Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Ini Istriku
Pengenalan yang cukup ekstrem, setelah usai barulah Zain berpikir jika Nadin akan semakin membencinya akibat hal itu. Tak sengaja, andai Nadin tidak mengetuk pintu dan memburunya keluar, mungkin tidak akan sampai begitu.
Nadin tidak akan sampai ganti baju, dan Zain juga tidak akan semakin serba salah lantaran pakaian yang kini jadi penggantinya justru lebih terbuka dari pakaian sebelumnya. Sepuluh menit sudah mereka berada di atas tempat tidur yang sama, sudah pasti dengan guling sebagai pembatas, dan Zain sendiri pencetus ide semacam itu.
Tidur berjauhan, dengan posisi yang saling nembelakangi. Mereka tak ubahnya bak pasangan suami istri yang baru saja ribut besar, tepatnya sangat besar. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, baik Nadin maupun Zain, sama saja.
Keduanya sama-sama bingung, Nadin menunggu, Zain juga menunggu. Mereka belum saling mengenal secara mendalam, jadi apa mau Nadin belum tau sama seperti yang Zain mau.
Cukup lama Nadin menunggu, hingga rasa penasaran itu menguar dan menarik dirinya untuk berbalik. Penasaran, pria itu sudah tidur atau bagaimana, karena sama sekali tidak ada suaranya.
Andai memang sudah tidur, Nadin berencana untuk mematikan lampu karena dia tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala begini, kecuali jika memang terlalu lelah.
Usai mengumpulkan keberanian, Nadin nekat berbalik pada akhirnya. Tanpa terduga, di saat yang sama Zain juga menghadap ke arahnya hingga pandangan mereka bertemu beberapa saat.
Salah besar dugaan Nadin, hendak kembali berbalik alangkah malunya. Nadin memerah, dia bingung mendapati tatapan Zain yang tertuju ke arahnya. Walau memang ada guling sebagai pembatas, tapi jelas tidak menghalangi pandangan mereka.
"Ehm ...."
Zain yang memulai, Nadin yang kini gugup sontak mengeratkan selimut. Pikirannya sudah macam-macam, terlebih lagi Nadin mengingat apa yang Zain lakukan di kamar mandi. Bukan tak tahu kewajibannya, tapi Nadin masih takut jika diminta malam ini, sungguh.
"Boleh aku matikan lampunya?"
Seketika itu juga, pertanyaan Zain membuat Nadin lega selega-leganya. Sesak yang tadi menguar di rongga dadanya, seketika musnah dan dia mengangguk cepat.
Memang tujuannya menghadap Zain adalah untuk meyakinkan diri lantaran ingin mematikan lampu. Beruntungnya, tanpa harus bicara Zain yang justru bertanya lebih dulu hingga Nadin tidak perlu susah payah memilih kalimat untuknya bicara.
Dalam waktu sekejab, suasana kamar berubah remang-remang, cahaya lampu luar yang menembus ventilasi jendela kamar tak membuat pandangan mereka jadi gulita, hingga keduanya masih mampu menatap satu sama lain.
Posisi Nadin masih tetap sama, sekalipun Zain kembali berbaring di sebelahnya, dia tidak terpikirkan untuk kembali membelakangi sang suami. Jika ditanya alasannya apa, Nadin tidak terbiasa tidur menghadap tembok, itu saja.
Awalnya dia pikir, dengan dimatikan lampu maka akan tertidur segera. Namun, setelah beberapa kali mencoba memejamkan mata, wanita itu kembali terjaga lantaran merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
"Mas."
Ya, akhirnya panggilan itu lolos dari bibirnya. Susah payah Nadin memulai, akhirnya berani juga. "Bicaralah, aku bisa mendengarmu," sahut Zain dengan mata yang kini terpejam. Entah tidur sungguhan atau bagaimana, Nadin tidak tahu juga.
"Maaf."
Ucapan itu seketika membuat Zain membuka matanya, dia menoleh dan di antara cahaya remang itu kecantikan Nadin tak berkurang sedikitpun. "Maaf untuk?" tanya Zain sejenak mencoba untuk fokus, permintaan maaf Nadin agaknya lebih penting.
"Belum bisa melakukan kewajibanku sebagai istri yang seharusnya."
Singkat, padat dan dapat dimengerti tanpa perlu Zain bertanya lagi apa maksudnya. Otak Zain masih cukup tajam untuk menyimpulkan apa yang terjadi, dia sadar betul kemungkinan besar penyebab Nadin sampai bicara begitu karena ulahnya beberapa saat lalu.
