"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Pondok Labu, 4 April 2012
Matahari masih enggan naik terlalu tinggi, menyisakan cahaya lembut yang menyelinap masuk melalui jendela kelas. Udara pagi yang sejuk perlahan menghangat seiring waktu berjalan. Beberapa siswa sudah duduk di bangku mereka, ada yang bersandar dengan wajah mengantuk, ada pula yang sibuk mengobrol pelan dengan teman sebangku.
Di sudut kelas, seorang siswa terlihat masih berjuang melengkapi tugas yang belum selesai, pensilnya bergerak cepat di atas kertas sementara matanya sesekali melirik ke pintu, berharap guru belum datang. Di sisi lain, beberapa siswa berkumpul di dekat jendela, menikmati angin pagi yang menyapu lembut wajah mereka.
Di luar kelas, langkah-langkah tergesa terdengar di koridor, diiringi suara riuh siswa lain yang baru tiba. Tas-tas dijatuhkan ke atas meja, kursi-kursi sedikit bergeser, dan suara kertas-kertas yang dibolak-balik mulai memenuhi ruangan. Aroma khas buku pelajaran bercampur dengan harum kopi dari termos kecil milik seorang siswa yang diam-diam menyeruput minumannya.
Bri mengamati bayangannya di cermin kecil milik temannya. Senyumannya terasa canggung. Giginya kini dihiasi kawat behel berwarna biru tua yang baru saja ia pasang kemarin. Ibunya meyakinkannya bahwa ini akan membuat giginya lebih rapi dalam beberapa tahun ke depan. Namun, Bri tidak bisa menghilangkan rasa gugupnya menghadapi hari pertama di sekolah dengan behel.
“Nanti kalau ada yang meledekku bagaimana?” gumamnya pada diri sendiri.
“Kenapa Bri?” Suara Gea, membuyarkan lamunannya.
Bri mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil. “Hanya berpikir. Bagaimana ya kalau anak-anak nanti meledekku soal behel ini?”
Gea menepuk pundaknya. “Sudah tenang saja. Kalau ada yang meledek, Aku pukul kepalanya nanti!” Bri tertawa kecil, tetapi hatinya tetap tak tenang.
Saat bel berbunyi, para siswa mulai berdatangan ke kelas. Termasuk Raga—tetangga sebelah rumahnya. Kini mereka sudah berada di kelas 9 dan mereka berdua masih tetap sekelas meski kemarin di kelas 8 berpisah selama setahun. Raga tidak pernah kehabisan ide untuk mengerjai Bri, dan Bri juga tak pernah segan untuk membalasnya.
Raga yang berjalan dengan riang lewat di sampinh meja Bri langsung menangkap perubahan pada wajah Bri. “Wah, nampaknya ada yang baru pasang behel,” ucapnya dengan nada menggoda.
Bri menghela napas, berusaha mengabaikannya. Namun, Raga bukan tipe yang mudah menyerah. Ia mencondongkan tubuhnya, menyengir lebar sambil memamerkan giginya. “Wah, seperti gembok kandang sapi!” serunya keras.
Beberapa anak di sekitarnya tertawa. Bri langsung merasa pipinya memanas.
“Diam!” Nina mendesis kesal.
Raga malah semakin menjadi-jadi. “Awas, nanti kalau besi di mulutmu karatan, kau bisa jadi superhero Iron Woman!”
Kelas meledak dalam tawa. Gea menatap Raga dengan tajam. “Sudah, Raga! Tidak usah berlebihan!” Bri ingin membalas, tetapi bel sudah berbunyi. Guru masuk, dan ia terpaksa menahan emosinya. Tapi, ia berjanji dalam hati Raga akan dapat balasannya.
Selama beberapa minggu berikutnya, Raga tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejek Bri. Setiap kali Bri berbicara, Raga akan menirukan suara berdesis, seolah-olah dia kesulitan bicara karena behel.
“Sudah jangan banyak bicara, nanti radio sekolah kita rusak karena terngaggu sinyalnya!” Raga melirik Bri menunggu gadis itu untuk bereaksi.
"Kenapa bisa rusak?" tanya temannya yang lain.
"Karena behel Bri tersangkut di tower pemancar!" Bri hanya bisa memandangi mereka semua dengan sinis berharap Raga dan teman-temannya kena karmanya.
“Aduh! Kok aku merasa kelas kita semakin silau ya? Oh iya! Ini karena behel Bri jadi sinar mataharinya memantul!”
Ejekan-ejekan itu terus berlanjut. Setiap kali Raga melontarkan leluconnya, teman-temannya tertawa. Meskipun Gea selalu membela Bri, tetap saja ia merasa sakit hati.
Di rumah, Bri sering mengurung diri di kamar. Ia mengeluh kepada ibunya, tapi ibunya hanya menyuruhnya bersabar. “Nanti juga mereka bosan sendiri,” kata ibunya. Namun, kesabaran Bri mulai menipis.
