Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Umi, apa masih lama?"
Suara panggilan Raka terdengar dari luar. Tanpa permisi Raka membuka pintu.
Beruntung Nirma segera membalikkan tubuhnya, sehingga lelaki itu tidak sempat melihat wajahnya.
Umi Mawar menoleh ke arah pintu di mana Raka terpaku menatap Nirma yang berdiri membelakangi dirinya. Ia hanya memandangi Nirma dari belakang.
"Wah, anak Umi ganteng sekali." Wanita itu terpukau pada penampilan Raka yang tampak cukup berbeda dengan jas pengantinnya.
"Jangan berlebihan memuji, Umi."
"Ini sama sekali tidak berlebihan. Kalian adalah pasangan serasi. Satu tampan dan satunya cantik. Ah, Umi jadi tidak sabar menunggu hari pernikahan kalian."
Baik Raka maupun Nirma membisu. Keduanya terlihat sangat kaku.
"Umi, apa saya sudah boleh mengganti pakaiannya?" tanya Nirma, yang masih berdiri membelakangi Umi dan Raka.
"Boleh, Nak. Semuanya sudah pas, kan?"
"Alhamdulillah, Umi."
Dengan ditemani karyawati butik, Nirma kembali ke ruang ganti. Tak ada komentar apapun dari Raka.
Ia terkesan tidak begitu peduli. Meskipun sebenarnya ia sedikit penasaran seperti apa wajah yang tersembunyi di balik cadar Nirma.
"Kalau begitu aku juga mau ganti baju, Umi. Hanya di fitting saja, kan?"
"Kamu tidak ada komplain?"
"Tidak ada. Sudah pas." ucap Raka.
Umi Mawar mengulas senyum.
"Alhamdulillah."
****
"Nirma, apa kamu mau mampir ke tempat lain dulu?"
Umi menoleh kepada Nirma yang duduk di sampingnya.
"Tidak, Umi."
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang. Keduanya diantar oleh Raka, karena sopir yang mengantarkan mereka tadi diminta Umi Mawar untuk menjemput putrinya, Zura di sekolah.
Mau tidak mau, Raka harus mengantar Nirma dulu ke pondok.
Raka yang duduk di kursi kemudi sesekali mencuri pandang ke arah belakang melalui spion.
Yang dapat terlihat olehnya hanyalah sepasang mata dari calon Istrinya itu. Tidak dapat ia pungkiri, Nirma memang memiliki mata yang indah.
Bola matanya berwarna cokelat terang dengan bulu mata lentik. Sangat indah.
Menyadari tingkah putranya, Umi Mawar hanya tersenyum. Ia yakin saat ini Raka sedang penasaran seperti apa paras Nirma.
Tak berselang lama, mereka akhirnya tiba di pondok. Nirma dan Umi turun lebih dulu, sementara Raka tetap menunggu di mobil.
Umi mengantarkan Nirma masuk dan keluar dalam hitungan menit. Ia kemudian naik ke mobil dan melanjutkan perjalanan pulang.
"Raka ... boleh Umi mengatakan sesuatu?" ucap Umi Mawar di sela-sela perjalanan pulang.
"Soal apa, Umi?" balas Raka yang sedang fokus mengemudi.
"Kamu itu sangat beruntung mendapatkan Nirma. Dia sangat cantik. Umi yakin kamu akan jatuh cinta begitu melihat wajahnya nanti."
Raka tidak begitu menanggapi ucapan Uminya.
"Umi jangan terlalu memuji secara berlebihan."
"Bukan memuji secara berlebihan. Kamu akan buktikan sendiri nanti ucapan Umi."
Raka menghembuskan napas panjang. Memang bisa secantik apa seorang gadis sederhana seperti Nirma?
Tidak mungkin lebih cantik dari Hellen, bukan? Begitu pikirnya.
"Abi mengatakan, semua perempuan itu cantik. Tergantung penilaian mata yang memandangnya."
"Ya, dan biasanya dari mata turun ke hati."
"Ah, Umi dan Abi itu sama saja."
Umi Mawar terkekeh setelahnya.
**
**
Bu Resha sedang menonton acara televisi saat ponsel miliknya berdering. Wanita itu segera menyambar ponsel miliknya.
Ada nama Mawar tertera pada layar, membuatnya segera menggeser simbol hijau pada layar ponsel.
"Assalamu alaikum, Mawar." ucapnya sesaat setelah panggilan terhubung.
"Walaikum salam, Mbak Resha. Sedang sibuk, ya?"
"Tidak, kok. Sedang menonton TV saja, lihat resep makanan. Kenapa?"
"Tidak apa-apa, Mbak. Hanya ingin mengobrol saja. Aku baru pulang menemani Nirma dan Raka fitting pakaian pengantinnya."
"Bagaimana hasilnya?"
"Alhamdulillah cocok. Kalau Mbak Resha tidak sibuk, aku ingin meminta tolong ditemani membeli seserahan untuk Nirma nanti."
"Kapan?"
"Besok, Mbak."
"Oke, aku tidak sibuk, kok."
"Alhamdulillah. Besok aku jemput ya, Mbak."
"Iya, Mawar."
