"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya yang padam
Bab 5: Cahaya yang Padam
Hari itu, suasana rumah Rini terasa lebih suram dari biasanya. Tidak hanya karena lelah yang terus menggerogoti tubuhnya, tetapi juga karena kehadiran dua petugas dari PLN yang berdiri di depan rumahnya.
“Bu, kami dari PLN. Sesuai catatan, keringanan pembayaran untuk rumah ini sudah berakhir bulan lalu. Kami harus mencabut sambungan listrik hari ini,” kata salah satu petugas dengan nada tegas, meskipun terlihat enggan.
Rini tercekat. Ia tahu saat ini tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Saat masih bersama mantan suaminya, mereka pernah memohon keringanan ke PLN karena tidak mampu membayar tagihan listrik selama tiga bulan. Namun kini, dengan suaminya yang telah pergi, tanggung jawab itu sepenuhnya berada di pundaknya.
“Pak, apakah tidak ada cara lain? Saya janji akan membayar jika saya punya uang. Mohon beri saya waktu sedikit lagi,” kata Rini dengan suara memohon.
Petugas itu saling pandang, ragu sejenak. Namun, aturan tetaplah aturan. “Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan tugas. Kalau Ibu mau, setelah ada dana, sambungan bisa diaktifkan kembali. Untuk sekarang, kami harus melaksanakan pemutusan.”
Mereka mulai bekerja, mematikan sambungan listrik yang sudah menyalakan rumah kecil itu selama bertahun-tahun. Dalam waktu singkat, cahaya di rumah Rini benar-benar padam.
“Terima kasih, Pak,” ucap Rini dengan suara lemah ketika para petugas pergi. Ia tahu mereka hanya melakukan tugas, tetapi tetap saja, kehilangan listrik terasa seperti kehilangan satu-satunya kenyamanan yang tersisa di hidupnya.
---
Malam itu, gelap terasa begitu menyesakkan. Aditya dan Nayla duduk berdekatan di ruang tamu yang gelap gulita. Aditya mencoba bersikap tegar, tetapi Nayla mulai terisak.
“Ibu, gelap banget… Aku takut…” ucap Nayla, memeluk lututnya.
Rini berusaha menenangkan mereka. “Ibu akan pergi sebentar beli lilin, ya. Aditya, jaga adikmu baik-baik. Jangan buka pintu untuk siapa pun.”
Aditya mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. Setelah memastikan pintu terkunci, Rini melangkah keluar menuju warung kecil di ujung jalan.
Di bawah sinar lampu jalan yang redup, Rini merasakan kesepian yang begitu menusuk. Ia berjalan cepat, tetapi dalam pikirannya, ia terus merenungkan betapa beratnya hidup ini.
Setibanya di warung, ia membeli dua batang lilin dengan uang terakhir yang ia miliki. Setelah menerima lilin itu, Rini berhenti sejenak di depan warung. Air matanya akhirnya tumpah, mengalir deras di pipinya.
“Tuhan, kenapa hidup kami begini sulit? Apa salah saya sampai harus menjalani semua ini?” bisiknya sambil memeluk lilin di tangannya.
Ia tahu ia harus kuat, tetapi di malam itu, rasa putus asa terasa begitu besar. Ia menangis dalam diam, berharap tidak ada yang melihat.
---
Ketika Rini kembali ke rumah, ia mendapati Aditya memeluk Nayla erat-erat di sudut ruangan. Nayla masih terisak, sementara Aditya berusaha menenangkannya.
“Ibu sudah pulang,” kata Rini pelan sambil menyalakan lilin. Cahaya kecil itu menyinari ruangan yang gelap, memberikan sedikit rasa lega kepada anak-anaknya.
“Ibu… kapan lampu kita bisa nyala lagi?” tanya Nayla dengan suara kecil.
Rini memaksakan senyum. “Nanti, Nak. Kalau Ibu sudah punya uang, kita bisa nyalakan lagi.”
Aditya memandang ibunya dengan mata penuh kesedihan. “Ibu capek, ya? Kita nggak apa-apa kok, Bu… Asal Ibu nggak nangis.”
Rini merasa hatinya hancur mendengar kata-kata anak sulungnya. Ia memeluk Aditya dan Nayla erat-erat, membisikkan janji yang ia sendiri tak tahu bisa ia penuhi atau tidak.
“Kita akan melewati semua ini bersama-sama. Ibu janji.”
Malam itu, mereka tidur di bawah cahaya lilin yang redup. Namun, dalam hati Rini, ada api kecil yang terus menyala—api harapan, meskipun nyaris padam.
---