"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 5
Sementara itu, Carlton duduk di lounge hotel tempat ia baru saja sampai, menatap gelas wiski di tangannya sambil menunggu seseorang datang sesuai dengan janji temu mereka.
Pikiran Carlton terus tertuju pada Ariella.
Gadis itu mengingatkan Carlton pada seseorang dari masa lalunya seseorang yang mencoba ia lupakan.
Carlton tidak bisa memahami mengapa ia tergerak untuk membantu gadis itu.
Rasa bersalah?
Carlton tidak bisa memahami mengapa ia tergerak untuk membantu gadis itu.
Rasa bersalah?
Tidak, ia bisa saja memberikan gadis itu beberapa ratus dolar dan memintanya pergi, tetapi ini sungguh di luar batas kebiasaannya. Memungut gadis miskin yang suka memprotes.
"Jujur saja, Carlton. Kau membawanya ke sana bukan karena rasa bersalah atau kasihan, tetapi karena gadis itu mirip dengan Ruby. Gadis kecil di panti asuhan yang tewas karena kebakaran beberapa tahun lalu," kata Carlton di dalam hati.
Carlton Rutherford dalam perjalanan setelah
melakukan pertemuan dengan beberapa bawahannya di hotel bintang lima sekitar dua jam lalu.
Kini, ia sedang menuju kediaman kakeknya di perumahan elit Brooklyn, perjalanan dari Vegas menuju ke sana memakan banyak waktu, dan Carlton lumayan kehabisan energi karena seharusnya ia memanfaatkan waktu perjalanan untuk beristirahat, tetapi ini undangan makan malam dari kakeknya.
Carlton datang sebab tak ingin membuat pria itu kecewa. Tidak peduli meskipun tubuhnya benar-benar lelah.
"Selamat datang, Tuan Carlton. Tuan Arthur sudah menunggu di dalam. Anda diminta langsung ke ruang makan."
Carlton melirik kepala pelayan laki-laki berambut tipis itu dan menyerahkan mantel hitamnya untuk digantung.
Di sepanjang jalan menuju ruang makan, Carlton melihat banyak sekali lukisan-lukisan yang diambil dari kakek buyut, kakek dan ayahnya, di sana bahkan ada lukisan Carlton, berdiri gagah dengan jas hitam licin tanpa sedikit pun kerutan, tanpa senyum dan tanpa sedikit pun kasih sayang.
Hanya tatapan tajam dari mata hijau yang
Carlton melirik kepala pelayan laki-laki berambut tipis itu dan menyerahkan mantel hitamnya untuk digantung.
Di sepanjang jalan menuju ruang makan, Carlton melihat banyak sekali lukisan-lukisan yang diambil dari kakek buyut, kakek dan ayahnya, di sana bahkan ada lukisan Carlton, berdiri gagah dengan jas hitam licin tanpa sedikit pun kerutan, tanpa senyum dan tanpa sedikit pun kasih sayang.
Hanya tatapan tajam dari mata hijau yang penuh kebencian dan obsesi.
Ayahnya bahkan punya tatapan yang lebih lembut, tetapi Carlton tidak akan seperti ayahnya.
Karena jika ia memiliki istri yang berselingkuh, ia akan hidup dan melakukan pembalasan, bukannya malah berakhir di rumah sakit jiwa.
Langkah Carlton yang panjang memenuhi lorong mansion mewah itu, dari jauh Carlton mendengar musik klasik dimainkan dari sebuah piringan. Sama seperti sang kakek, piringan itu juga sama antiknya.
"Cucuku!"
Dari seberang ruangan, Carlton melihat kakeknya sedang berdansa dengan salah seorang pelayan cantik. Pelayan itu tersipu ketika melihat Carlton datang, dan dia segera pergi dari sana.
"Selamat datang!"
Carlton dihadiahi pelukan kuat dari kakeknya.
"Terima kasih."
"Bagaimana dengan perjalananmu?"
"Aku banyak tertidur."
"Bagaimana kalau kita langsung ke meja makan, karena aku sudah lapar," kata pria itu sambil tersenyum jenaka.
Ekspresi Carlton tetap datar, tetapi ia mengikuti kakeknya untuk duduk di kursi, di seberang pria itu duduk.
"Sejauh mana perkembangan bisnis kita?"
Seorang pelayan menuangkan anggur merah berkualitas tinggi ke gelas Carlton, sementara kakeknya hanya diberi es teh yang rendah gula.
