NovelToon NovelToon
The CEO’S Saturday Obsession

The CEO’S Saturday Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Kekasih misterius
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: El Nurcahyani

Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mirip Leri Tapi Arogan

Bab 5

Diaz terbangun dari tidur sore yang tidak nyenyak. Matanya memerah, napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Sama seperti sebelumnya, mimpi itu terus menghantui. Wajah Leri kecil dengan darah mengalir di lehernya muncul begitu nyata.

Di depannya, Joan, pemilik toko bunga yang selalu menjadi tempat pelarian Diaz, duduk santai sambil menyeruput kopi. Ia menatap Diaz dengan dahi berkerut.

“Mimpi dia lagi, ya?” tanyanya, suaranya tenang, namun penuh keprihatinan.

Diaz hanya mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengusir sisa mimpi buruk itu. Ia tidak menjawab pertanyaan Joan, malah langsung meraih botol air mineral di atas meja dan meminumnya dalam sekali tegukan. Setelah meletakkan botol kosong itu, ia berdiri.

“Aku pulang,” ucapnya singkat sambil berjalan menuju pintu.

Namun langkahnya terhenti sejenak. Ia memutar tubuh, menatap Joan yang masih menunggu jawaban darinya.

“Bunga lili itu, aku bawa satu,” katanya, menunjuk vas berisi bunga lili putih yang segar dan indah.

Johan mengangguk. “Ambil saja. Jangan lupa bayar, ya,” ujarnya sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana.

Diaz mencabut satu tangkai bunga lili putih dari vas tersebut. Namun, perhatiannya tertuju pada sebuah buket besar di sudut meja, berisi bunga mawar merah, anggrek ungu, dan bunga peony merah muda yang memukau. Buket itu terlihat megah dan sangat cocok untuk seseorang yang dihormati. Diaz mengambilnya tanpa ragu.

“Bawa ini juga. Tambahkan ke tagihan,” katanya datar sebelum keluar dari toko.

Joan hanya menggeleng, menatap punggung Diaz yang berlalu dengan ekspresi penuh misteri.

###

Di dalam mobil, Diaz duduk diam di kursi belakang. Tangannya sibuk membuka ponsel, mencari notifikasi yang masuk selama ia tertidur. Pesan-pesan dari orang-orang kantor, Papanya, dan asisten pribadinya, Samir, terus berdatangan. Salah satu notifikasi menarik perhatiannya. Sebuah pesan video dari Samir yang dikirim sebelum Diaz tertidur.

Dia membuka video itu. Pandangannya langsung terpaku pada sosok seorang wanita dalam rekaman. Wanita itu sedang duduk di gedung pertemuan Akbar pebisnis tadi siang, menikmati sebatang cokelat dengan cara yang anggun.

Cara wanita itu membuka kemasan cokelat hanya secukupnya, dan menggigit dengan hati-hati, lalu disisakan sampai batas kemasan yang ia buka, mungkin disimpan untuk nanti. Bahkan mengelap bibir dengan tisu terlihat begitu familiar.

Diaz tertegun. Jantungnya berdegup lebih kencang.

“Leri?” gumamnya nyaris tak terdengar.

Dalam video itu, Samir tidak menyebut siapa wanita itu, hanya menambahkan keterangan "Lihat ini. Kau pasti tertarik."

Tanpa pikir panjang, Diaz langsung memberi perintah kepada sopirnya.

“Ke rumah Samir sekarang,” katanya tegas.

Namun belum lima menit berlalu, ia membuka pesan dari ayahnya. Pesan itu membuatnya ragu. Setelah membaca isinya dengan saksama, ia mengubah arah perintah.

“Lupakan. Bawa aku pulang. Papa sedang menunggu,” ujarnya, menatap kosong ke luar jendela.

###

Mobil memasuki pelataran rumah keluarga Mahendra yang megah. Bangunan besar dengan arsitektur modern berpadu klasik berdiri megah di tengah-tengah taman yang luas. Lampu-lampu kristal menghiasi setiap sudut, memancarkan kemewahan yang tidak terbantahkan.

Di ruang tamu, beberapa tamu penting tengah berbincang santai. Tidak semua kolega bisnis Gunawan Mahendra hadir, hanya yang benar-benar memiliki hubungan baik dengan keluarga itu. Di antara mereka, keluarga Herman Lewis terlihat menonjol. Anak perempuan mereka, Monica, yang mengenakan gaun merah menawan, tampak sibuk melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan Diaz.

Ketika Diaz akhirnya sampai, Samir segera menghampirinya dengan wajah penuh keluh kesah.

“Diaz, kenapa baru datang? Lihat ini, banyak tamu penting, termasuk Guru Besar, Kakek Surya dan putrinya. Bersihkan diri dulu, jangan memalukan,” katanya dengan nada tegas.

Diaz hanya mengangkat bahu. “Aku datang, itu sudah cukup.”

Samir memutar matanya. “Astaga, kau ini keras kepala sekali. Setidaknya tunjukkan sikap sopan di depan Guru Besar!”

“Aku tidak peduli,” balas Diaz dingin sambil melangkah ke dalam ruangan tanpa memperhatikan Samir yang terus mengomel di belakangnya.

Tamu-tamu mulai menoleh ke arah Diaz, saat dirinya memasuki ruangan. Termasuk Monica yang segera berdiri dan menyapa dengan senyum manis.

