Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Suasana di Steele Corporation mencekam. Udara di lantai atas, di ruangan Axel Steele, CEO yang terkenal dingin dan kejam, terasa begitu berat. Axel, duduk di balik meja besarnya yang terbuat dari kayu tua antik yang mahal, mengeluarkan aura kemarahan yang terasa sampai ke tulang. Wajahnya, biasanya sudah tampak datar dan tak ber ekspresi, kini dikerutkan membentuk garis-garis tajam yang menunjukkan amarahnya yang membara.
Di depannya, berdiri dua orang yang tampak ketakutan. Mr. Harrison, seorang kolega bisnis dari perusahaan luar, dan Bu. Anita, seorang manajer senior di Steele Corporation. Keduanya terlihat pucat pasi, tubuh mereka gemetar, menunjukkan betapa mereka takut akan kemarahan sang CEO.
"Jadi, ini yang kalian lakukan di belakangku?" suara Axel dingin, namun penuh dengan amarah yang terpendam.
"Kalian berdua bekerja sama untuk korupsi dana perusahaan? Kalian pikir aku tidak akan mengetahuinya?"
Mr. Harrison mencoba untuk menjelaskan, suaranya gemetar.
"Pak Steele, saya mohon maaf. Saya terdesak oleh keadaan..."
Axel memotongnya dengan suara keras.
"Cukup! Alasanmu tidak akan mengubah apa pun. Kalian telah mengkhianati kepercayaan saya, mencuri uang perusahaan yang seharusnya digunakan untuk kemajuan perusahaan ini!"
Bu. Anita menunduk, tak berani menatap mata Axel.
"Saya... saya khilaf, Pak Steele. Saya tidak tahu bahwa Mr. Harrison akan melakukan hal seperti ini."
Axel berdiri, mendekati mereka berdua dengan langkah yang tenang namun penuh ancaman.
"Kalian berdua telah merusak reputasi perusahaan ini. Kalian telah menghancurkan kepercayaan yang telah saya bangun selama bertahun-tahun." Ia berhenti sejenak, memandang mereka berdua dengan tatapan tajam yang menusuk.
"Dan sekarang, kalian akan membayar mahal atas perbuatan kalian."
Udara di ruangan itu terasa semakin dingin, tekanan yang dikeluarkan oleh Axel begitu kuat sehingga membuat kedua orang itu semakin ketakutan. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dan konsekuensinya akan sangat berat.
Axel Steele, dengan reputasinya yang dingin dan kejam, tidak akan pernah memberikan ampun kepada siapa pun yang mengkhianatinya. Nasib Mr. Harrison dan Bu. Anita kini berada di tangan sang CEO yang tak kenal ampun. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh detak jantung mereka yang berdebar kencang.
Axel menatap tajam Mr. Harrison dan Bu. Anita, kemarahannya masih membara.
"Hukuman kalian tidak akan ringan," ujarnya dengan suara dingin yang membekukan.
"Kalian berdua akan dikirim ke Pulau Iblis."
Kedua orang itu saling pandang, wajah mereka pucat pasi. Pulau Iblis—nama itu saja sudah cukup membuat bulu kuduk mereka merinding. Pulau terpencil dan berbahaya itu terkenal dengan binatang buasnya yang ganas dan kondisi alamnya yang ekstrem. Itu adalah tempat yang cocok untuk orang-orang yang pantas mendapatkan hukuman berat.
"Pulau Iblis?" Mr. Harrison bergumam, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mencoba untuk berbicara lagi, memohon keringanan hukuman, tetapi Axel sudah memotongnya.
"Tidak ada pembelaan yang akan diterima," kata Axel dengan suara tegas.
"Kalian telah melakukan kejahatan yang serius, dan kalian akan menerima hukuman yang setimpal. Pulau Iblis adalah tempat yang tepat untuk kalian berdua. Di sana, kalian akan belajar menghargai hidup dan konsekuensi dari perbuatan kalian."
Axel segera memerintahkan Sean.
"Siapkan pesawat dan tim keamanan untuk mengantar Mr. Harrison dan Bu. Anita ke Pulau Iblis. Pastikan mereka tidak bisa melarikan diri."
Suasana di ruangan itu semakin mencekam. Mr. Harrison dan Bu. Anita tertunduk lesu, mengerti bahwa mereka tidak bisa melawan keputusan Axel. Mereka telah melakukan kesalahan yang fatal, dan sekarang mereka harus menanggung konsekuensinya. Pulau Iblis, dengan binatang buasnya yang ganas dan kondisi alamnya yang ekstrem, akan menjadi penjara hidup mereka.
