama tidak mau mengembannya, malah memilih pergi dari istana." Sindir Raze.
“Ini bukan kehancuran, tapi sebaliknya. Ini adalah ujian,” potong Pangeran Bayangan dengan suara tenang. “Untuk melihat siapa di antara kita yang mampu memikul tanggung jawab lebih besar.”
Pangeran Malam mendengus, lalu berdiri. “Baiklah, kalau begitu. Mari kita lihat siapa yang lebih cepat menemukan istri dan memproduksi pewaris.” Ia berjalan keluar dengan tawa sarkastis yang menggema di aula.
Kasim menoleh ke Pangeran Bayangan yang masih duduk, memandangi gulungan perkamen itu dengan tatapan dingin. “Apa yang akan Anda lakukan, Yang Mulia Pangeran pertama?”
Pangeran Bayangan berdiri perlahan, membetulkan kerahnya. “Aku tidak akan terburu-buru seperti Raze. Pernikahan adalah permainan strategi. Dan aku tidak pernah kalah dalam strategi.”
Kasim tersenyum kecil, membungkuk sekali lagi. “Semoga langkah Anda membawa dunia ini menuju terang, Yang Mulia.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pangeran Bayangan melangkah keluar, meninggalkan aula yang terasa semakin dingin dengan setiap langkahnya. Kasim berdiri di sana, tersenyum tipis. Ia tahu, permainan baru saja dimulai. Usaha Raja demi menarik kembali atensi Arven telah berhasil.
...****...
Ruangan itu hening, hanya terdengar suara lembut api yang berderak dari lilin-lilin di dinding. Arven berdiri di depan jendela besar, memandang ke luar pada dunia bayangan yang selalu diselimuti kegelapan. Di belakangnya, Uto berdiri dengan tangan di belakang punggung, wajahnya netral namun penuh perhatian, menunggu perintah berikutnya.
“Bagaimana?” tanya Arven tanpa basa-basi. Suaranya rendah, tetapi jelas memancarkan otoritas.
Uto mengangkat wajah, senyumnya tipis. “Nara... unik, Tuan. Tidak seperti pendatang lain. Dia tidak menangis, tidak panik, dan tidak lari. Dia teguh. Bahkan di hutan kelam sekalipun, dia berhasil bertahan tanpa bantuan sebelum saya menemukannya.”
Arven tersenyum tipis, matanya masih terpaku pada bayangan di kejauhan. “Bagus. Itu sifat yang diperlukan. Gadis seperti itu lebih mudah diarahkan ke tujuan yang jelas. Dia tidak akan terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak relevan. Apa yang dia lakukan saat bertemu denganmu?"
“Mempelajari dunia ini,” jawab Uto. “Dia mengajukan banyak pertanyaan, mencoba memahami bagaimana semuanya bekerja. Dia punya rasa ingin tahu yang tajam, tetapi juga hati-hati. Dia tidak sembarangan mengambil langkah.”
Arven mengangguk pelan, tetapi wajahnya tetap keras. “Pastikan dia tidak tahu kau bekerja untukku sebelum waktunya tiba. Aku tidak ingin dia mencurigai apa pun.”
“Tentu saja, Tuan,” kata Uto sambil membungkuk sedikit.
Arven berdiri, berjalan perlahan mengelilingi ruangan. “Awasi dia terus. Jika dia mulai menunjukkan tanda-tanda berbahaya, laporkan segera. Aku ingin tahu setiap langkahnya, setiap keputusan yang dia buat.”
“Dan jika dia menjadi ancaman?” tanya Uto, nada suaranya ringan tetapi penuh makna.
“Lakukan apa yang perlu dilakukan,” jawab Arven dingin.
Uto tersenyum tipis, lalu membungkuk dalam-dalam. “Seperti kehendak Anda, Tuan.”
“Tuan,” sela Uto, nadanya sedikit ragu, “kalau boleh bertanya... apa tujuan Anda sebenarnya dengan dia? Anda sudah memerintah saya untuk mengawasinya, tapi kenapa sepertinya Anda memiliki rencana lebih besar?”
Arven berbalik perlahan, matanya menyipit seperti menilai apakah Uto pantas tahu jawabannya. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berbicara. “Dunia ini hancur karena hukum yang lemah, Uto. Kita semua tahu itu. Hukum di dunia bayangan ini hanya menjadi alat bagi yang kuat untuk menindas yang lemah. Aku muak melihatnya.”
Uto menahan napas sejenak sebelum bertanya lagi, “Dan Nara? Apa hubungannya dengan semua ini?”
“Aku akan mengarahkan dia untuk menyelidiki sesuatu yang penting."
“Apa itu, Tuan?”
Arven berhenti, tatapannya gelap dan dalam. “Ibuku. Dia menghilang bertahun-tahun lalu. Entahlah dia hanya menghilang atau lenyap selamanya. Dunia ini berusaha melupakan kejadian itu, menghapus jejaknya, tetapi aku tahu ada yang salah. Aku yakin penguasa sebelumnya berperan dalam peristiwa itu. Jika aku bisa membuktikan bahwa ibu diperlakukan tidak adil, maka aku akan memberi perhitungan yang setimpal."
Uto merenung sejenak sebelum akhirnya bicara, “Anda benar, Tuan. Dia mungkin cocok untuk tugas seperti itu. Tapi, apa Anda yakin dia akan mau melakukannya? Dia bukan tipe yang mudah diperalat.”
“Dia tidak akan menolak,” jawab Arven yakin. “Gadis itu punya rasa keadilan yang kuat. Beri dia cerita yang cukup menggugah, dan dia akan melakukannya tanpa ragu.”
Uto tersenyum kecil, mengangguk hormat. “Seperti kehendak Anda, Tuan. Saya akan memastikan dia tetap berada di jalur yang Anda inginkan tanpa membuatnya terlihat memihak."
“Bagus,” kata Arven sambil kembali menatap keluar jendela.
.
.
.
Bersambung.