Suatu hari, dia menemukan ide. Jika Raga suka mengejek, kenapa ia tidak balik mengerjai Raga?
Kantin sekolah dipenuhi dengan hiruk-pikuk siswa yang berdesakan di depan etalase makanan. Aroma gorengan yang masih panas bercampur dengan harum mie rebus dan es teh manis yang menyegarkan. Suara dentingan sendok dan gelas beradu terdengar samar di tengah riuhnya percakapan para siswa yang tengah antre atau sudah duduk menikmati makanannya.
Di meja kasir, seorang ibu kantin dengan cekatan menghitung uang dan memberikan kembalian, sementara tangan lainnya menyendokkan nasi ke dalam piring seorang siswa. Beberapa siswa di antrean belakang tampak berjinjit, mencoba mengintip pilihan makanan yang tersisa sebelum tiba giliran mereka.
Di sudut kantin, sekelompok siswa duduk melingkar di meja panjang, menikmati makan siang sambil bercanda. Ada yang menyuapkan nasi dengan terburu-buru karena jam istirahat hampir habis, ada pula yang makan dengan santai sambil sesekali menggoda temannya yang kehabisan uang jajan.
Di meja lain, seorang siswa dengan hati-hati menuang saus ke atas bakwan gorengnya, sementara temannya yang lain bernama Raga menyesap es teh dalam-dalam, menikmati kesegaran di siang yang panas. Bri mendekatinya dengan senyum penuh arti. “Makan yang kenyang. Mungkin setelah ini kau jadi tidak napsu makan lagi,” ucap Bri sambil berlalu dari sana.
Raga mengangkat alis. “Hah? Apa maksudmu?”
Juan tiba-tiba muncul di sampingnya . “Coba masuk ke kelas. Ada fotomu terpampang di sana, semua orang sedang heboh melihat itu.” Raga memandang Bri sengit khawatir dengan apa yang akan atau telah dilakukan gadis itu. Dia dan dua orang temannya yang lain bergegas berlari menuju kelas.
Sesampainya kelas yang sudah ramai Raga berusaha mencapai tempat duduknya yang ramai dipenuhi orang-orang yang kini menatapnya dengan geli.
Raga akhirnya melihat sendiri hal apa yang membuat orang-orang berkumpul. Sebuah foto saat dia berumur 12 tahun sedang memakai piama pink yang ia ingat adalah milik Bri, di dalam foto itu dia tertidur sambil memeluk guling terlihat sangat imut, waktu itu mereka pergi kemping ke sebuah bumi perkemahan, sewaktu mau tidur Raga tidak sengaja jatuh dari perjalanannya menuju toilet. Baju tidurnya kotor terkena lumpur dan terpaksa meminjam baju Bri yang kebetulan memang dibawa lebih.
Wajah Raga memerah sembari menatap foto itu, dengan geram diambilnya foto itu dan diremasnya.
"Lihat apa kalian?!" teriaknya marah yang menyebabkan kerumunan itu berangsur pergi.
Bri yang masuk menghampirinya dengan santai mengambil sobekan foto yang sudaj berceceran di lantai, “Loh kok dirobek Ga? Sayang sekali padahal di foto ini kau imut sekali. Kau cocok dengan warna merah muda,” ucap Bri yang mengundang gelak tawa dari beberapa orang yang masih ada di sana.
Suasana kelas menjadi penuh riuh oleh tawa. Kali ini, Raga yang merasa malu.
Gea menepuk bahu Bri dengan bangga. “Kemenangan telak untuk Bri!”
Raga melotot ke arah Bri. “Lihat saja nanti!.” Bri hanya mengangkat bahunya santai.
Sejak saat itu, permusuhan mereka semakin sengit. Setiap kali ada kesempatan, mereka saling menjatuhkan satu sama lain.
Suatu hari, saat Bri berjalan di lorong sekolah, tiba-tiba ada suara di belakangnya. “Eh, awas! Ada magnet berjalan! Hati-hati behelmu tersangkut nanti!” Bri berbalik dan melihat Raga serta beberapa temannya tertawa.
Bri mengepalkan tangan, berusaha menahan amarahnya. Ia tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan berteriak atau menangis di depan mereka.
Tapi kejadian paling memalukan terjadi ketika Raga menempelkan magnet kecil ke pintu kelas. Saat Bri lewat, Raga pura-pura panik. “Pelan-pelan jalannya! Nanti behelmu tertarik magnet!” Seluruh kelas tertawa. Kali ini, Bri benar-benar merasa malu. Ia segera berlari keluar kelas tanpa berkata apa-apa.
Gea mengejar dan menemukannya di toilet, menundukkan kepala dengan mata berkaca-kaca. “Jangan diambil hati. Kita akan cari cara buat balas dia lagi.” Namun, Bri mulai lelah dengan permainan ini. Dia merutuki dirinya yang selalu kalah jika berurusan dengan anak nakal itu.