Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu ? Bilang Dong
Di dalam kafe mewah di pusat kota Seoul, aroma kopi bercampur dengan suara dentingan gelas yang beradu. Jae Hyun duduk di depan Hye Jin, tetapi pikirannya melayang jauh dari percakapan mereka. Hye Jin, dengan senyum manisnya, mencoba menarik perhatian pria yang selama ini menjadi pusat dunianya. Namun, tatapan Jae Hyun kosong, pikirannya jelas tidak sepenuhnya berada di sana.
"Oppa, kau dengar apa yang aku katakan?" tanya Hye Jin dengan nada sedikit manja, berharap Jae Hyun menanggapinya.
Jae Hyun mengangkat pandangannya dari cangkir kopi yang sejak tadi belum ia sentuh. "Hm? Maaf, kau tadi bilang apa?"
Hye Jin menghela napas pelan, berusaha menahan rasa kecewanya. "Aku bilang, bagaimana kalau kita liburan ke Jeju minggu depan? Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama. Aku ingin kita kembali seperti dulu."
Namun, alih-alih menjawab, bayangan Nesya di rumah sakit terus menghantui benaknya. Ia teringat wajah pucat gadis itu di ruang pemulihan, bagaimana tangannya yang dingin gemetar saat perawat memeriksa kondisinya. Meskipun ia selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan mereka hanya kontrak semata, ada dorongan tanggung jawab yang sulit ia abaikan.
"Oppa?" suara Hye Jin kembali membawanya ke realitas.
Dengan sedikit canggung, Jae Hyun meraih cangkir kopinya. "Maaf, aku hanya... memikirkan sesuatu."
Hye Jin menatapnya curiga. "Kau memikirkan apa? Atau... siapa?" tanyanya dengan nada yang lebih serius.
Jae Hyun menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Hanya pekerjaan di kantor, tidak ada yang penting," jawabnya datar.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu kebohongan itu tidak sepenuhnya benar. Fakta bahwa Nesya secara hukum terdaftar sebagai istrinya membuatnya merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi padanya. Ia bahkan telah menyetujui operasi tersebut tanpa banyak berpikir—sesuatu yang bahkan mengejutkannya sendiri.
Saat Hye Jin melanjutkan pembicaraan tentang rencana masa depan mereka, ponsel Jae Hyun bergetar di meja. Sebuah pesan dari rumah sakit muncul di layar:
"Tuan Jae Hyun, pasien Nesya telah selesai menjalani operasi. Kondisinya stabil, tetapi perlu pemantauan intensif dalam beberapa hari ke depan. Harap mengunjungi untuk administrasi tambahan."
Pikiran Jae Hyun semakin bercabang. Di satu sisi, ada Hye Jin—wanita yang selama bertahun-tahun ia cintai dan ingin ia menangkan kembali. Di sisi lain, ada Nesya—istri kontrak yang seharusnya tidak memiliki tempat di hatinya, tetapi entah mengapa ia merasa bertanggung jawab atasnya.
Hye Jin memperhatikan ekspresi Jae Hyun yang berubah. "Siapa yang menghubungimu? Apakah penting?" tanyanya dengan nada menuntut.
Sejenak, Jae Hyun mempertimbangkan jawabannya. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk jujur sebagian. "Itu dari rumah sakit. Aku harus menyelesaikan beberapa urusan administratif."
"Rumah sakit?" Hye Jin mengernyit bingung. "Pasti si gadis aneh itu ? Apa kau baik-baik saja?"
Jae Hyun mengalihkan pandangannya, tidak ingin memulai perdebatan yang tidak perlu. "Bukan aku. Hanya urusan bisnis," jawabnya pendek.
Namun, tatapan tajam Hye Jin menyiratkan bahwa ia tidak begitu saja mempercayai alasan tersebut. Meski begitu, ia memilih tidak mendesak lebih jauh.
Setelah membayar minuman mereka, Jae Hyun mengantar Hye Jin pulang seperti biasanya. Namun, saat mobil berhenti di depan apartemen Hye Jin, pikirannya tetap terpaku pada Nesya.
"Oppa," panggil Hye Jin lembut sebelum turun dari mobil. "Aku benar-benar ingin kita memperbaiki hubungan ini. Aku sudah kembali, dan aku tidak akan pergi lagi. Jadi, kumohon... jangan menjauh dariku."
Jae Hyun mengangguk samar, tetapi hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setelah Hye Jin keluar dan pintu mobil tertutup, Jae Hyun memacu mobilnya menuju rumah sakit tanpa berpikir panjang.
Di lorong sunyi rumah sakit, suara langkah kakinya menggema. Ketika ia memasuki ruang rawat Nesya, ia menemukan gadis itu masih tertidur lelap, dengan wajah yang sedikit lebih segar meskipun terlihat lelah.
Tanpa sadar, ia melangkah mendekat, memperhatikan wajah tenang Nesya dari dekat. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa ia abaikan—rasa bersalah, tanggung jawab, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam yang belum ia sadari.
Dengan perlahan, ia meletakkan buket bunga yang tadi ia beli di meja samping ranjang. Ucapannya di kartu kecil yang ia selipkan terbaca jelas:
"Semoga cepat sembuh."