"Oh ya, tadi aku sempat melihat wajah Nirma. Dia itu cantik sekali, Mbak. Aku benar-benar tidak menyangka dia secantik itu."
"Alhamdulillah kalau begitu." balas Bu Resha ikut senang.
"Tidak tahu kenapa saat melihat wajahnya Nirma pertama kali, aku jadi teringat dengan ...." Ucapan Umi Mawar mengggantung.
Menimbang dalam hati apakah ucapannya nanti akan membuat Bu Resha bersedih.
Bu Resha terdiam. Keningnya berkerut tipis.
"Teringat siapa, Mawar?"
“Mungkin aku sedikit berlebihan karena terlalu memikirkannya. Ya Allah, aku benar-benar teringat Zahra kecilku. Nirma memiliki usia yang sama dengan Zahra. Entah kenapa aku memikirkan seandainya Zahra masih ada, dia akan sebesar dan secantik Nirma.” Suara Umi Mawar terdengar lirih mengucapkan kalimat tersebut.
Tidak ada sahutan dari Bu Resha, ia pun larut dalam kesedihan.
Beberapa waktu lalu, Zahra berulang tahun dan ia kembali teringat pada putri kecilnya.
"Maafkan aku, Mbak Resha. Aku sama sekali tidak bermaksud menggali luka lama. Aku hanya teringat Zahra setelah melihat wajah Nirma."
"Tidak apa-apa, Mawar. Ya, kamu benar. Aku juga mengalami hal yang sama. Setiap kali melihat anak perempuan, aku akan langsung mengingat Zahra. Aku akan berpikir seandainya Zahra masih bersamaku, dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, dia akan membuat Papanya kewalahan dengan permintaan yang banyak. Dia akan membuat Brayn dan Zayn menjadi Kakak yang begitu posesif menjaga Adik perempuannya." Bu Resha menyeka ujung matanya.
"Dia benar-benar anak yang luar biasa. Lihatlah, sudah belasan tahun sejak kepergiannya dan kita semua masih menangisinya. Kadang aku berpikir, apa cinta kita yang berlebihan kepadanya tidak akan memberatkan kepergiannya?" Umi Mawar kembali terisak. Kenangan Zahra masih melekat kuat dalam ingatan.
"Semoga Allah mengampuni kita. Setidaknya Zahra sudah tenang dan sebagai Ibunya, aku hanya bisa mengirimkan doa."
"Iya, Mbak Resha. Aku benar-benar minta maaf sudah membuat sedih dengan mengingatkan Zahra."
"Tidak apa-apa, Mawar." ucap Bu Resha.
"Oh ya, jangan lupa besok. Katanya ingin membeli seserahan untuk Nirma."
"Aku jemput besok ya, Mbak."
Setelah membuat janji, panggilan terputus. Bu Resha meletakkan kembali ponselnya. Lalu, menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi.
"Teleponan dengan siapa sampai menangis?" Sapaan Pak Vino mengalihkan perhatian Bu Resha.
"Mas, sudah pulang?" Bu Resha langsung berdiri menyambut Suaminya.
Mencium punggung tangan dan memeluk. Namun, Pak Vino langsung mengurai pelukan mereka.
"Kalau ingin pelukan lama-lama di kamar saja sekalian, kalau di sini nanti ada yang melihat."
Bu Resha terkekeh, lalu menggandeng tangan Suaminya menuju kamar mereka.
"Itu tadi Mawar. Dia mau meminta tolong ditemani besok membeli seserahan untuk calon menantunya." Bu Resha membantu Pak Vino melepas jas dan kemeja.
"Terus, kenapa menangis?"
"Dia cerita, kalau wajah Nirma mengingatkannya kepada Zahra. Entahlah, mungkin karena usia Zahra dan Nirma sama, jadi dia tiba-tiba teringat."
Pak Vino mengulas senyum.
Kecupan sayang ia benamkan di kening Istrinya.
"Kadang aku juga memikirkan Zahra. Membayangkan akan seperti apa dia andai masih bersama kita. Apa dia akan semanja dan seglamor seperti di masa kecilnya, apa dia akan selalu mendatangi kantorku secara tiba-tiba untuk meminta membeli tas koleksi terbaru? Kadang aku merasa mungkin Allah mengambilnya dariku karena aku tidak akan mampu membimbingnya menjadi pribadi yang lebih baik. Kamu tahu, kadang orang tua terlalu berlebihan menunjukkan cinta, sampai melakukan apapun untuk mewujudkan keinginan anaknya."
"Allah tahu apa yang terbaik untuk kita." ucap Bu Resha.
"Insyaallah, ini jalan terbaik yang memang sudah dipilih untuk kita." Pak Vino meraih handuk dan melilit pinggangnya.
Bu Resha terpakku memandangnya. Meskipun tidak muda lagi, namun Pak Vino selalu mampu membuatnya terpesona. Jatuh cinta setiap harinya.
"Apa lihat-lihat? Mau menemani mandi?"
Bu Resha terkekeh.
"By the way ... bagusnya kita memberi apa untuk pernikahan Raka dan Nirma ya, Mas? Pernikahan mereka minggu depan loh."
"Berikan saja paket bulan madu, umroh misalnya."
"Baiklah, nanti aku pikirkan."
*************
*************
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....