NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Rudolf menyerahkan sebuah amplop yang berisi informasi. Lucius membuka amplop itu dengan gerakan anggun, menarik foto pria yang dimaksud, dan… seketika wajah dinginnya berubah drastis. Ekspresi tegang itu perlahan bergeser menjadi kebingungan.

“Paman?” gumam Lucius, membaca keterangan di bawah foto.

Rudolf tidak tahan lagi. Ia tertawa terbahak-bahak sampai nyaris terjatuh. “Iya, Boss. Pria itu bukan siapa-siapa. Hanya pamannya Luna, Bradley. Seorang aktor terkenal. Bukan pesaing, bukan penggemar rahasia, apalagi kekasih.”

Lucius menatap Rudolf dengan pandangan mematikan, tapi rona merah samar di wajahnya tidak bisa disembunyikan. Ia cemburu… pada pamannya Luna.

“Rudolf,” ujar Lucius perlahan, mencoba mengembalikan wibawanya. “Kau tidak sedang menertawakanku, kan?”

“Tentu tidak, Boss,” jawab Rudolf dengan senyum melebar, meski tawa kecil masih terdengar di ujung suaranya. “Tapi… kau memang kelihatan sangat cemburu tadi. Aku hampir merasa kasihan pada Bradley.”

“Diam kau, Rudolf,” potong Lucius dengan suara tajam, tapi kali ini nadanya lebih terdengar seperti pria yang malu daripada bos besar yang marah.

Rudolf hanya mengangkat bahu sambil mengulum senyum. Dalam hati, ia tahu ini akan menjadi bahan cerita yang tak akan pernah ia lewatkan untuk dibahas di kemudian hari. Lucius yang selalu tenang dan dingin… ternyata bisa cemburu buta pada seorang paman.

...****************...

Rudolf, yang tampaknya sedang menikmati momen ini lebih dari seharusnya, melanjutkan ceritanya dengan senyum licik yang hampir membuat Lucius mengernyitkan dahi. "Tapi kurasa Bradley sekarang sedang mengalami kesulitan karena film yang dia perankan terakhir kali tidak berjalan dengan baik akibat disabotase," kata Rudolf dengan nada yang begitu santai, seperti dia baru saja berbicara tentang cuaca.

Lucius yang sedang menikmati secangkir kopi, mendadak berhenti. Cangkir itu hampir terlepas dari tangannya saking terkejutnya. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya lebih penuh rasa penasaran dari yang biasa dia tunjukkan. Rudolf bisa melihat Lucius mulai menatapnya dengan intensitas yang—jika bisa dibilang—agak sedikit… terancam.

Rudolf, yang sudah terlatih dalam seni berbicara penuh teka-teki, mengangguk seolah sedang mengungkapkan rahasia besar dunia. “Mungkin kau tidak tahu, tapi Bradley itu aktor di bawah naungan perusahaan entertainment milik keluarga kita. Dan film terakhirnya—nah, sayangnya—disabotase. Pelakunya? Henry, dari Golden Eagle.”

Lucius menatap Rudolf sejenak, mata penuh kebingungan sebelum akhirnya ekspresinya berubah menjadi marah, seolah baru saja menemukan bukti bahwa selama ini ada seseorang yang mencuri pensil kesayangannya. Dengan kesal, ia memukul pinggiran sofa. "Lagi-lagi mereka," gerutunya. “Sepertinya aku terlalu lama berdiam diri.”

Rudolf yang menyaksikan perubahan suasana dengan senyum yang semakin lebar, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Apa kau akan membantu Bradley?” tanyanya dengan tatapan yang lebih seperti seorang reporter yang baru menemukan cerita besar daripada seorang asisten yang ingin mencari solusi.

Lucius menatapnya dengan tatapan yang bisa membuat siapa pun merasa seperti sudah melakukan kesalahan besar. "Kau tahu kan," kata Lucius pelan, mengontrol emosinya dengan susah payah, "akibat film itu disabotase, dia belum menerima penghasilan sama sekali. Sementara dia harus menghidupi Luna—oh kasihan sekali Luna jika dia kekurangan uang untuk membayar uang kuliahnya." Lucius mendesis, membayangkan semua kekacauan itu.

Rudolf, yang sudah lebih dari siap untuk menggali lebih dalam ke dalam drama ini, langsung melirik ke arah Lucius dengan tatapan penuh godaan. "Apalagi Luna ingin masuk ke Imperial University, Bayangkan jika dia tidak punya cukup uang untuk kuliah. Itu bisa jadi masalah besar, kan? Kalau saja—"

Namun, sebelum Rudolf bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah bantal sofa melayang dengan kecepatan yang cukup mengesankan, tepat menghantam wajahnya. “Diam, Rudolf!” seru Lucius, dengan wajah yang tampak memerah, entah karena malu atau marah.

