"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: Hari kelulusan
Hari ini adalah hari di mana acara kelulusan Yoora berlangsung, namun sudah dua hari berlalu wanita cantik itu tidak pernah terlihat batang hidungnya. Dia menghilang seolah lenyap ditelan bumi. Semua orang terus mencari keberadaannya, tetapi tidak menemukan bukti apapun.
Namjin adalah satu-satunya orang yang kelimpungan mencari ke sana kemari tentang adik bungsunya itu, namun ia sama sekali tidak menemukan jejaknya. Bahkan polisi pun seolah tidak membantu apapun, karena tidak ada hasil sama sekali.
"Hyung, tenanglah... kita lanjutkan nanti saja. Hyung, kenapa sih sampai seperti itu mencari dia?" ujar Jihwan, yang membuat Namjin menatapnya kesal.
"Adikku hilang! Kalian menyuruhku untuk tenang? Jika kalian tidak ingin membantuku, tidak apa-apa. Tapi jangan menyuruhku untuk berhenti mencarinya!" balas Namjin dengan nada kesal yang menggema di ruangan, menggambarkan betapa frustasinya ia.
Kali ini, Namjin benar-benar kecewa pada semua keluarganya. Setiap kata yang terucap dari mulut mereka seperti menyentuh luka di hatinya. Mereka seolah tak peduli dengan Yoora yang menghilang dari rumah. Dia tahu bahwa semua saudaranya membenci Yoora, tetapi tidakkah ada sedikit pun rasa khawatir mereka terhadap adik perempuan mereka.
"Mungkin saja dia bersama teman-temannya untuk melakukan kegiatan kelulusannya. Kamu terlalu berlebihan, Jin-ah " ujar Yongki, berusaha menenangkan.
"Percuma bicara dengan kalian! Apa kalian tidak ada sedikit pun rasa khawatir padanya?" Ujar Namjin, suaranya penuh dengan emosi yang terpendam.
"Dia sudah dewasa. Biarkan saja… mungkin dia sedang bersenang-senang. Kau tahu, kekhawatiran mu itu tidak ada gunanya " tutur Haesung dengan nada santai, seolah tidak menganggap serius situasi yang dihadapi.
"Hyung… bagaimana Hyung bisa berpikir seperti itu? Yoora bukan anak seperti itu. Apakah kalian pernah melihat dia tidak pulang berhari-hari tanpa alasan yang jelas?" Ujar Namjin lagi, ketidakpuasan terlihat jelas di wajahnya.
"Tapi hari ini hari kelulusannya, bukan? Kan masuk akal jika dia mungkin sedang berkumpul bersama teman-temannya? Lagipula, dia juga bukan anak kecil lagi, Jin-ah " ucap Yongki mencoba berlogika.
"Itu tidak mungkin! Dia sudah berjanji akan pergi bersama Ji-won hari ini. Tidak mungkin dia datang sendirian, apalagi sampai tidak ada kabar selama dua hari!!" Bentak Namjin, amarahnya tidak dapat tertahan lagi.
"LEE NAMJIN, jaga cara bicaramu pada Yongki! Dia itu kakakmu!, semakin hari kulihat tingkah mu semakin tidak sopan! " ucap Seonho dengan nada kesal, matanya menyala marah saat melihat adiknya itu meninggikan nada bicaranya kepada Yongki.
"Terserah… aku akan tetap mencarinya," ujar Namjin, tegas dan penuh keberanian, sembari berlalu dengan langkah cepat. Tidak ada yang berniat mencegah Namjin pergi, namun semua orang saling tatap, hingga akhirnya Yongki kembali berucap, memecah keheningan.
"Sebenarnya ke mana anak tidak tahu diri itu? Menyusahkan sekali," ujar Yongki dengan nada kesal, menggelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan sikap Namjin yang selalu mengabaikan perasaan orang lain.
"Kapan dia akan pulang?" Tanya Seonho tiba-tiba, tatapannya tajam meneliti wajah Taehwan dan Jungsoo, berharap menemukan jawaban di sana.
Semua orang ikut terdiam, menatap lekat ke arah Taehwan dan Jungsoo, tatapan heran mereka seolah menunggu jawaban dari kedua adiknya. Ketegangan semakin mencengkeram udara di ruangan itu.
"Apa yang Hyung katakan?" Tanya Yongki, bingung dengan ucapan Seonho yang tiba-tiba. Dia tidak bisa memahami apa yang ingin disampaikan oleh sang kakak.
"Tae, Soo-ah, jawab Hyung, kapan dia akan kembali?" Tanya Seonho lagi, nada suaranya menuntut. Dia mengabaikan pertanyaan dari Yongki dan fokus pada kedua adiknya itu, seolah hanya mereka yang bisa memberikan jawaban yang diharapkannya.
"Hari ini seharusnya," ujar Taehwan pelan, suaranya terdengar ragu namun penuh harapan.
"Pergi jemput dia dan buat seolah-olah kamu yang menemukan dia. Biarkan dia pergi ke sekolahnya," perintah Seonho pada Taehwan, nada suaranya tega dan penuh keputusan.
"Tapi Hyung..." Ujar Taehwan ragu-ragu, seolah ingin mempertanyakan keputusan itu.
"Lakukan apa yang Hyung katakan. Acara kelulusan mungkin akan dimulai pukul 9 nanti," ujar Seonho, tak memberi ruang untuk membantah. Suaranya kembali tegas, membungkam semua keraguan yang ada.
"Baiklah..." ujar Taehwan sembari berlalu meninggalkan semua orang, meninggalkan ketegangan yang melingkupi mereka dengan tanda tanya besar di benak masing-masing.