Untuk pertama kalinya, Jae Hyun merasakan konflik batin yang tidak mudah ia selesaikan—antara masa lalu yang ingin ia genggam dan masa kini yang perlahan mengusik hatinya.
Mata Jae Hyun membulat saat melihat sesuatu di meja samping tempat tidur Nesya. Di samping buket bunga yang baru saja ia letakkan, ada buket mawar merah yang mencolok, dengan kartu kecil berwarna krem terselip di antara kelopaknya.
Perlahan, Jae Hyun mengambil kartu tersebut dan membaca tulisan tangan yang tertata rapi:
"Untuk Nesya, semoga cepat sembuh. Jangan pernah merasa sendiri, aku selalu ada di dekatmu."
— Dirga
Rahangnya mengeras. Seketika dadanya terasa sesak, meski ia sendiri tidak tahu alasan pastinya. Perasaan asing itu membuncah—campuran antara jengkel dan rasa tidak nyaman yang sulit ia definisikan.
"Selalu ada di dekatmu?" gumam Jae Hyun pelan, alisnya berkerut tajam. Sejak kapan pria itu begitu perhatian pada Nesya? Apa hubungan mereka sebenarnya?
Pikiran itu berputar di benaknya, membuat rasa kesal semakin membesar. Sebelum menyadarinya, ia meletakkan kartu tersebut dengan kasar kembali ke tempatnya, seolah keberadaan buket itu mengusik egonya.
Jae Hyun menatap Nesya yang masih terlelap. Wajah gadis itu terlihat damai meski kondisinya belum sepenuhnya pulih. "Apa aku hanya menjadi wali di atas kertas?" pikirnya sinis. "Sementara pria lain bebas masuk dan mengambil hatinya?"
Namun, ia buru-buru menepis pikirannya. Untuk apa ia peduli? Bukankah ini semua hanya pernikahan kontrak? Tidak ada cinta di antara mereka. Ia bahkan sudah memastikan hatinya masih tertuju pada Hye Jin—wanita yang ia tunggu selama bertahun-tahun.
Tapi entah kenapa, melihat perhatian Dirga yang begitu manis membuatnya merasa… terancam.
Jae Hyun meraih kursi di sudut ruangan dan duduk di sana. Ia menyandarkan punggungnya, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, buket dari Dirga seolah menjadi pengingat tajam bahwa ia bukanlah satu-satunya pria di sekitar Nesya.
Beberapa menit berlalu dalam diam hingga suara napas Nesya yang mulai bergerak gelisah membawanya kembali ke realitas. Perlahan, kelopak mata Nesya bergerak, dan ia membuka matanya yang sayu.
"Kau sudah sadar?" suara Jae Hyun terdengar lebih dalam dari biasanya.
Nesya menoleh pelan ke arahnya, matanya masih redup karena efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. "Kau… masih di sini?" tanyanya pelan, terdengar sedikit terkejut.
Alih-alih menjawab, Jae Hyun menatapnya dalam diam, matanya sedikit menyipit. "Apa aku terlihat seperti pria yang begitu mudah pergi?" balasnya dingin, meski hatinya terasa bergejolak.
Nesya menelan ludah, merasa canggung dengan cara pria itu memandangnya. Ia mengalihkan pandangan ke meja samping dan mendapati dua buket bunga di sana.
"Kau membawakanku bunga?" tanyanya lirih, nyaris tidak percaya.
Jae Hyun mengangguk kecil, tetapi ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa bangga atau perhatian. Justru ada kilatan ketidakpuasan di matanya. "Aku hanya merasa bertanggung jawab. Tidak lebih."
Nesya tersenyum lemah. "Terima kasih…" gumamnya. Namun, senyumnya memudar begitu ia melihat buket dari Dirga. Hatinya menghangat memikirkan bagaimana sahabat lamanya masih memedulikannya di saat seperti ini.
Jae Hyun yang menangkap ekspresi hangat itu merasa semakin jengkel. "Kau terlihat sangat senang menerima bunga darinya," sindirnya tajam.
Nesya menoleh padanya, bingung dengan nada suaranya yang dingin. "Dirga hanya teman lama. Kau tidak perlu bersikap seperti itu," balasnya dengan suara lemah namun tegas.
Alih-alih menjawab, Jae Hyun berdiri, membiarkan tatapannya mengunci mata Nesya. "Aku tidak peduli siapa dia. Tapi ingat, selama kau masih menyandang nama istriku di atas kertas, aku yang bertanggung jawab atasmu—bukan dia," ucapnya sebelum melangkah menuju pintu.
Namun, sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh lagi. "Jangan terlalu dekat dengannya," perintahnya dingin, lalu meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban.
Di balik pintu yang tertutup, Jae Hyun menghela napas panjang. "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" gumamnya frustrasi. Ia seharusnya tidak peduli, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak untuk membiarkan Nesya menjadi milik pria lain—even jika itu hanya dalam bentuk perhatian kecil.
Dan ia benci mengakui—buket mawar merah dari Dirga terasa seperti ancaman yang nyata.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak