Aluna Aurelia Pradipta memimpikan keindahan dalam rumah tangga ketika menikah dengan Hariz Devandra, laki-laki yang amat ia cintai dan mencintainya. Nyatanya keindahan itu hanyalah sebuah asa saat keluarga Hariz campur tangan dengan kehidupan rumah tangganya.
Mampukan Aluna bertahan atau memilih untuk pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Hariz
Sudah beberapa hari Aluna masih bersikap dingin kepada Hariz, Mona, dan juga Sandra. Hariz pun tidak berani menegur sang istri sebab ia sadar dirinya yang salah dalam hal ini. Namun semakin lama Hariz menjadi tidak tahan, ia mencoba membujuk Aluna.
Pagi hari saat Aluna sedang bersiap untuk pergi, Hariz mendatangi Aluna mencoba untuk bicara dengan sang istri.
"Aluna … apa yang bisa membuat kamu maafin aku dan keluargaku?" tanya Hariz.
Aluna yang sedang bersiap pun hanya melirik sekilas ke arah Hariz tanpa mengeluarkan suara lantas kembali berkutat dengan aktivitasnya. Hari itu adalah hari yang sangat panting bagi Aluna. Setelah menunggu beberapa hari akhirnya butik nya akan dibuka untuk umum. Kabar baiknya adalah belum sepenuhnya butik nya buka pelanggan lamanya sudah menyerbu Aluna untuk dibuatkan barang sesuai desain yang mereka inginkan. Itu artinya dirinya akan begitu sibuk dan ia tidak ingin masalah kecil mengganggunya.
"Aluna … please talk to me." Hariz dibuat frustasi oleh diamnya sang istri.
"Aku sudah maafin kamu, mama, dan juga adik kamu. Kamu tenang saja," ucap Aluna dingin.
"Tapi sikapmu masih dingin padaku, Aluna. Kamu benar-benar berubah," keluh Hariz.
Aluna yang sedang bercermin berbalik menatap Hariz yang sedang berdiri beberapa langkah di hadapannya. "Orang bisa berubah sesuai keadaan, Mas. Dan kalian berhasil membuat aku jadi seperti ini."
"Aku benar-benar minta maaf, Sayang." Hariz berjalan mendekati Aluna mencoba untuk memberikan pelukan, tetapi Aluna menghindarinya. "Aluna … tolong stay di rumah. Jadi Aluna yang dulu."
"Maksudmu jadi pembantu di rumah ini?" sindir Aluna.
"Bukan begitu, Aluna," tampik Hariz.
"Lantas apa, Mas?" tanya Aluna.
"Aluna … Aku akan perbaiki semuanya. Aku akan kembalikan semua hak kamu. Kita mulai dari awal lagi ya," bujuk Hariz. "Rumah ini kacau tanpa kamu," sambungnya.
"Hidupku juga kacau karena orang tuaku tiada, Mas. Bisakah kamu menghidupkan kembali kedua orang tuaku?" tekan Aluna.
"Kamu tahu itu tidak akan mungkin," ucap Hariz.
"Aku tahu. Kalau begitu biarkan aku bekerja. Mungkin dengan ini aku bisa menerima kematian mereka. Aku hanya ingin supaya aku tidak berlarut dalam kesedihan," debat Aluna.
"Sayang … tolonglah tetap di rumah seperti dulu," mohon Hariz.
"Aku akan tetap di rumah jika ibu dan adik kamu tinggalkan rumah ini," tawar Aluna.
"Tapi mereka —" Sebelum Hariz menyelesaikan ucapannya Aluna lebih dulu memotongnya.
"Aku tahu kamu tidak akan bisa menyuruh mereka untuk pergi. Tapi aku juga yakin saat aku tetap di rumah mereka akan bersikap baik padaku," potong Aluna. "Jadi pilihan kamu cuma ada satu biarkan aku bekerja."
"Aluna —" Lagi-lagi ucapan Haris dipotong oleh Aluna.
"Mas, kali ini aku mau egois. Sudah cukup bagiku mengalah selama ini," sela Aluna.
Hariz diam tidak langsung menjawab ia berpikir sejenak. Sampai pada akhirnya hari menyetujui permintaan Aluna. "Baiklah kamu boleh bekerja tapi aku tidak mau Jika kamu bekerja kamu sampai lupa tanggung jawabmu sebagai seorang istri," peringat Hariz.
"Tanggung jawab?" Aluna tertawa merasa kata-kata Hariz adalah sebuah lelucon. Lantas Aluna kembali berbalik berjalan mendekat dan berhenti beberapa langkah dari Hariz. "Bagaimana aku bisa bertanggung jawab atas kamu dan rumah ini? Bukankah kamu sudah melimpahkan semua tanggung jawab itu kepada ibu kamu. Jika kamu merasa rumah ini menjadi kacau itu bukan menjadi tanggung jawabku lagi.
Setelah mengatakan kalimat itu Aluna keluar dari kamar berjalan menuruni anak tangga dengan langkah anggun. Bersyukur ibu mertua dan adik iparnya tidak terlihat membuat Aluna sedikit merasa lega. Setidaknya tidak ada perdebatan.
