NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:17.6k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Ruangan itu dipenuhi oleh keheningan yang mencekam. Hanya suara goresan pensil di atas kertas yang sesekali terdengar, seperti bisikan samar dalam lorong gelap. Udara terasa berat, hampir seperti semua oksigen diserap oleh tekanan yang tak terlihat.

Luna duduk di barisan tengah, tubuhnya tegak dengan ekspresi santai yang kontras dengan sebagian besar siswa lainnya. Di depannya, lembar ujian terbuka seperti tantangan kecil yang dengan mudah dia taklukkan. Gerakannya cepat tapi penuh perhitungan, setiap jawaban mengalir dari pikirannya tanpa ragu.

Namun, di barisan belakang, Clara duduk dengan napas tertahan, sesekali melirik ke arah Luna. Rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram pensilnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia telah menghabiskan lebih dari satu setengah jam hanya untuk menatap soal pertama, otaknya terasa beku. Dan di saat seperti ini, melihat Luna yang tampak percaya diri dan tak terganggu membuat amarahnya membuncah. Malah, Luna justru tertidur saat ujian baru dimulai.

Bagaimana mungkin seseorang seperti Luna—yang hidupnya jauh dari kemewahan, yang tak pernah mendapatkan fasilitas terbaik seperti dirinya—tampak begitu mudah menaklukkan ujian ini? Tidak adil. Dunia ini tidak adil.

Ketika jam berdetak mendekati akhir ujian, Clara merasakan sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya: dorongan, rasa dendam yang selama ini dia tekan, kini meluap. Dia tidak akan membiarkan Luna berjalan keluar dari ruangan ini sebagai pemenang.

...****************...

“Waktunya habis!” seru suara keras dari pengeras suara di depan ruangan.

Dr. Adrian Lowell, dengan sosoknya yang menjulang, melangkah ke tengah aula, mengamati para peserta ujian dengan tatapan tajam seperti elang yang mencari mangsa. “Tinggalkan alat tulis kalian. Jangan menyentuh apa pun lagi. Silahkan kumpulan jawaban kalian ke depan.”

Para siswa mulai meletakkan pensil mereka, beberapa tampak lega, sementara yang lain terlihat seperti baru saja kehilangan setengah hidup mereka. Luna menutup lembar ujiannya dengan tenang, menghela napas pendek sebelum bersandar di kursinya. Matanya melirik ke arah Dominic di sudut lain ruangan, yang hanya mengangkat alis seolah mengatakan, Mudah sekali, bukan?

Namun, sebelum suasana bisa benar-benar beralih ke momen lega, suara Clara memecah keheningan.

“Maaf, saya ingin melaporkan sesuatu!” suaranya lantang, penuh emosi, membuat semua kepala menoleh ke arahnya.

Luna, yang tengah membereskan barang-barangnya, membeku. Dia mengangkat kepalanya perlahan, matanya bertemu dengan Clara, yang kini berdiri dengan tangan terangkat seperti seorang jaksa di ruang sidang.

Dr. Adrian menoleh ke arah Clara, ekspresinya berubah serius. “Apa yang ingin kau laporkan, Nona?”

Clara melangkah maju, memainkan peran seolah-olah dia seorang pahlawan yang baru saja menemukan kejahatan besar. “Saya melihat dia curang selama ujian.” Kata Clara seraya menunjuk ke arah Luna tanpa ragu.

Ruangan itu langsung dipenuhi dengan bisikan-bisikan kecil. Beberapa siswa saling bertukar pandang, sebagian menoleh ke arah Luna, yang kini duduk dengan wajah tak terbaca.

Dr. Adrian mengerutkan alis. “Curang? Jelaskan lebih lanjut.”

Clara melanjutkan dengan suara yang lebih tegas, memanfaatkan setiap detik perhatian yang dia dapatkan. “Dia terus-menerus menunduk ke bawah mejanya. Saya yakin dia memiliki catatan di sana. Bahkan, saya melihatnya menyembunyikan sesuatu saat ujian hampir selesai.”

Semua mata kini tertuju pada Luna. Beberapa terlihat penuh keraguan, sementara yang lain mulai memancarkan rasa penasaran yang hampir seperti harapan—harapan bahwa mereka bukan satu-satunya yang mungkin gagal hari ini.

Namun, Luna tidak bergerak. Dia tetap diam, duduk di kursinya dengan postur santai yang anehnya justru membuatnya terlihat lebih mencolok. Tatapannya perlahan beralih ke Clara, matanya setajam belati.

