Pantas saja dia sudah merasa curiga pada sampul buku itu yang tidak biasa. Alih-alih sekedar buku cerita biasa, ternyata itu adalah buku kehidupan terbuka dari masa depan beberapa orang, termasuk Victoria Hain. Sebuah tokoh dengan nama yang sama dengannya.
Sebuah tokoh yang kini dihidupi oleh jiwanya.
“Astaga, jadi aku adalah kakaknya antagonis?”
Adalah informasi paling dasar dalam cerita ini.
Alih-alih sebagai pemeran utama, Victoria Feyar berakhir menjadi kakak dari antagonis perempuan bernama Victoria Hain, yang akan mati depresi karena sikap dingin suaminya.
“Baiklah, mari kita ceraikan Kakak protagonis pria sebelum terlambat.” Adalah rencana Victoria, demi melindungi dirinya dan adik pemilik tubuh dari dua Kakak beradik pencabut nyawa.
Untungnya ini berhasil, meski bertahun kemudian Victoria dibuat kesal, karena mereka tidak sengaja kembali terlibat dalam situasi utama pada konflik cerita itu dimulai.
“Kakak Ipar, mohon bantu kami....”
-
“Dalam mimpimu.” -- Victoria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blesssel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Victoria kembali ke kamarnya dan menemukan Estella di sana. Gadis remaja itu nampak jatuh ke dalam pemikirannya sendiri, sampai tidak sadar dengan kedatangan Victoria sebagai pemilik kamar.
“Dipanggil Remi di dalam kamarnya.”
“HAHH!”
Benar saja, seperti bom yang ditekan Estella langsung bereaksi.
“Iiihhh kakak ini bicara apa sih….” Cicit Estella pelan ketika tersadar. Lagipula siapa yang tidak akan bereaksi seperti itu, ketika seorang laki-laki dikatakan mengajak ke kamar malam-malam.
Walaupun dia bersahabat dengan Remi dan pergi ke kamar laki-laki itu di lain waktu, tapi tidak pernah saat di malam hari.
“Lagipula kenapa kau termenung di dalam kamar orang lain.”
“Ck … aku itu sedang menunggu Kakak. Aku ingin tahu rencana apa yang Kakak lakukan sebenarnya dan apa itu berhasil?” Estella mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Victoria. Tapi melihat wajah sang Kakak, dia tahu rencana telah berhasil.
“Ayo cepat Kak, rencana apa yang Kakak lakukan kali ini? Cepat katakan atau aku akan mati penasaran,” paksa Estella, tanpa tahu jawaban Victoria akan menjadi sumber depresinya untuk waktu yang lama.
Victoria terkekeh sedikit, dia tahu dia akan membuat kejang di dada gadis itu. Tapi begitu dia masih dengan tenang menjelaskan rencananya yang baru saja berhasil, rencana yang benar-benar jauh dari pemikiran Estella.
Mendengar penuturan Victoria, Estella segera terkekeh. Dia jelas tidak mempercayai hal itu. Dari semua hal di dunia, Estella yakin Kakaknya lebih suka memilih mati daripada harus melepaskan Raphael, jadi dia tidak percaya.
“Baiklah berhenti bercandanya. Sekarang katakan rencana Kakak yang sebenarnya.”
Penolakan Estella sesuai ekspektasi Victoria, jadi dia juga tidak bersikeras menjelaskan, toh semuanya juga akan tetap pada tempatnya.
“KAKAK, SUDAH CUKUP!” Nada Estella mulai meninggi, manakala jawaban Victoria masih sama dan sama tenangnya.
“Kalau tidak percaya, kau bisa tanya Kakak iparmu. Toh pernikahan ini memang tidak berjalan.”
Estella masih berpikir Victoria berbohong, jadi dia melangkah dengan berani pergi pada Raphael. Bagaimanapun dia telah mengenal Raphael sebelum pria itu menikah dengan Kakaknya, jadi sikap Raphael padanya cukup bertoleransi.
Raphael yang memutuskan tidak kembali ke Apartemen, dikejutkan dengan ketukan di ruang kerjanya. Awalnya dia sempat khawatir itu Victoria yang mungkin baru saja kambuh kegilaannya lagi.
Jadi Estella tidak tahu betapa senangnya Raphael, saat mendapati itu bukan Kakaknya.
“Ada apa Estella?”
“Kakak ipar maaf lancang, tapi aku sedikit jengkel dengan candaan Kakakku. Dia terus berbohong mengatakan bahwa kalian akan berpisah, jadi aku datang kesini untuk mendapatkan sedikit kebenaran hehee….” Estella mencoba membuat ucapannya nampak manis dan kekanakan, berharap akan mengorek belas kasih Raphael.
Tapi sayang, anggukan mantap Raphael meremukkannya. “Kakakmu tidak berbohong. Kami memang akan segera berpisah tapi belum sekarang.”
DEG. Jantung Estella seolah terhenti. Dia menatap Raphael dari mata yang membulat penuh hingga perlahan melemah kosong. Tapi begitu, apapun yang dikatakan Raphael masuk ke dalam pendengarannya.