"Mau ke mana kamu?" Tuan Herman menahan tangan putrinya.

"Aku mau menemuinya, Pih," jawab Monica manja.

"Jaga harga dirimu. Tunggu saja. Nanti dia menghampiri."

Monica sedikit mengentakkan kakinya. Kesal.

Sementara itu, Diaz melangkah semakin dekat pada perkumpulan. Setelan jasnya yang rapi memancarkan aura seorang pewaris bisnis besar. Sebagian memuji penampilannya, sebagian lagi hanya mengangguk hormat. Diaz membalas dengan senyuman ramah.

Namun, langkahnya tiba-tiba melambat ketika matanya menangkap sosok wanita anggun yang duduk di samping seorang pria tua berwibawa. Wanita itu menatapnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan, lalu dengan gerakan halus menarik sapu tangan kecil dari dalam tas mungilnya untuk menutupi hidung mancungnya.

Diaz merasa ada sesuatu yang aneh. Seolah-olah ada magnet tak kasat mata yang membuatnya tak mampu mengalihkan perhatian dari wanita itu. Tatapannya terpaku, mengabaikan suasana di sekeliling.

Wanita itu… Diaz bisa menebak, pasti dia yang ada pada video yang Samir kirim.

Tuan Gunawan, ayah Diaz, segera menghampiri putranya dengan senyuman penuh arti.

“Diaz?" ucap Tuan Gunawan dengan sedikit tekanan. "Maafkan saya, rekan semua. Anak saya sedikit terlambat. Tapi setidaknya dia hadir, kan?” Gunawan bercanda, membuat beberapa tamu tertawa kecil.

"Tidak apa-apa Gunawan. Anak muda pekerja keras seperti Diaz, pasti selalu sibuk."

"Heheh, begitulah." Tuan Gunawan menutupi rasa malunya dengan terasa kecil.

“Ayo, ikut Pap. Ada yang harus kau temui,” lanjut Gunawan sambil merangkul pundak Diaz, membimbingnya menuju meja tempat tamu kehormatan duduk.

Diaz mengatur napasnya, mencoba mengendalikan diri. Setibanya di meja itu, pandangan pertamanya jatuh pada pria tua dengan rambut putih yang tampak bersinar di bawah cahaya lampu gantung. Itu adalah Kakek Surya, Guru Besar dari Perguruan Jagat Pradhana.

“Diaz, ini Kakek Surya,” kata Gunawan memperkenalkan dengan nada penuh hormat.

Diaz tersenyum dan mengulurkan tangan, memberikan buket bunga megah yang tadi dibawanya. “Kakek Surya, suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan Anda. Ini sedikit tanda penghormatan dari saya.”

Kakek Surya menerima buket itu dengan senyum lebar. “Ah, bunga yang indah. Terima kasih, anak muda. Kau benar-benar mencerminkan didikan Gunawan.”

Namun, mata Diaz kembali melirik ke arah wanita anggun di samping Kakek Surya. Ia tampak tegas, namun tetap terlihat anggun dan lembut. Wanita itu masih memegang sapu tangan di depan hidungnya.

“Ah, dan ini cucu saya, Eriva,” tambah Kakek Surya dengan nada penuh kebanggaan. “Eriva, kenalkan ini Diaz, putra dari Tuan Gunawan.”

Eriva membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat sebelum mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Senang bertemu dengan Anda, Tuan Diaz,” katanya dengan suara tegas.

'Apa? Aku pikir dia orangnya lembut. Tidak sesuai dengan penampilan,' batin Diaz. Heran dengan cara bicara Eriva yang penuh penekanan.

Diaz menyambut tangannya dengan penuh kehati-hatian, seolah-olah takut menyakiti jemari halus itu. “Sama-sama, Nona Eriva. Dan panggil saja Diaz,” ucapnya dengan senyuman kecil.

"Maafkan cucuku, jika terus menutup hidungnya. Dia ada sedikit gangguan pada aroma tertentu," ucap Kakek Surya.

"Tak masalah, Kakek Guru. Itu hal biasa terjadi pada setiap orang," jawab Tuan Gunawan.

Diaz masih menatap dalam ke arah Eriva, dan tanpa sadar ia merogoh bunga lili putih dari tangannya. “Ini untuk Anda, sebagai tanda perkenalan dan penghormatan.”

"Bunga hanya untuk wanita lemah," jawab Eriva dengan tatapan tajam pada bunga lili yang dipegang Diaz.

Bersambung...

1
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😘
Zainab Ddi
aduh lili kasian Diaz tuh kamu harus segera menjadi Leri sebelum Diaz menikah
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😍
Zainab Ddi
emang enak
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😘
Zainab Ddi
sabar lili
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😍
Zainab Ddi
Diaz mau pilih yg mana tuhbsepatu Uda cocok untuk lili
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya selalu 🙏🏻💪🏻😍
Zainab Ddi
wah tambah seru nih kayaky
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😘
Zainab Ddi
lili emang jodohmu Diaz
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😘
Zainab Ddi
semoga sepatu nya cocok dengan lili
LISA
Aq mampir Kak
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😍
Zainab Ddi
Monica sombong banget belum tahu aja lili anak siapa sekarangg
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😘
Zainab Ddi
Diaz mending lili dulu yg disuruh pake sepatu kaca nya
Zainab Ddi
author ditunggu updatenya selalu untuk kelanjutannya 🙏🏻💪🏻😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!