“Aku menunduk karena aku mengantuk,” jawabnya, suaranya tenang, hampir berbahaya. “Tapi kalau kau punya bukti, silakan tunjukkan.”

Clara tampak tersentak, tapi dengan cepat memulihkan diri. “Coba saja periksa mejanya. Aku yakin ada sesuatu di sana!”

Dr. Adrian menatap Luna dengan sorot mata yang sulit diartikan, lalu mengangguk ke arah salah satu pengawas. “Periksa mejanya.”

Seorang wanita paruh baya dengan seragam resmi melangkah maju, berjalan ke arah meja Luna. Semua siswa menahan napas, seolah-olah mereka sedang menunggu hasil keputusan sebuah pengadilan besar.

Wanita itu memeriksa meja dengan teliti, menyentuh permukaan dan bahkan meraba bagian bawahnya. Namun, beberapa saat kemudian, dia menggelengkan kepala. “Tidak ada apa-apa di sini, Dr. Adrian.”

Dr. Adrian mengalihkan pandangannya kembali ke Clara. “Apakah kau yakin dengan tuduhanmu, Nona?”

Clara tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengangkat dagunya, berusaha mempertahankan keyakinannya. “Dia pasti menyembunyikannya di tempat lain! Lagipula selama 1,5 jam dia tertidur, dan hanya mengerjakan semua soal dalam 30 menit. Itu mustahil kan?”

Luna tertawa kecil, suara tawa yang lembut namun penuh dengan ejekan. Dia bangkit dari kursinya, melangkah ke arah Clara dengan perlahan, langkahnya penuh keanggunan yang seolah-olah dirancang untuk membuat Clara semakin kecil.

“Kau benar-benar lucu, Clara,” kata Luna, suaranya rendah namun cukup keras untuk didengar semua orang di ruangan itu. “Seseorang seperti aku tidak perlu curang untuk lulus ujian ini. Tapi aku paham—aku tahu kenapa kau melakukan ini.”

Clara membuka mulutnya untuk membalas, tapi Luna mengangkat satu jari, menghentikannya. “Kau terlalu takut kalah dariku. Itu sebabnya kau membuat drama ini, berharap bisa menjatuhkanku.” Luna mendekat sedikit lagi, sehingga hanya ada beberapa inci di antara mereka. “Tapi Clara, tahu apa yang membuatku berbeda darimu?”

Clara menelan ludah, diam membeku.

“Aku tidak perlu menjatuhkan orang lain untuk menang” lanjut Luna, senyumnya kini berubah menjadi senyuman dingin yang penuh kemenangan.

Dr. Adrian, yang sejak tadi mengamati pertukaran ini dengan ekspresi tanpa emosi, akhirnya angkat bicara. “Tuduhan tanpa bukti adalah tindakan serius, Nona Clara. Seharusnya anda tahu, jika perbuatan anda ini bisa dilanjutkan ke meja hijau.”

Wajah Clara memerah, tapi dia hanya bisa menunduk, merasakan tatapan dari puluhan pasang mata yang kini memandangnya dengan rasa tidak suka. "Menuduh orang tanpa bukti, tidak tahu malu sekali" bisik salah satu peserta ujian.

Luna berjalan melewati Clara, ia berhenti sejenak. Tidak menoleh, tetapi cukup untuk mengucapkan kalimat yang hanya didengar Clara.

"Kau tidak pernah bisa menjatuhkan seseorang yang sudah terbiasa berjalan di badai."

Clara menelan ludah, merasa seperti dunia yang ia kenal mulai runtuh. Ia hanya bisa menatap punggung Luna yang menjauh, semakin tak tergapai.

Dan untuk pertama kalinya, Clara merasa bahwa tidak peduli apa yang ia lakukan, ia tidak akan pernah bisa menjadi seperti Luna—kuat, tenang, dan tak tergoyahkan.

Freya yang duduk di belakang Luna berbisik pelan, “Drama seperti ini hanya terjadi saat kau ada, Luna. Kau benar-benar magnet untuk masalah.”

Luna hanya tersenyum kecil, lalu kembali bersandar di kursinya. Tapi jauh di dalam hatinya, "Clara, kau bisa memulai perang. Tapi, aku yang akan memenangkannya" batin Luna dalam hati.

...****************...

1
dheey
apakah othor bagian dri ahli medis? crita seru. bikin dag dig dug
Siska Amelia
mantap
Siska Amelia
thor segera lanjut thor kalo gak aku gak akan kasi hadiah
Siska Amelia
lanjut dong thor plisss
dheey
semakin penasaran.
dheey
rudolf.... elu sama amelia, cucokkkk... wkwkwk
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!