Axel, dengan sikap dingin dan kejamnya, tidak pernah main-main dalam memberikan hukuman. Baginya, keadilan harus ditegakkan, dan hukuman yang diberikan harus setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Bagi Mr. Harrison dan Bu. Anita, Pulau Iblis bukanlah sekadar hukuman, tetapi juga sebuah peringatan bagi siapa pun yang berani mengkhianati Axel Steele dan Steele Corporation.
Kekejaman Axel, yang terkadang tampak berlebihan, adalah bagian dari caranya untuk menjaga agar semua orang di bawah kekuasaannya tetap patuh dan takut. Ia adalah seorang CEO yang kejam, namun juga sangat efektif dalam memimpin perusahaannya.
Axel masih berdiri di belakang meja kerjanya, kemarahan yang membara di wajahnya membuat suasana di ruangan terasa semakin tegang. Dia memberi perintah tegas pada Sean melarang siapa pun untuk masuk ke ruangannya.
"Saya tidak ingin diganggu oleh siapa pun," ujarnya dengan nada yang memancarkan kekuasaan.
Namun, di luar ruangan, Elizabeth, ibu Axel, tampak tak tergoyahkan. Dengan langkah penuh keyakinan, dia berusaha membuka pintu ruang kerja putranya. Sean, asisten pribadi Axel, dengan sigap berusaha menghentikannya.
"Nyonya, saya mohon, Axel sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Dia sangat marah," jelas Sean, berusaha menjaga agar situasi tetap terkendali.
Tetapi Elizabeth tidak mengindahkan peringatan itu.
"Sean, aku tahu anakku. Dia butuh seseorang untuk mendengarnya. Biarkan aku masuk," katanya dengan tegas, suaranya tak terbantahkan.
Sean terpaksa mundur, tak bisa menahan keinginan kuat Elizabeth untuk menemui Axel. Dia membuka pintu, memberikan jalan bagi Elizabeth untuk masuk.
"Baiklah, tapi saya tidak bisa menjamin reaksinya," kata Sean, memberikan pandangan cemas ke arah Axel sebelum menutup pintu di belakangnya.
Begitu Elizabeth melangkah masuk, Axel menoleh, tampak jengkel.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Mom? Aku sudah bilang tidak ingin diganggu!" suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya, mencerminkan kemarahan yang masih menguap.
Elizabeth tidak mundur. Dengan tatapan penuh kasih, dia mendekati Axel.
"Axel, aku tahu kamu marah. Tapi kamu tidak bisa terus-menerus memendam semua ini. Kamu perlu berbicara, dan aku di sini untuk mendengarkan."
Axel menggelengkan kepala, tidak ingin menunjukkan kerentanannya. "Aku tidak butuh empati atau nasihat. Mereka sudah mengkhianati ku, dan mereka akan mendapatkan hukumannya."
Elizabeth menghela napas, berusaha tenang di hadapan putranya yang sedang terbakar amarah. "Aku mengerti, tapi ingat, kemarahan itu tidak akan menyelesaikan semuanya. Kamu adalah pemimpin, dan tindakanmu akan menjadi contoh bagi orang lain."
Axel mengerutkan dahi, berusaha menahan ledakan emosinya.
"Kau tidak mengerti, Mom. Mereka telah merusak segalanya. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi tentang kepercayaan."
Elizabeth mendekat, meletakkan tangan di bahu Axel.
"Aku tahu betapa sakitnya dikhianati. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Aku ada di sini untukmu. Kita bisa menghadapi ini bersama."
Mendengar kata-kata lembut ibunya, Axel merasakan sedikit ketegangan dalam dirinya mulai mencair. Meskipun amarahnya belum sepenuhnya reda, kehadiran Elizabeth memberikan sedikit kelegaan di dalam hatinya. Mungkin, dia tidak perlu menghadapi semua ini sendirian.
Namun, dia masih harus menemukan cara untuk menangani situasi ini dengan bijak, tanpa kehilangan kendali atas dirinya sendiri. namun juga tidak akan mengurungkan niat nya untuk melepaskan para penghianat itu. menurutnya mereka berdua sangat pantas mendapatkannya.
.
.
.
.
Lanjut yah
See you 😍