Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nomor Asing (SUDAH REVISI)
Suara dering ponsel Arumi menghentikan sejenak kegiatannya. Dia meraih benda pipih berukuran 6.5 inchi tersebut di atas meja rias. Sebuah pesan singkat tanpa nama pengirim terpampang di layar ponsel.
Kedua alis Arumi tertaut. Perlahan, dia membuka pesan tersebut.
[Jangan terlalu percaya terhadap suamimu! Meskipun dia berkata bahwa akan mencintaimu selamanya, bisa saja itu hanya kepalsuan belaka. Berhati-hatilah, selalu awasi gerak gerik suamimu!]
Singkat tapi berhasil memporak porandakan perasaan Arumi dalam seketika. Bagaimana tidak, baru saja dia menyakinkan diri bahwa Mahesa akan tetap mencintainya kini sebuah pesan singkat dari nomor asing membuat wanita itu dilema.
Tubuh Arumi gemetar. Kaki wanita itu terasa lemas. Dengan sekuat tenaga dia duduk di atas kursi rias yang jaraknya tidak terlalu jauh dari posisi Arumi berdiri.
Dada Arumi terasa sesak, hidungnya terasa masam dan mata wanita itu terasa perih. Dia menghirup napas dalam, lalu menghembuskan kemudian menghirupnya lagi sebanyak tiga kali.
"Aku yakin itu hanya orang iseng saja. Ia pasti berniat menghancurkan rumah tanggaku bersama Mas Mahes. Ya, Mas Mahes bukan pembohong. Aku harus percaya padanya!" ujar Arumi menyakinkan diri.
Setelah wanita berambut panjang tergerai itu berhasil menguasai diri, dia berusaha untuk bangkit menuju ranjang. Rasanya tubuh Arumi terasa lelah dan dia ingin beristirahat sejenak. Menghilangkan beban pikiran yang tengah hinggap dalam benak wanita itu.
Tepat pukul dua belas siang, Arumi terbangun. Dia melihat ke luar jendela, cuaca sudah mulai mendung. Awan hitam mulai menyelimuti langit yang semula cerah, pepohonan bergoyang diterpa angin.
"Masih ada waktu bagiku untuk bersiap-siap sebelum hujan turun," gumam Arumi. Kemudian dia menyingkap selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh kecuali kepala, lalu berjalan menuju walk in closet.
Hari itu dia mengenakan blouse hijau tosca dipadu rok di bawah lutut berwarna putih serta rambut dikuncir kuda. Wanita itu membubuhkah bedak padat dan terakhir memoleskan lipstik sebagai penyempurna riasan.
Setelah memastikan penampilan Arumi sempurna tanpa cacat, wanita itu menuruni anak tangga secara perlahan. Suara ketukan yang berasal dari sepatu hak tinggi menggema memenuhi setiap sudut ruangan.
Ketika menuruni tangga, Mbak Tini sedang membersihkan karpet ruang keluarga menggunakan vacum cleaner. Kebetulan ruang keluarga itu letaknya di dekat tangga. Sehingga dari anak tangga Arumi bisa melihat jelas ART-nya itu sedang melakukan tugas rumah tangga.
"Eh, Bu Rumi. Sudah mau berangkat kerja?"
"Iya, Mbak. Saya titip rumah. Kalau ada apa-apa telepon saja. Namun, jika saya tidak mengangkat telepon, kamu bisa menghubungi Pak Mahes."
"Baik, Bu."
Arumi berjalan penuh percaya diri. Namun, siapa yang tahu bahwa hati wanita itu tengah berkecamuk. Sebuah kerikil kecil sedang menghadang, bersiap menguji rumah tangga yang sudah dibina selama hampir lima tahun.
Perlahan, kaki jenjang wanita bertubuh tinggi semampai itu telah tiba di depan garasi rumah. Langkah kaki Arumi mengalihkan perhatian sang sopir yang sedang duduk di teras sembari menikmati secangkir kopi dan pisang goreng buatan Mbak Tini.
"Dilanjutkan saja, Pak. Setelah itu tolong kamu cek dulu keadaan mobil saya. Jika tidak ada masalah, segera antar saya ke kafe Rainbow!" ucap Arumi. Sebuah senyuman tersungging di sudut wanita itu.
Dia sengaja memberikan kesempatan kepada Pak Burhan untuk beristirahat lebih lama. Arumi memang tidak pernah memaksakan pekerjanya untuk segera melakukan perintah yang diminta. Karena menurut wanita itu, mereka semua bukan robot yang bisa diperintah sesuka hati tanpa butuh istirahat. Arumi berprinsip ketika semua pekerja setia, maka dia akan memperlakukan mereka layaknya saudara.
Kini Arumi sudah berada di dalam mobil. Tangan wanita itu merogoh headset bluetooth dari dalam tas. "Halo, Kay! Aku masih di rumah menunggu Pak Burhan menghabiskan cemilannya dulu," ucap Arumi kala suara cempreng Kayla terdengar di seberang sana.
"Cih! Kamu jadi majikan terlalu baik pada bawahan. Hati-hati, nanti kamu malah dimanfaatkan oleh mereka!" Kayla coba memperingatkan sahabatnya itu. "Ya sudah, cepat ke sini! Jangan sampai telat. Pokoknya aku tidak mau menunggu terlalu lama. Pukul tiga sore nanti aku masih ada sesi pemotretan!"
"Oke, dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di sana. Ya sudah, aku matikan dulu sambungan telepon ini. Pak Rahmat sudah berjalan ke sini," ujar Arumi.