Rudolf memegang bantal itu sambil tertawa kecil. “Kenapa kau marah? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”

Lucius hanya mendengus, menyilangkan tangannya di dada dengan ekspresi yang benar-benar sulit untuk dipahami—apakah dia cemburu, marah, atau hanya sekadar bingung karena dia tidak pernah mengalami hal seperti ini sepanjang hidupnya.

Rudolf menepuk bahu Lucius dengan senyuman nakal. "Jangan khawatir, Boss. Luna pasti sangat berterima kasih jika kau membantu pamannya. Mungkin itu akan membuka kesempatan yang bagus di masa depan"

Lucius hanya bisa menatap ke depan, menyendiri dalam pikirannya yang mulai berputar-putar. "Diam, Rudolf. Aku tidak butuh nasehatmu." Namun ada sedikit senyum yang tampak di bibirnya, tanda bahwa Rudolf memang sudah berhasil mengguncang ketenangannya yang selama ini terjaga.

...****************...

Lucius duduk di kursi kantor dengan ekspresi yang benar-benar tidak bisa dipahami, seolah-olah dia baru saja memutuskan untuk memainkan permainan yang sangat besar, tapi tetap ingin terlihat tenang dan misterius—seperti karakter utama dalam film laga. Sementara itu, Rudolf berdiri di depan meja, hampir ingin tertawa melihat perubahan suasana hati bos-nya yang luar biasa cepat itu.

"Baiklah, katakan pada direktur perusahaan entertainment untuk membayar penghasilan Bradley, dan jangan lupa tambahkan bonus," kata Lucius, suaranya terdengar lebih dingin dari gunung es di Antartika. "Untuk masalah sabotase, kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?"

Rudolf mengangguk dengan sangat serius, meskipun dalam hatinya dia sudah tertawa terbahak-bahak. "Siap, laksanakan, Boss," jawabnya, mengucapkan kata-kata itu dengan suara yang penuh hormat, meskipun nada di dalam dirinya mengandung sedikit keinginan untuk tertawa.

Lucius berjalan mondar-mandir di ruang kantornya, tampak seperti orang yang sedang memikirkan masalah besar—padahal hanya berurusan dengan hal yang cukup sederhana: bagaimana caranya mendekati Luna. Namun, pikirannya yang penuh teka-teki malah membuat situasi semakin membingungkan.

"Dia masih kecil," gumamnya pelan, berusaha mencerna kenyataan itu. "Usia kami terpaut 8 tahun. Apa tidak akan jadi masalah?" Dia berhenti sejenak, menatap dirinya di cermin besar yang ada di dinding. "Tapi, aku kan tampan. Aku kaya raya. Berkharisma, juga. Kalau dibandingkan dengan bocah-bocah di luar sana... ya jelas lebih menarik, kan?" Lucius terkekeh sendiri, merasa sedikit lega dengan pemikirannya.

Namun, sekejap kemudian ekspresinya berubah serius, wajahnya seperti sedang menyelesaikan soal matematika yang rumit. "Tapi... aku nggak tahu, laki-laki seperti apa yang dia suka?" Pikirannya kembali berputar. "Dia kan punya kriteria sendiri, atau jangan-jangan dia lebih suka cowok yang... lebih muda? Atau... lebih tua? Gila! Aku jadi bingung!" Lucius mulai gelisah, tangannya meremas rambut dengan cemas, seolah-olah dia bisa mengubah takdir hanya dengan satu sentuhan.

"Ah, ini benar-benar membuatku gila!" Serunya hampir teriak, padahal di dalam kantor yang sunyi itu hanya ada dirinya sendiri yang mendengarnya.

Lucius menghela napas panjang dan meraih gelas kopi yang ada di mejanya, meneguknya dalam-dalam seperti seseorang yang sedang mencari jawaban dalam cangkir. "Mungkin... kalau aku lebih banyak bicara tentang hal-hal yang dia suka? Atau lebih sering muncul di tempat-tempat dia sering nongkrong?" Dia pun mulai berpikir dengan keras. "Tapi kan aku nggak mungkin tiba-tiba muncul dengan gaya sok muda, apalagi kayak remaja-remaja itu yang suka ngomong 'gengs' dan 'bro' setiap detik," gumamnya cemas.

Kebingungannya semakin membuncah, dan akhirnya, Lucius menepuk-nepuk pipinya dengan frustasi. "Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti mempersiapkan strategi perang hanya untuk mendekati seorang gadis?"

Lucius menatap langit-langit kantornya, seolah mencari jawaban dari sana. "Ah, kalau saja ada manual untuk ini semua..." Ia kembali tertawa sendiri, merasa seperti orang paling lucu sekaligus paling bingung di dunia.

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!