Dia yang tidak mampu menahan naffsu sampai akhirnya melampiaskan hassrat dengan cara tidak wajar. Walau mungkin tidak Nadin ucapkan, tapi penyesalan dan merasa tak berguna sebagai istri jelas saja ada, dan Zain bisa menerka isi hatinya.
Tidak ingin istrinya merasa bersalah, Zain berusaha menegaskan jika semua salahnya. Otaknya terlalu kotor, dia juga sampai berbohong dan mengaku jika memang terbiasa, kecanduan dan sejenisnya hingga pada akhirnya kena ceramah.
"Jangan dibiasakan, otaknya rusak nanti."
"Sudah usaha kuhentikan, tapi tidak bisa ... kecanduan."
"Dosa, Mas, Allah SWT melaknat orang yang menikahi tangannya atau singkatnya onnani. Dan sesungguhnya Allah SWT merusak umat yang bermain alat kemaaluan."
Gleg
Zain meneguk salivanya pahit, sungguh tak pernah terbayangkan olehnya jika ternyata Nadin akan bicara sedalam ini. Walau sebenarnya bukan kebiasaan, Zain tetap tertampar hingga pipinya seolah terasa kebas tanpa ada yang menyentuhnya.
"Ta-tapi gimana? Memang susah berhentinya."
"Puasa, atau kalau memang sudah merasa sangat butuh lebih baik menikah."
"Sudah kulakukan, dan ini istriku," jawabnya santai, tapi lawan bicaranya seketika terdiam.
Tidak bermaksud menggombal, tapi berhasil membuat wanita di sisinya memerah hingga berhenti bicara. Ceramahnya ditutup tanpa salam, Nadin menarik selimut hingga menutupi wajahnya dan hal itu terlalu menggemaskan di mata Zain.
Zain tertawa sumbang, dan hal itu terdengar menyebalkan bagi Nadin yang kini bersembunyi di balik selimut tebal. Dia tengah mengutuk diri sendiri, menyesal lantaran tak seharusnya membahas hal semacam itu pada Zain, lagi pula untuk apa dia menasihati Zain agar segera menikah? "Nadin bodoh!! Wajar saja dapat D."
.
.
Rasa malu Nadin awet sekali, hingga pagi menjelang dia tetap merasakan hal itu. Berbeda dengan Zain yang terlihat santai seakan tidak ada masalah, malah justru senyam-senyum tak jelas entah apa sebabnya.
Nadin mencoba untuk bersikap biasa saja, layaknya sang suami. Menikmati bubur ayam yang Zain beli tadi pagi, dan ini kali pertama karena biasanya sarapan Nadin tidak sesempurna ini.
Pagi pertama yang benar-benar menjalani kehidupan sebagaimana pasangan lain, Nadin dapat merasakan perbedaan Zain bagaimana. Pagi ini, sang suami bangun pagi-pagi sekali, dia juga melaksanakan shalat subuh berjamaah tanpa diperintah, mungkin karena tidak ingin dipaksa.
"Bubur segitu makannya setahun, lambung kamu kecil?" Pertanyaan sarkas dari Zain membuat Nadin berhenti makan.
Dia menatap sang suami sekilas beserta mangkok bubur yang telah kosong itu. Zain terlalu cepat atau dia yang terlalu lambat, Nadin tak tahu juga, yang jelas kebiasaan makan leletnya sudah mendapat protes pagi ini.
"Sabar, aku makannya begini dari dulu."
"Alasan," celetuk Zain yang membuat sang istri mendelik tak suka, jika saja tidak berdosa mungkin dia akan memasukkan melemparkan suiran ayam itu ke mata Zain.
Lirikan maut Nadin membuat pria itu mengerti jika memang ada yang tak beres dengan sang istri. "Mikirin apa? Nilai D?"
Nadin menggeleng, persetan dengan nilai D. Dia tidak peduli lagi, toh dia baru dapat informasi bahwa kakak tingkat yang pernah bertemu Zain justru langganan nilai E, jadi dia santai saja.
"Terus apa?"
Nadin menarik napas dalam-dalam, kebetulan ditanya dan dia merasa sangat perlu dibahas. "Semalam, aku mimpi."
"Hem? Mimpi apa?"
"Seseorang mencium bibirku, rasanya sih nyata cuma wujudnya tidak terlalu jelas ... jin kali ya?"
Uhuk
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"