"Kita berangkat sekarang?"
Arumi menganggukan kepala sebagai tanda setuju. "Jangan ngebut-ngebut, Pak. Alon-alon asal kelakon!" (Pelan-pelan asal tercapai). pintanya pada sang sopir.
Kemudian Pak Burhan menginjak pedal gas. Namun, sebelum itu dia sudah memastikan keadaan mobil dalam kondisi baik-baik saja dan siap digunakan.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang ditumpangi Arumi sudah memasuki area cafe Rainbow. Pak Rahmat yang duduk di balik kemudi memarkirkan kendaraan roda empat milik majikannya tak jauh dari pintu masuk.
"Silakan, Bu." Pria yang bekerja selama hampir lima tahun di kediaman Mahesa memayungi majikannya itu agar tidak basah terkena air hujan.
Siang itu, kota Jakarta diguyur hujan menyebabkan jalanan macet dan Arumi terpaksa datang terlambat lebih dari lima belas menit dari jam yang ditentukan.
"Terima kasih," ucap Arumi ramah. Kemudian dia melangkah kaki masuk ke dalam cafe tersebut.
Suasana di dalam cafe sudah mulai ramai, meski sedang diguyur hujan tak menyurutkan minat para pengunjung bertandang ke cafe yang sedang viral di berbagai media sosial. Terkenal akan cita rasa aroma kopi dan menu lezat yang menjadi ciri khas cafe tersebut.
Cafe dengan desain minimalis serta memiliki nilai estetika yang tinggi dibangun di tengah pusat ibu kota. Meski didominasi kayu, tetapi tidak membuat cafe ini terlihat ketinggalan zaman melainkan memberikan kesan natural karena para pengunjung bisa menyatu dengan alam sambil menikmati secangkir kopi bersama sahabat, teman maupun orang terkasih. Penambahan lampu gantung unik serta beberapa tanaman hias dalam ruangan memberikan kesan hangat dan super nyaman bagi para pengunjung.
Di kursi paling ujung berjarak empat meter dari pintu masuk, seorang wanita berambut pendek sebahu melambaikan tangan ke arah Arumi.
Dengan sedikit berlari, Arumi menghampiri wanita itu. "Maaf, Rin, aku datang terlambat."
"Alah, tidak perlu minta maaf. Lagipula aku dan Kayla juga baru tiba di sini," balas Rini, sahabat Arumi.
Kemudian Arumi dan Rini berpelukan serta mencium pipi kanan dan kiri secara bergantian.
Rini dan Kayla merupakan kedua sahabat Arumi. Dulu, mereka sama-sama dibesarkan di sebuah panti asuhan yang lokasinya berada di daerah Bandung. Menginjak usia empat belas tahun, Arumi remaja diadopsi oleh sepasang suami istri yang tak lain merupakan donatur tetap panti asuhan tersebut. Kebetulan mereka baru saja ditinggal pergi oleh putri semata wayang akibat kanker menyebabkan nyawanya tidak tertolong.
Berkat kebaikan, kepintaran dan sikap polos Arumi membuat Nyimas dan Zidan jatuh hati dan memutuskan mengadopsi gadis belia itu.
"Oh ya, Kayla mana?" tanya Arumi sambil meletakkan shoulder bag di kursi kosong di samping wanita itu.
"Dia sedang ke toilet. Maklum saja, sahabat kita satu itu tidak bisa membiarkan riasan di wajahnya luntur. Jadi harus sering di retouch up," jawab Rini terkekeh.
Seulas senyum tersungging di bibir Arumi. "Ya, dia 'kan seorang model harus pandai menjaga penampilan. Jangan sampai wartawan memotret Kayla dalam keadaan pucat."
"Benar sekali. Itu pasti akan membuat sahabat kita malu karena semua orang melihat wajah asli Kayla tanpa make up." Rini kembali terkekeh.
Rini menatap ke arah Arumi yang duduk di hadapannya. Melihat raut wajah wanita itu sedikit murung, dia menduga telah terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.
"Rumi, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Rini.
Rini bisa membaca hanya dengan melihat raut wajah, gerak gerik serta sorot mata seseorang hanya dalam sekali lirik. Sebab, dia sudah terbiasa bergaul dengan banyak orang yang berbeda setiap hari. Berprofesi sebagai psikiater membuat wanita beranak satu itu tahu betul bagaimana sikap seseorang ketika dirundung masalah.
"A-apa? A-aku? Tentu saja aku baik-baik saja." Arumi memaksakan tersenyum. Hampir saja dia lupa bahwa wanita yang duduk di hadapannya itu merupakan seorang psikiater. Dia tidak akan mampu berbohong karena Rini bisa membaca karakter seseorang lewat gestur tubuh lawan bicaranya itu.
"Arumi ... jawab pertanyaanku. Apakah ada hal yang disembunyikan olehmu?" tanya Rini sekali lagi. Dia ingin memastikan bahwa kondisi sahabatnya itu baik-baik saja.
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak cinta untuk otor remahan rengginang ini ya guys. 🥰
😢😭
Mau menikmati fasilitas dari papa firdaus tapi membenci orang yg selama ini bekerja keras tetap mencari nafkah demi masa depan rayyan
Kesalahan papa firdaus emang membuat sakit hati, tapi keringat yg di keluarkan mencapai kesuksesan rumah sakit yg di pegang rayyan melebihi nyawanya
Tapi kelakuan rayyan melebihi tuhan menghukum orang sampai segitunya 😬