"Lebih baik, beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk. Beberapa transaksi dengan pihak lain membutuhkan pengawasan ketat, kita kehilangan sekitar lima slot sabu dari kelompok Torje."
"Torje lagi?"
"Banyak dari mereka dibunuh ketika sedang melakukan pengiriman barang, dan musuh melakukannya dengan sangat cerdik."
"Itu permainan lama, mereka pasti orang-orang kita sendiri."
Carlton memotong steak setengah matang miliknya, "atau orang-orang kita yang berkhianat dan bekerja sama dengan pihak musuh."
"Tepat sekali."
"Semua begitu menyita waktu."
"Kurasa itu tidak lebih penting dari persoalan yang akan kita bahas."
Carlton menelan dagingnya, ia menusuk kentang goreng dan memasukkannya ke mulut.
"Makan malam yang enak sekali, koki mana yang memasak?"
"Basil."
"Dia memang kesukaanku."
Mata hijau yang sama, yang lebih cerah dari milik Carlton menatap tajam dari seberang meja.
"Kalau kau mencoba mengalihkan perhatianku, Carlton. Kau gagal."
"Apa ini soal perempuan lagi?"
"Bukan perempuan, tapi pernikahan."
Hal yang paling Carlton hindari sepanjang hidup sebagai orang dewasa adalah topik itu, pernikahan.
Pernikahan terasa seperti mimpi buruk, mendengarnya saja ia sudah muak.
"Kau tahu aku sudah sangat tua, Carlton.
Sampai kapan kau akan terus menghindari ini.
Berapa umurmu sekarang?"
"32 tahun."
"Kau sudah cukup matang untuk jadi seorang ayah. Saat aku seusiamu, bahkan lebih muda, aku sudah punya ayahmu dan dua adiknya."
"Aku terlalu sibuk untuk mengurus soal pernikahan, Kakek."
"Untuk itulah aku mengatur kencan buta untukmu."
Mendengar kakeknya bicara begitu, raut wajah Carlton semakin gelap.
"Ada empat kandidat. Kau bisa melihatnya.
Lisa! Bawa berkasnya kemari!"
Seorang pelayan datang, membawa amplop cokelat berisi berkas identitas para gadis yang hendak dijodohkan dengan Carlton. Semuanya gadis-gadis dari kelas atas, dengan keluarga berpengaruh dan berpotensi memberi mereka keuntungan.
"Aku sudah mengatur kencan buta untukmu selama seminggu sekali, minta asistenmu untuk mencocokkan jadwal. Kali ini tidak ada alasan, Carlton. Pilih salah satu dari mereka. Gadis-gadis ini punya ayah yang bersih, mereka bahkan siap melakukan kerjasama yang lebih berani."
Keempat gadis itu luar biasa cantik, tetapi tidak ada yang kecantikannya terasa unik, lebih tepatnya Carlton tidak tertarik memperistri wanita-wanita yang terpoles bak Barbie.
Mereka benar-benar mirip seperti ibunya, dan Carlton benci ibunya.
Makan malam itu menjadi lebih tegang dari yang Carlton harapkan.
Mata hijau pria berusia 32 tahun itu bertemu dengan tatapan tegas sang kakek.
Carlton menyandarkan punggungnya ke kursi kayu jati yang dihiasi ukiran mewah, memutar gelas anggurnya dengan perlahan.
"Apakah aku terlihat membutuhkan seorang istri, Kakek?" tanya Carlton, suaranya datar tapi menyimpan ketegasan.
Arthur Rutherford tidak langsung menjawab.
Ia menyeruput es teh rendah gulanya, lalu menaruh gelasnya dengan pelan ke atas meja yang berlapiskan kaca.
"Tidak," jawabnya pendek, "tapi keluarga kita membutuhkannya."
Carlton tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai cemoohan.
"Keluarga ini baik-baik saja, Kakek. Aku telah memastikan itu. Bahkan jika seratus slot kokain atau sabu hilang, kita masih menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar. Kau tahu itu."
"Bisnis kita memang stabil, tetapi stabil saja tidak cukup di dunia seperti ini. Kita perlu memperluas pengaruh. Kau tahu? Rekan-rekan keluarga yang mengabdi untuk kita mulai merasa cemas tentang masa depan mereka. Mereka ingin pemimpin dan penerus yang sah. Kerajaan yang sudah susah payah dibangun ini tidak boleh runtuh hanya karena kau memiliki trauma dengan pernikahan."