“Maaf Estella, tapi inilah dunia orang dewasa. Lebih daripada itu kami memutuskan berpisah dengan damai, meski selama ini kami tidak pernah akur sekalipun. Kuharap kamu mengerti.”
Estella menatap kedalam mata Raphael sekali lagi, mencoba mencari kebohongan disana tapi tidak setitik pun dia temukan. Malahan kelegaan ada di mata sang Kakak ipar, yang artinya itu semua benar.
“A-aku aku, per-permisi.” Dengan terbata Estella meninggalkan ruang kerja Raphael. Langkahnya terburu-buru seolah dia akan jatuh tersandung. Tapi begitu tidak ada aksi tahan menahan, karena keputusan telah dibuat dan bulat.
Dengan ini Estella berlari kembali ke kamar Victoria, dan mendapati Kakaknya itu duduk di depan cermin dengan santai.
Sementara Victoria yang melihat wajah syok adik pemilik tubuh, sebenarnya cukup kasihan.
“Jadi kau sudah mendengar dari Kakak ipar—”
Victoria tersentak dengan gerakan tiba-tiba, dimana Estella menarik bahunya saat dia sedang membersihkan makeup.
“Kakak, apa kau kehilangan kewarasanmu? kenapa kau ingin bercerai dengan Kakak ipar? Kau seharusnya memperjuangkan dia bukan melepasnya begitu saja. Apa kau bodoh!” Kata-kata Estella tak terkontrol lagi.
Sebelah alis Victoria terangkat dengan tegang, kini dia berdiri dan menatap Estella yang sedikit dibawah tingginya sebelum tersenyum sungging.
“Bibit antagonis yang bagus, tapi gunakan itu pada orang lain bukan kepadaku. Aku bukan Victoria Kakakmu yang cengeng dan lemah, aku adalah seorang—”
“Seorang yang apa? Katakan!” Estella menantang balik Victoria. “Apa kau lupa darimana kita berasal? kita bahkan kesulitan untuk makan dahulu. Kau tidak bisa bekerja dan tidak memiliki skill atau pendidikan. Wajahmu adalah satu-satunya nilai, jika tidak dengan itu bagaimana kita akan hidup nanti. Apa semua janjimu bohong? Kau bilang akan membantuku menjadi seorang Dokter, tapi bagaimana jika uang saja nanti tidak punya. Kenapa melepaskan Kakak ipar begitu saja? Dia hanya tidak menyukaimu bukan memukulmu, tapi kau menyerah? Lalu jika kita pergi dari sini kita akan kemana? belum lagi Rem ….”
“Belum lagi Remi, yang tidak bisa kau tinggalkan bukan?”
DEG. Ya, satu kebenaran yang tidak bisa Emerald akui dengan perkataan. Siapa yang tidak bahagia bisa melihat seseorang yang kau cintai dari dekat, sambil berharap bahwa cinta akan segera tumbuh di hatinya juga.
Estella menelan ludah kasar tetap menggeleng.
“Bukan Remi, ini tentang kehidupan kita ….”
Victoria sebenarnya sangat tidak suka emosi remaja yang meledak-ledak seperti ini. Namun mendengar penuturan Estella dia cukup mengerti ketakutan gadis itu. Jelas ada perbedaan yang besar, antara kehidupan mereka dulu dan setelah Victoria menikahi Raphael. Wajar bagi Estella untuk bergantung juga padanya, bagaimanapun ini adalah beban pundak setiap anak sulung.
“Jangan khawatir soal uang dan masa depan kita, atau bahkan impianmu menjadi Dokter. Kau memang terlahir untuk itu.” Karena memang itulah yang menjadi pekerjaan Estella yang ditulis dalam buku masa depan.
“Raphael sudah sudah menjanjikan beberapa hal, jadi jangan takut lagi.”
Mendengar ini sama sekali tidak membuat emosi Estella membaik. Dia yang tidak habis pikir dengan Victoria, hanya bisa berlari keluar.
Remi melihat ini dari kejauhan. Dia ingin mendekati Estella, tapi sadar itu mungkin masalah pribadi karena melihat sahabatnya itu baru keluar dari kamar sang Kakak dengan berkaca-kaca.
•
•
Keesokan paginya Estella bangun dengan mata bengkak. Dia menangis sepanjang malam karena kekhawatiran. Dia tidak bisa munafik, sulit baginya untuk membayangkan kehidupan miskin setelah memasuki kediaman Hain yang luar biasa.
Tapi begitu tidak ada bisa dia lakukan. Pada akhirnya, dia hanya bisa ikut keputusan sang Kakak. Bagaimanapun mereka hanya memiliki satu sama lain.
Sementara di ruang makan, Remi yang bersiap ke sekolah dikejutkan dengan kedatangan Raphael di meja makan.
“Kak, kau tidur disini semalam?”
Alis Raphael menyatu. “Ada apa? Apa haram bagiku untuk tidur dirumah sendiri?”
“Yey, haram dibawa juga. Aku hanya terkejut biasanya kau kan di Apartemen. Apa ini tanda Kakek akan datang?”
