"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Kecurigaan
Hania meliriknya sekilas sebelum tersenyum tipis. “Heran kenapa?”
“Karena… kalau benar kamu hanya pernah merawat orang stroke, seharusnya ada sedikit rasa canggung atau keraguan saat memandikan atau mengobati luka seseorang. Tapi sejak awal, kamu seperti sudah sangat terbiasa.”
Hania tetap terlihat tenang meskipun dalam hatinya ia mulai bersiap untuk menghadapi pertanyaan ini. “Saya memang tidak punya sertifikat profesional, tapi saya banyak belajar.”
“Dari mana?”
“Saya dulu sering membantu bidan di desa saya. Dari sanalah saya banyak belajar tentang cara merawat pasien, mengobati luka, bahkan mengenali beberapa jenis obat.” Hania berbicara tanpa ragu, seperti sudah menyiapkan jawabannya sejak lama. “Bidan itu baik hati, sering mengizinkan saya membaca buku-buku medisnya. Saya memang tertarik pada dunia medis.”
Ziyo mengangguk pelan, mencerna kata-kata Hania. “Jadi, kamu belajar dari pengalaman dan membaca buku?”
Hania mengangguk meski Ziyo tak bisa melihatnya. “Kurang lebih begitu. Saya suka membaca dan memerhatikan. Mungkin karena itu saya jadi terbiasa.”
Ziyo terdiam beberapa saat. Ia masih merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi jawaban Hania terdengar cukup masuk akal. Ia tidak merasakan kegugupan atau kebohongan dalam nada suara wanita itu.
“Kalau begitu, boleh aku bertanya sesuatu?” Ziyo akhirnya berkata.
“Tentu,” jawab Hania santai.
“Aku tidak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan sesuatu,” ujar Ziyo perlahan. “Kebanyakan orang, terutama wanita, mereka akan merasa sedikit canggung atau setidaknya terdiam sesaat saat memandikan pria yang memiliki tubuh berotot.”
Hania tetap tenang, tetapi dalam hati ia sedikit terkejut dengan ucapan Ziyo.
“Aku tidak bisa melihat reaksimu, tapi aku bisa merasakan gerakan tanganmu. Sejak awal, kamu tidak menunjukkan tanda-tanda terkesan atau ragu.” Ziyo menyandarkan kepalanya. “Seolah… ini bukan hal baru bagimu.”
Hania tersenyum tipis. “Saya sudah bilang, saya terbiasa merawat orang sakit. Bukan hanya satu atau dua orang. Kalau saya masih terkesan dengan bentuk tubuh pasien, mungkin saya tidak cocok untuk pekerjaan ini.”
Ziyo terdiam. Logikanya mengatakan bahwa jawaban Hania masuk akal, tapi ada sesuatu yang tetap terasa janggal. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh.
“Baiklah,” gumamnya akhirnya. “Aku hanya ingin memastikan.”
Hania tersenyum kecil, lalu berdiri. “Kalau begitu, saya akan mengambil makan malam untuk Anda. Tunggu sebentar.”
Saat langkah Hania menjauh, Ziyo masih termenung. Wanita ini penuh kejutan, dan entah kenapa, ia merasa Hania menyimpan sesuatu yang lebih dari yang terlihat.
Selain sebagai putri seorang dokter kaya, siapakah sebenarnya Hania?Hania adalah seorang dokter umum. Ia pernah menempuh pendidikan S1 kedokteran dan menyelesaikan profesinya sebelum akhirnya memilih berkecimpung di bidang farmasi. Keputusannya ini bukan karena ia tak menyukai dunia medis, tetapi karena ketertarikannya yang lebih besar pada penelitian obat-obatan dan pengembangan farmasi.
Dengan latar belakang ini, wajar jika Hania sangat terampil dalam merawat Ziyo, memahami kondisi kesehatannya, serta memiliki pengetahuan luas tentang pengobatan.
Ziyo masih memikirkan Hania ketika suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Ia menghela napas, lalu berkata tenang, "Masuk."
Pintu terbuka, dan seorang pria paruh baya masuk dengan langkah mantap. Prasetyo, pria yang telah lama mengabdi pada keluarga Ziyo, berdiri di dekat ranjangnya dan memberi hormat kecil. "Tuan muda," sapanya dengan hormat.
Ziyo menoleh sedikit ke arah sumber suara. "Bagaimana perusahaan selama aku tidak masuk?" tanyanya langsung, suaranya tetap tenang, meski ada sedikit ketegangan dalam nada bicaranya.
Prasetyo terdiam sejenak, seolah menyusun kata-kata yang tepat. "Sejauh ini, operasional masih berjalan, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada kegaduhan di internal, terutama di antara para pemegang saham."
Ziyo mengepal tangannya di atas selimut. "Karena mereka tahu aku lumpuh dan buta?"
Prasetyo mengangguk, meski sadar Ziyo tak bisa melihatnya. "Benar, Tuan. Berita tentang kondisi Anda telah menyebar. Ada kekhawatiran besar tentang masa depan perusahaan. Beberapa pemegang saham mulai meragukan stabilitas kepemimpinan Anda. Dan…" Prasetyo ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Beberapa pihak sepertinya mulai bergerak, mencoba mengambil kesempatan."
