Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Usaha dan Harapan
Bulan dan tahun telah berganti membawa perubahan yang tak terelakkan. Kini Kirana sudah duduk di kelas 3 SMA. Waktu terasa begitu cepat seolah baru kemarin dia masih menjadi murid baru yang penuh semangat dengan seragam putih abu-abu yang masih terasa asing di tubuhnya. Namun sekarang dia dihadapkan pada kenyataan yang lebih berat yaitu ujian kelulusan dan seleksi masuk perguruan tinggi semakin dekat. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk belajar, mengerjakan tugas dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang dia impikan. Impian yang kadang terasa begitu dekat tapi juga bisa tiba-tiba terasa jauh seperti bayangan yang sulit dipegang.
Di kamarnya yang sederhana… Kirana duduk di meja belajar dengan dikelilingi oleh tumpukan buku dan catatan. Matanya lelah tapi tekadnya tidak pernah pudar. Dia menatap kalender di dinding yang sudah penuh dengan coretan tanggal-tanggal penting seperti ujian nasional, try out dan pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi. Setiap coretan itu seperti mengingatkannya pada waktu yang terus bergerak dan tidak peduli seberapa keras dia berusaha menahannya.
“Aku harus bisa,” bisiknya pada diri sendiri sambil mengepalkan tangan kecilnya. Suaranya hampir tak terdengar tapi penuh dengan tekad yang membara. Dia tahu ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang impian yang sudah dia rajut selama ini.
Di luar rumah hujan turun perlahan dan menciptakan suasana yang tenang namun juga menegangkan. Tetesan air yang jatuh dari langit seolah mengiringi detak jantungnya yang kadang berdegup kencang saat keraguan menyelinap. Kirana menghela napas panjang dan mencoba menenangkan pikiran yang kadang dipenuhi oleh bayangan kegagalan. Dia menutup buku di depannya lalu memandang ke jendela. Air hujan yang mengalir di kaca seolah membawa serta segala kecemasannya tapi hanya untuk sementara.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan pelan. Kirana melangkah mendekati pintu dengan membukanya dengan pelan. Pamannya datang sambil tersenyum. Pamannya membawa segelas teh hangat. “Kirana… ini paman buatkan teh hangat… boleh paman masuk…?” tanya pamannya dengan suara lembut.
Pamannya tersenyum lembut tapi Kirana bisa melihat kelelahan di balik mata pamannya. Pamannya telah bekerja keras dan Kirana tahu setiap tetes keringat yang pamannya keluarkan adalah juga untuk dirinya.
Kirana tersenyum haru dengan perhatian pamannya. “Iya paman… silahkan masuk paman…,” ucap Kirana dengan suara lembut sambil membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan pamannya masuk ke dalam kamarnya.
“Masih belajar Nak?” tanya pamannya sambil meletakkan gelas teh di atas meja.
Kirana mengangguk dan mencoba tersenyum. “Iya paman.... Masih ada beberapa materi yang harus Kirana pelajari lagi.”
Pamannya duduk di tepi tempat tidur dan memandang Kirana dengan tatapan penuh kasih. “Jangan terlalu memaksakan diri ya.... Kamu juga butuh istirahat.”
Kirana menunduk dengan tangannya memegang erat gelas teh hangat. “Kirana cuma takut paman. Takut kalau Kirana nggak bisa memenuhi harapan. Takut kalau semua usaha ini nggak cukup.”
Pamannya diam sejenak lalu menarik napas dalam. “Kirana… kamu sudah melakukan yang terbaik. Itu yang penting. Hasilnya kita serahkan pada Yang Di Atas. Yang penting kamu nggak menyerah.”
Mendengar kata-kata itu Kirana merasa dadanya sedikit lebih ringan. Tapi tetap saja beban itu masih ada. “Tapi paman… Kirana nggak mau mengecewakan paman. Kalau Kirana nggak bisa masuk perguruan tinggi yang bagus, Kirana…”
“Kamu nggak akan pernah mengecewakan paman,” potong pamannya tegas. Suaranya lembut tapi penuh keyakinan. “Paman bangga padamu Nak. Bukan karena nilai-nilaimu tapi karena usahamu. Karena kamu nggak pernah menyerah.”
Kirana menatap pamannya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih paman….”
Pamannya tersenyum lalu berdiri dan merangkul Kirana. Pelukan itu hangat seolah bisa menghanguskan semua keraguan yang ada di benak Kirana. “Kamu kuat Nak. Kami percaya padamu….”
Setelah pamannya pergi… Kirana kembali menatap buku-bukunya. Tapi kali ini ada sedikit kelegaan di hatinya. Dia tahu dia tidak sendirian. Ada orang-orang yang mencintainya yang selalu ada di belakangnya dan siap menopangnya saat dia terjatuh.
Dia menarik napas dalam lalu membuka buku itu lagi. “Aku harus bisa,” bisiknya sekali lagi dan kali ini dengan keyakinan yang lebih kuat. Hujan di luar masih turun tapi Kirana merasa langit sedikit lebih cerah.
-----
“Kirana… kamu yakin nggak mau istirahat sebentar? Kamu sudah belajar sejak pagi,” suara Ririn memecah keheningan suasana pondok Kakek Sapto. Hari ini hari Minggu… mereka belajar di pondok Kakek Sapto karena suasana yang tenang sangat mendukung untuk belajar. Setelah belajar baru akan melanjutkan latihan mereka.
