Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: Pulang Kerja
Tepat saat adzan subuh berkumandang, gue baru aja memegang gagang pintu untuk segera masuk ke dalam rumah. Keadaan sepi, lampu-lampu belum dinyalakan ketika gue pergi tadi sore. Satu-satunya ruangan yang menyala adalah kamar mandi. Bukan hanya lampunya yang menyala, tapi juga keran airnya.
Gue tinggal sendirian, dan cuma gue yang punya kunci rumah. Waktu gue masuk tadi juga gak ada tanda-tanda pintu habis dibuka paksa. Gue khawatir rumah gue kemasukan maling gayung yang menerobos masuk lewat saluran toilet. Gue mengambil gunting kuku, sekadar berjaga-jaga lalu berjalan pelan ke kamar mandi.
Keran airnya mengalir sangat deras. Gue panik, karena itu bisa menyebabkan tagihan air bulan depan meningkat. Gue berdiri di depan pintunya, bersiap mendobrak masuk. Begitu tangan gue memegang gagang pintu, keran air beserta lampunya mendadak mati. Jadilah sekarang terasa gelap dan sepi.
Gue menghela napas panjang, bersyukur karena malingnya sudah pergi. Setelah menyalakan ulang semua lampu, gue langsung masuk kamar dan ketiduran. Gue bermimpi, seorang cewek berbaju merah keluar dari kamar mandi gue, masuk ke kamar dan duduk menghadap gue.
Dia belum ngomong apa-apa, tapi senyum-senyum dari tadi. Sampai ketika gue mendengar lagu Indonesia Raya dari HP gue, yang artinya ada telepon masuk, barulah cewek itu pergi dan gue langsung terbangun.
"Gimana, Do? Gak ada yang aneh, kan di rumah lo tadi malam?" tanya Sulay dari telepon genggam.
"Aman, sih, Pak ... tapi kamar mandi gue sempat kemasukan maling gayung. Untung aja dia langsung pergi."
"Hah!? Rumah lo hampir kemalingan!?"
"Bisa jadi, Pak. Untung gak ada yang dicuri."
"Nanti sore ketemu gue di kantin kantor, ya."
Telepon berakhir. Gue melihat jam, sudah jam 3 sore. Belum juga gue berdiri dari tempat tidur, gue sudah dikagetin sama kelopak bunga mawar merah yang bertaburan di kasur gue. Persis yang gue lihat waktu di pendopo tadi malam. Karena gak mengganggu, justru bikin kamar gue bagus, jadinya gue cuekin aja.
Di kamar mandi yang sekarang pintunya terbuka, padahal gue yakin gue belum masuk ke sana sejak tadi malam, gue juga menemukan hal yang sama di lantainya. Menurut gue agak aneh kalau ada maling yang suka dekor kamar orang pakai bungan mawar cincang. Sekali lagi, karena bikin wangi kamar mandi gue, jadinya gue cuekin aja. Saat gue melepas celana, sebuah foto terjatuh dari sakunya. Iya juga, gue hampir lupa soal foto itu.
Tergeletaklah foto itu di antara kelopak bunga mawar di lantai. Ketika gue menatap sosok cewek di foto itu, gue langsung teringat sama cewek yang tadi ada di mimpi gue! Itu orang yang sama! Gue ingat persis, terutama senyum dan kelopak matanya. Gue segera mengambil foto itu dan memasukkannya kembali ke saku celana.
Di kantor yang gue ketahui hanyalah sebuah ruko dua lantai, berhasil membuat gue terkagum-kagum ketika berada di kantinnya. Bukan hanya makanannya yang banyak serta ada kedai kopi juga, melainkan karena tempatnya yang luas dan sangat ramai. Kok bisa bangunan yang kelihatannya kecil dari luar, tapi menampung orang sebanyak ini di kantinnya?
"Keren, kan?" kata Sulay melihat gue yang terkagum-kagum.
"Keren banget, Pak!"
"Keren dan semuanya gratis."
"Gratis!? Serius, Pak!?"
"Air putih di sini semuanya gratis. Selain itu bayar."
Gue jadi pengin nebas Sulay. Gue mengantre cukup lama di depan kedai kopi. Selain karena banyak orang yang mau beli, gue juga bingung memutuskan mau beli kopi apa. Sebenarnya bukan bingung mau minum apa, lebih tepatnya adalah uang gue cukup buat beli yang mana. Gue baru sehari masuk kerja, gak berobat ke rumah sakit aja sudah syukur.
Setelah orang di depan gue pergi sambil membawa kopi pesanannya, saat gue dan penjaga kedai tatap-tatapan, saat itulah gue sadar kalau uang gue gak cukup.
"Mau kopi apa, Mas?" tanya mbak-mbak itu.
"Hah? Enggak ... cuma iseng ikut antre aja tadi."
Orang-orang langsung menatap gue, termasuk Sulay.
"Cuma ikut antre? Kenapa?"
Gue menoleh ke arah Sulay, berharap dia segera ke sini dan meninju mesin kopi agar ramai.