Ziyo tersenyum tipis, tanpa emosi. "Tentu saja. Sudah kuduga mereka tidak akan tinggal diam."
"Tapi saya dan beberapa orang masih berusaha meredam kepanikan, Tuan," lanjut Prasetyo. "Kami meyakinkan mereka bahwa Anda masih memiliki kendali atas perusahaan. Namun, tanpa kehadiran langsung Anda, sulit untuk sepenuhnya menenangkan mereka."
Ziyo terdiam beberapa saat, lalu berkata dengan suara rendah namun tegas, "Aku mungkin tidak bisa melihat atau berjalan… tapi itu tidak berarti aku kehilangan kendali."
Prasetyo menatapnya dengan hormat. "Saya mengerti, Tuan. Jika ada instruksi, saya siap menjalankannya."
Ziyo tersenyum tipis, seolah sedang menyusun strategi di pikirannya. "Akan kupikirkan langkah selanjutnya. Untuk sekarang, tetap jaga situasi tetap terkendali. Dan pastikan tidak ada yang bertindak gegabah sebelum aku mengambil keputusan."
Prasetyo menunduk hormat. "Baik, Tuan muda. Saya akan melakukan yang terbaik."
Ziyo mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini baru permulaan.
Setelah Prasetyo pergi, Hania kembali ke kamar Ziyo dengan nampan berisi makan malam. Ia duduk di samping tempat tidur dan mulai menyuapi Ziyo dengan telaten, memastikan pria itu makan dengan cukup.
"Pelan-pelan saja, jangan terburu-buru," ucapnya saat Ziyo mengunyah dengan agak cepat.
Setelah Ziyo selesai makan dan minum obatnya, ia tiba-tiba bertanya dengan nada datar, "Bagaimana wajahku sekarang?"
Hania, yang sedang merapikan sisa makanan, terdiam sejenak. Tanpa sadar, ia menjawab dengan nada tenang, hampir seperti seorang dokter yang memberi penjelasan kepada pasiennya.
"Luka di wajah Anda masih dalam tahap penyembuhan. Bekasnya mungkin akan memudar seiring waktu, terutama jika ditangani dengan baik. Yang penting sekarang fokus pada pemulihan dulu, karena tubuh Anda butuh energi untuk menyembuhkan diri," ucapnya sambil menuangkan segelas air putih untuk Ziyo.
Ziyo terdiam. Ada sesuatu dalam cara Hania berbicara, terlalu sistematis, terlalu yakin. Bukan jawaban biasa dari seorang perawat pribadi tanpa latar belakang medis. Ditambah lagi, motivasi yang ia berikan terdengar seperti sesuatu yang sering dikatakan oleh dokter kepada pasiennya.
Kecurigaannya semakin bertambah.
"Hania," panggilnya pelan, suaranya sedikit lebih tajam. "Kau benar-benar hanya seorang perawat, 'kan?"
Hania tersentak, tetapi dengan cepat menyembunyikan kegugupannya. Ia tersenyum kecil, "Saya hanya sering membantu bidan di desa dulu, itu saja. Sudah biasa melihat luka dan merawat orang sakit, jadi wajar kalau saya tahu sedikit tentang ini."
Ziyo tak langsung menjawab. Meskipun ia tak bisa melihat ekspresi Hania, ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dalam nada suaranya. Namun, untuk saat ini, ia memilih diam dan menyimpan kecurigaannya.
Ziyo masih merenungkan jawaban Hania ketika sebuah pemikiran muncul di benaknya. Alisnya berkerut, dan tanpa ragu ia bertanya,
"Hania, kenapa saat pertama kali ingin bekerja di sini, kau tidak pernah bilang kalau kau pernah membantu bidan di desa?"
Hania yang sedang membereskan nampan makanan langsung menegang sesaat. Namun, ia segera menguasai diri dan berusaha tetap tenang.
Ziyo melanjutkan, "Bukankah itu justru bisa membuatmu lebih mudah diterima? Dengan pengalaman itu, aku pasti lebih percaya kau bisa merawatku dengan baik."
Hania tersenyum kecil, meski dalam hatinya ia mulai waspada. Ia menaruh nampan ke meja kecil di samping tempat tidur sebelum menjawab dengan nada ringan,
"Saya tidak berpikir itu penting saat itu, Tuan. Saya hanya ingin bekerja dengan tulus, bukan melebih-lebihkan diri agar diterima. Lagi pula, saya tidak memiliki sertifikat pendidikan sebagai bukti. Saya takut kalau saya menyebutkannya, malah dianggap berlebihan."
Ziyo terdiam, mencerna jawaban itu. Logis, memang. Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam cara Hania berbicara yang membuatnya semakin penasaran.
"Hmm," gumamnya pelan. "Baiklah."
Hania tersenyum dalam hati, lega karena untuk saat ini Ziyo tampaknya menerima alasannya. Namun, ia tahu, pria itu bukan seseorang yang mudah ditipu. Kecurigaannya belum benar-benar hilang.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....