Kirana mengangkat kepala dari bukunya dan tersenyum lemah pada sahabatnya. “Aku nggak bisa Rin…. Ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi. Aku harus memastikan semuanya sudah kuasai.”
Dina yang sedang duduk bersila di lantai sambil memegang buku matematika mengangguk setuju. “Tapi… kamu juga perlu istirahat Kir…. Kalau kamu sakit… siapa yang akan jadi juara umum lagi?” ujarnya sambil tersenyum dan kembali mencomot singkong rebus yang masih panas.
Kirana tertawa kecil. “Juara umum nggak akan berguna kalau aku nggak bisa masuk kampus impianku.”
Ririn menghela napas lalu duduk di sebelah Kirana. “Kamu tahu… nggak ada salahnya kalau sesekali kamu meluangkan waktu untuk bersantai. Kita juga butuh refreshing Kir. Kamu nggak bisa terus-terusan menekan diri sendiri.”
Kirana menatap Ririn dengan mata berkaca-kaca. “Aku cuma takut Rin…. Takut semua usahaku selama ini nggak cukup. Takut aku mengecewakan paman, Arif dan Kakek Sapto.”
Dina dan Ririn saling pandang memahami betapa berat beban yang dipikul sahabat mereka. Mereka tahu bagaimana Kirana selama ini telah berjuang sendirian dengan banyak beban yang dipikulnya. Tekanan dari Bibi Tari dan Rara sangat melelahkan walaupun ada sedikit dukungan dari Paman Budi dan Arif. Namun tetap saja kehidupan ke depannya akan semakin berat dan itu memerlukan perjuangan dari sekarang.
“Kamu nggak sendirian Kir…,” kata Dina dengan lembut. “Kami di sini bersamamu. Apa pun yang terjadi… kita akan menghadapinya bersama… kita tetap sahabat bagaimanapun kehidupan yang akan datang.”
Kirana tersenyum dengan rasa haru menyelimuti hatinya. “Terima kasih… kalian berdua. Aku nggak tahu harus bagaimana tanpa kalian.”
-----
Suatu sore sepulang sekolah... Kirana dan Arif mengendari motor bersama dengan Kirana sekarang dibonceng Arif. Arif sekarang kelas 2 SMA dan bersekolah di tempat yang sama dengan Kirana. Udara sore yang sejuk membuat perjalanan terasa lebih menyenangkan.
“Kak… kakak nggak takut nggak bisa masuk kampus impian kakak?” tanya Arif tiba-tiba memecah keheningan.
Kirana berusaha melihat wajah adik sepupunya dari kaca spion dan sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Kenapa tanya begitu Dik?”
Arif mengangkat bahu. “Arif cuma penasaran. Kakak selalu terlihat begitu yakin tapi Arif tahu pasti ada saat-saat kakak merasa ragu.”
Kirana terdiam sejenak lalu menghela napas. “Jujur… kakak sering takut Dik. Tapi kakak mencoba untuk tidak membiarkan ketakutan itu menguasai diri kakak. Kakak percaya selama kakak berusaha sebaik mungkin… hasilnya akan baik juga.”
Arif mengangguk dengan mata penuh kekaguman. “Arif salut sama kakak. Kakak selalu bisa menemukan cara untuk tetap kuat.”
Kirana tersenyum dan menepuk punggung Arif pelan. “Kamu juga nggak kalah hebat Dik Prestasimu di sekolah juga luar biasa. Kakak yakin kamu akan sukses seperti yang kamu inginkan.”
Arif tersenyum lebar. “Makasih Kak… Arif akan berusaha sebaik mungkin seperti kakak.”
-----
Sedangkan Rara akhirnya melanjutkan kuliah di Jakarta, mengambil Jurusan Administrasi Perkantoran di sebuah universitas swasta. Sebenarnya itu bukan pilihannya. Dia menginginkan masuk universitas negeri impiannya. Namun nilai akademisnya tidak cukup baik untuk menembus persaingan yang ketat. Kegagalan itu terasa seperti pukulan telak bagi harga dirinya.
Hubungan Rara dan Kirana pun semakin merenggang. Rara semakin menutup diri dan menghindari interaksi yang tidak perlu dengan Kirana. Ia hanya menghubungi ibunya yang merupakan satu-satunya tempat di mana dia merasa masih dimanjakan.
-----
Pada suatu hari… Kirana duduk di teras pondok Kakek Sapto sambil menatap langit sore yang dipenuhi cahaya keemasan. Dia merenungkan semua yang telah terjadi selama ini. Ririn, Dina, Paman Budi, Arif, dan Kakek Sapto... semuanya telah memberinya kekuatan dan pengingat bahwa dia tidak sendirian.
“Aku bersyukur punya mereka,” bisiknya pada diri sendiri.
Kakek Sapto yang sedang duduk di sampingnya menatap Kirana dengan penuh kasih sayang. “Kamu anak yang kuat Nak. Tapi ingat… kekuatan sejati bukan hanya tentang berjuang sendiri tapi juga tentang belajar menerima dukungan dari orang-orang yang mencintaimu.”
Kirana tersenyum dan perasaan hangat menyelimuti hatinya. “Terima kasih Kek… Kirana akan berusaha untuk selalu ingat itu.”
-----
Bagaimana kisah selanjutnya? Apakah ada kejadian menarik nantinya? Nantikan kisah selanjutnya…