Raphael mengangkat bahunya acuh.
Melihat keanehan ini, Remi merasa bahwa Kakaknya nampak tidak lagi bermasalah dengan Kakak ipar, yang mungkin artinya ….
“Kak, apa kau berdamai dengan Kakak ipar?”
“Ya.” Bukan jawaban Raphael, tapi jawaban Victoria yang baru saja datang. “Selamat pagi.”
Baik Raphael dan Remi tidak langsung menjawab salam itu. Keduanya tanpa sadar saling memandang manakala melihat penampilan Victoria. Mengerti arti tatapan Kakaknya, Remi minggir dahulu. “Aku ke belakang sebentar.”
Victoria yang setibanya langsung mengambil roti dan mengoles, sepenuhnya mengabaikan Raphael. Membuat pria yang tanpa sadar menunggu itu, akhirnya berdehem. Dia harus berdehem beberapa kali hingga mendapatkan perhatian Victoria.
“Apa kau sakit tenggorokan?”
Raphael yang hendak minum langsung tersedak dengan pertanyaan tak terduga itu.
Uhuk, Uhuk, Uhukk.
Rasanya dia hampir mati sebelum pukulan Victoria di area belakang membalikkan keadaannya. Ya, walaupun harus Raphael akui itu sakit sekali.
“Sudah lebih baik? Ini minumlah lagi.”
Raphael mau tidak mau meminum air dengan bantuan Victoria, sesuatu yang baru disadarinya setelah selesai.
Meski berterima kasih, dia masih merasa Victoria lah penyebabnya seperti ini.
“Kamu jangan memakai pakaian seperti itu lagi.”
Alis Victoria langsung menukik. “Maaf bagaimana? kenapa aku tidak bisa memakai pakaian seperti ini?”
Raphael diam beberapa saat untuk berbicara dengan lebih baik. Lagipula mengomentari pakaian seseorang bisa menyebabkan masalah.
“Pakaianmu terlalu terbuka dan ketat. Lupakan aku karena aku tidak peduli, tapi Remi tidak nyaman melihatnya. Belum lagi kulihat gaya berdandanmu juga berubah, tapi yang kemarin lebih bagus tampak lebih natural.” Jelas Raphael langsung tapi tetap menjaga nadanya.
Sementara Victoria yang mendengar komentar secara terbuka mengenai penampilannya, tidak mungkin tidak tersinggung. Tapi mengingat yang berbicara adalah sumber dananya, jadi dia hanya tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah aku akan setuju selama kita masih menikah. Sebenarnya aku tiba-tiba menyukai tubuh gemuk ini dan entah kenapa sangat percaya diri memakai pakaian ketat, jadi sekalian aku tingkatkan make-up ku. Maaf mengganggu kalian.”
Raphael sebenarnya tidak mengerti arah pembicaraan Victoria, tapi dia tetap mengangguk saja agar tidak memperpanjang masalah.
Begitulah mereka berbicara. Yang sebelumnya suka bertengkar, kini membicarakan hal sensitif sekalipun dengan tenang.
Wah, uang membuatku sangat bertoleransi. Pikir Victoria di dalam hatinya. Atau kalau tidak, siapa yang ingin mendengar kritikan?
Sementara Remi yang takut ada pertengkaran diantara Kakak-kakaknya di meja makan, memaksa menggedor pintu kamar Estella dan dikejutkan dengan mata bengkak gadis itu. Dia kemudian teringat kejadian tadi malam, jadi memilih tidak bersikap serius.
“Eh ada yang menangis sepanjang malam nih, pasti karena nonton drama kolosal,” katanya sambil mengacak rambut Estella.
“Apa sih kau. Memangnya ada apa dengan drama kolosal?”
“Bukankah setiap drama kolosal pasti berakhir tragis, bisa jadi kau menangis karena itu bukan.”
Mendengar ini Estella berdecak kesal. “Ah, sudahlah.” Dia melewati Remi dan hendak melangkah pergi ke ruang makan, sebelum tangannya ditarik.
“Jangan dulu kesana, aku pikir mereka pasti sedang bertengkar.”
Mengerti siapa yang dimaksudkan, Estella memasang telinga serius tapi tak mendengar apapun. Dia kemudian teringat ucapan Victoria semalam.
“Sudahlah ayo. Mereka tidak bertengkar.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Tidak ada yang bertengkar, setelah semuanya selesai.”
Remi terdiam masih tak mengerti, bahkan hingga mereka akhirnya pergi ke sekolah. Keduanya naik motor bersama dengan Remi yang akhirnya tak tahan lagi. Dia terus menerus membujuk Estella, bahkan membawa persahabatan dan persaudaraan mereka.
Mendengar ini Estella kembali teringatkan, sebenarnya perceraian Victoria memiliki sisi yang sedikit membuatnya senang. Walaupun khawatir dan tidak rela, tapi disatu sisi kalau memang Kakak mereka akan berpisah, dia merasa ada sedikit peluang untuk hubungan yang lebih dengan Remi.
“Aku akan menceritakan di sekolah.”