"Itu ... soalnya mbaknya manis dilihat."
Gue langsung buru-buru pergi ke tempat Sulay duduk. Gue pikir Sulay akan marah-marah, ternyata dia malah ketawa ngakak sambil mukul-mukul meja. Melihat tawanya yang belum juga reda, gue berjalan mau mengambil air putih. Karena dengan keadaan gak punya uang begini, cuma itu yang bisa gue minum. Gue mengambil gelas, dan tiba-tiba banyak orang mendahului gue mengambil air. Ketika mereka selesai, airnya sudah habis.
Gue mencari lagi, dan hal yang sama juga terjadi. Gelas gue cuma kebagian setetes doang. Dan tempat air putih terakhir, ada di kedai kopi yang tadi. Daripada gue gak minum sama sekali, gue beranikan diri untuk melangkah ke sana. Walau dengan rasa malu yang gak tahu harus dibawa ke mana.
Gue melangkah dengan gaya kepiting. Memperhatikan sekeliling, dan akan dengan cepat berguling seperti bowling ketika gue melihat air putih di depan. Gue keren banget. Gue menyodorkan gelas, lalu air putih yang sangat menggoda memenuhi gelas gue. Gue senang banget.
"Mau kopi apa?"
Mbak-mbak tadi memergoki gue yang lagi minum.
"K-kopi ... rasa air putih."
Dia tersenyum dan menuju mesin kopi. Gue kembali minum.
"Americano. Gak pake gula," katanya sambil menyerahkan secangkir kopi.
Gue melirik ke daftar menu dulu, mencari tahu berapa harga kopi ini.
"Gue traktir," katanya.
Gue tersenyum dan menerimanya.
"Duduk, yuk."
Gue mengikutinya berjalan ke tempat duduk yang gak begitu jauh dari tempat duduk Sulay. Mbak-mbak barista yang duduk di depan gue sekarang, memakai baju hitam dengan celemek cokelat, ternyata adalah orang yang baik. Dia memandangi gue yang cuma berani memandangi kopi di meja. Gak berani minum karena gak punya uangnya.
"Kenapa gak diminum?"
"I-iya ... udah gak haus lagi soalnya."
"Minum, dong ... udah gue bikinin juga."
Gue mendekatkan cangkir ke mulut. Aromanya aja sudah seenak ini, apalagi rasanya.
"Gimana? Enak gak?"
"Enak! Enak banget."
"Mery."
"Hah?"
Dia menjulurkan tangan.
"Oh! I-iya ... Mardo."
Dia yang sekarang gue ketahui bernama Mery ini adalah seorang cewek berkacamata bulat dengan rambut panjang berkepang dua. Ada tahi lalat di dagu kirinya, membuat wajahnya terlihat semakin putih. Salah satu tangannya yang ada di atas meja memakai gelang benang berwarna ungu dan merah muda.
"Gelangnya ... bagus," kata gue.
"Gelang lo juga."
Gue bingung, dong. Gue, kan gak pakai gelang.
"Hah? Gelang ... a-apa?"
Dia mengeluarkan gelang benang berwarna hitam dari saku bajunya.
"Coba lo pake, deh."
Gue memakainya di tangan kanan gue. Bagus juga.
"Jadi ... sekarang hutang gue nambah satu lagi, ya?"
Dia cuma tersenyum.
"Buat lo. Jaga baik-baik, ya. Bikinnya gak gampang soalnya."
Dia kemudian pergi sambil membawa cangkir kopi yang sudah habis. Gue memandangi gelang baru itu. Pasti keren banget kalau misalnya gue pakai waktu megang pedang. Nanti gue coba, deh waktu di rumah.
"Senyum-senyum aja lo. Mentang-mentang dapat kopi gratis," kata Sulay.
"Dapat gelang juga, Pak."
Gak kerasa hari sudah malam, dan kami gak ngapa-ngapain sejak tadi. Gak ada kerjaan, gak ada apa pun yang penting. Bahkan Sulay kelihatannya sibuk sendiri dengan HP-nya. Akhirnya, gue disuruh pulang aja. Seperti malam sebelumnya, lagi-lagi lampu kamar mandi dan keran air menyala. Gue curiga ini adalah maling yang sama. Gue pun masuk ke kamar perlahan, mengambil pedang yang sejak tadi malam terbungkus daun pisang. Benar aja, dipadukan sama gelang baru gue, gue kelihatan keren banget!
Gue berdiri di depan kamar mandi. Keran air masih menyala, lalu dengan berani gue mendobrak masuk! Kosong. Gak ada siapa-siapa, gak ada lantai basah, yang ada cuma kelopak bunga mawar yang sudah gue lihat sebelumnya. Gue keluar kamar mandi, dan semua lampu tiba-tiba mati. Gue mencoba berjalan walau nabrak sana-sini. Di kegelapan itu, pintu diketuk. Terdengar suara cewek memanggil nama gue.
"Siapa?" tanya gue sedikit teriak.
"Mery."