Aluna berjalan ke meja makan, tidak ada apapun di sana. Ia pun pergi ke dapur membuka lemari pendingin hanya ada beberapa lembar roti, susu, dan juga selai cokelat lantas membawanya ke meja makan.
Tidak lama Haris pun datang duduk bersama di meja makan dalam diam. Hanya berdua, jujur saja Aluna merasa rindu dengan situasi itu. Andai saja adik dan ibu mertuanya bisa bersikap seperti mendiang ayah mertuanya mungkin mereka bisa menjadi satu keluarga yang bahagia.
"Hanya ada roti. Kamu mau?" tanya Aluna membuka obrolan.
"Apapun," jawab Hariz.
"Baiklah, aku akan buatkan kopi untukmu dulu." Aluna menggeser kursi ke belakang lantas kembali pergi ke dapur.
Di dapur Aluna mengisi panci dengan air lantas meletakkannya di atas kompor. Aluna menekan tombol untuk menyalakan pemanasnya. Sambil menunggu air itu mendidih Aluna menuang kopi di cangkir kecil berwarna putih lalu mencampurnya dengan gula. Setelah air mendidih Aluna menuangkannya ke dalam cangkir mengaduknya lantas membawanya ke meja makan.
"Ini kopinya." Aluna meletakkan secangkir kopi ke hadapan Hariz.
Aluna duduk kembali di tempat semula kemudian menghidangkan roti ke piring Hariz. "Ini untukmu."
"Terima kasih," ucap Hariz disambut anggukkan oleh Aluna.
"Hmmm," gumam Aluna. Ia juga mengoleskan selai cokelat ke roti untuk dirinya sendiri.
Setelah itu hening mengambil alih suasana, mereka sama-sama terdiam hanya fokus pada sarapan mereka.
"Hari ini aku tidak ke kantor," ucap Hariz membuka obrolan.
"Kenapa?" tanya Aluna mendongak melihat ke arah Hariz.
"Hari ini pembukaan butik kamu, kan? Aku temani kamu," jawab Hariz. "Kamu tidak keberatan, kan?" tanya Hariz.
"Tidak," jawab Aluna. "Tapi apa tidak akan menganggu pekerjaanmu? Bukankah selama ini kamu selalu marah saat aku menganggu pekerjaanmu?" tanya balik Aluna setengah menyindir Hariz.
"Aluna …." Hariz meraih tangan Aluna lalu mengenggamnya. "Aku sudah katakan, kita akan perbaiki semuanya. Tolong kasih aku kesempatan, Sayang," pinta Hariz.
Aluna menarik tangannya yang digenggaman oleh Hariz. "Aku butuh bukti, Mas. Bukan sekedar omongan."
"Aku akan buktikan padamu," tekad Hariz. "Baiklah, selesaikan sarapanmu. Kita berangkat sama-sama," suruh Hariz dibalas senyuman oleh Aluna.
Keduanya kembali melanjutkan sarapan didampingi obrolan kecil. Saat suasana mulai nyaman datanglah Mona dan Sandra yang berhasil membuat suasana hati Aluna kembali buruk. Hariz mengenggam tangan Aluna memberikan isyarat jika semuanya akan baik-baik saja.
Aluna berdecih saat melihat penampilan ibu mertua dan adik iparnya, jelas sekali jika mereka baru saja bangun tidur.
"Mana sarapan untuk kami?" tanya Sandra sembari menarik kursi untuk ia dudukki.
"Sebelum bertanya sarapan, setidaknya cuci wajahmu," ejek Aluna.
"Tidak ada urusannya dengan kamu. Yang makan itu mulutku bukan wajahku," ucap Sandra.
"Dasar jorok," batin Aluna.
"Kenapa tidak ada apapun di sini? Mana sarapan untuk kami?" Omel Mona. "Jadi istri tidak becus sekali," makinya.
"Kenapa Mama bertanya padaku. Harusnya Mama bertanya pada diri Mama sendiri. Keuangan rumah ini Mama yang pegang, bukan?" balas Aluna.
"Kamu —" Ucapan Mona langsung disela oleh Hariz.
"Cukup, Ma. Mulai sekarang Aluna yang akan pegang keuangan rumah ini lagi," sela Hariz.
"Tapi, Hariz —"
Hariz mengangkat tangannya menunjukkan telapak tangannya pada sang ibu. "Ini sudah menjadi keputusan Hariz, Ma. Hariz rasa Aluna lebih tepat mengelolanya."
"Hariz —"
"Sayang, ayo kita pergi." Hariz berdiri lebih dulu lantas meraih tangan Aluna. Mereka pun pergi dari tempat itu.
Aluna melihat ke arah ibu mertua dan adik iparnya lantas mengerlingkan satu matanya serta menunjukkan senyum kemenangan.
Pasti Elgar pemilik hotel itu, dan dia menyukai Aluna. Syukurlah Luna belum punya anak dengan Hariz. Saya yakin setelah terbongkar kebusukan Hariz, perusahaannya akan hancur.
Thoor jika perceraian Aluna dan Hariz, cepet, atas bantuan Elgar, tak kasih nilai 5 bintang