Setelah kepergian Taehwan, semua orang kembali menatap ke arah Seonho, seolah meminta penjelasan lebih lanjut tentang apa yang terjadi sebenarnya. Tatapan mereka penuh kekhawatiran dan harapan, menciptakan suasana yang sarat akan ketidakpastian.
"Jelaskan pada mereka, Soo-ah," ujar Seonho tenang sembari menatap Jungsoo yang sedari tadi hanya diam.
"Hyung... Aku ...." lirih Jungsoo, terlihat ketakutan untuk menjelaskan semuanya.
"Katakan saja. Ada apa sebenarnya?" Tanya Yongki dengan nada lembut, mengetahui betul betapa gelisahnya Jungsoo.
"Hyung ada di pihak kalian, cepat cerita kan," ujar Seonho lagi, menegaskan pentingnya pengakuan tersebut.
"Jadi..."
...Flashback on...
"Kau keluar dari sini, dan ingat yang aku katakan barusan," tutup Seonho, suaranya dingin dan tak memberi ruang untuk negosiasi. Mungkin kata-kata itu adalah jurang pemisah antara mereka.
Mau tak mau, Yoora keluar dari sana dengan perasaan yang campur aduk. Sakit… begitulah kira-kira yang dia rasakan sekarang, hatinya berdenyut kesakitan mendengar ucapan Seonho. Dia berjalan keluar sembari melamun, tidak sadar menabrak Taehwan yang juga akan naik ke lantai atas untuk menemui Jihwan.
"Jalan pake mata!" bentak Taehwan dengan nada tinggi, suaranya menyentak perhatian Yoora.
"Maaf, oppa..." lirih Yoora sembari menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah. Taehwan mendengus kesal dan, dalam sekejap, tangannya tak sengaja menyenggol Yoora hingga dia kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh dari anak tangga.
Taehwan yang melihat itu tentu saja panik. Bagaimana tidak? Dia melihat sang adik yang selama ini ia benci terguling dari tangga dan kini tergeletak di lantai, Suasana seolah terhenti sejenak, hanya suara detak jantungnya yang menggema di telinga.
"Yoora..." Teriak Taehwan sambil berlari mendekati Yoora yang nampak masih sadar, namun terlihat begitu lemas, wajahnya pucat.
"Aku ti... T... tidak ap... apa..." Ujar Yoora terbata-bata, suaranya lemah dan nyaris tak terdengar.
"Yoora..." Ujar Jungsoo yang tiba-tiba muncul, melihat kondisi adiknya bersama Taehwan.
"Hyung, apa yang kau lakukan padanya?" tanya Jungsoo, suaranya dipenuhi rasa khawatir.
"Aku tidak sengaja mendorongnya " ujar Taehwan, wajahnya sedikit panik, kesadaran akan konsekuensi dari tindakannya.
"Bagaimana jika Namjin Hyung melihatnya?" tanya Jungsoo, ketakutan menyelimuti dirinya. Dia tahu betul betapa marahnya Namjin jika tahu ada yang menyakiti Yoora.
"Cepat, bantu aku bawa dia ke rumah sakit " ujar Taehwan, nada mendesaknya mengusir ketakutan yang melanda dirinya.
"Aku tidak mau, bagaimana jika ada yang melihat ku ? Aku tidak mau terlibat " jawab Jungsoo, takut di salahkan oleh semua orang.
"Ayolah Soo-ah, aku tidak mau Namjin Hyung tahu," desak Taehwan lagi, suaranya penuh harap, seolah itu satu-satunya jalan keluar.
"Huffhhh...baiklah..." Ujar Jungsoo akhirnya, terlihat ragu namun tak bisa mengabaikan rasa kemanusiaan yang menggugah hatinya.
Mereka berdua membawa Yoora yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah sakit, meskipun ada sedikit rasa bersalah di hati Taehwan untuk adiknya itu. Walaupun dia begitu membencinya, tapi hati kecilnya sebagai manusia masih memiliki rasa empati. Ditambah lagi, dia takut pada Namjin jika tahu Yoora terluka seperti ini.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di rumah sakit dan segera membawa Yoora untuk diperiksa oleh dokter. Sayangnya, pendarahan pada kepala Yoora cukup parah, membuatnya tidak sadarkan diri.
Hal itu membuat Taehwan dan Jungsoo semakin panik. Namun, tak lama kemudian Seonho mengetahui apa yang terjadi. Dia berusaha menyembunyikan segalanya dari semua orang, dan Seonho jugalah yang membayar polisi agar tidak menyelidiki kasus ini. Sehingga laporan Namjin ke polisi sama sekali tidak berguna.
...Flashback off...
"Bagaimana sekarang kondisinya? Apakah dia sudah membaik?" tanya Yongki penasaran.
"Ya... Kemarin malam dia sudah sadar," jawab Jungsoo.
"Kenapa kalian menyembunyikan hal ini dari kami?" Haesung menatap Jungsoo dengan wajah tak percaya.
"Kami juga tidak menyangka lukanya akan separah itu... Aku minta maaf, Hyung," ucap Jungsoo dengan nada menyesal.
"Tak apa, yang penting Namjin tidak tahu. Kalau dia tahu, pasti dia akan mengamuk. Aku perhatikan meskipun dia terlihat menjauhi Yoora, sesuai dengan keinginanmu, tapi dia masih sering memperhatikan Yoora secara diam-diam," ujar Yongki sambil tersenyum tipis, seakan mengerti sisi lain dari Namjin.
"Itu benar, Hyung. Terakhir kali bahkan Ji-won mengajak Yoora dan Namjin pergi bersama, tapi Yoora menolak," tambah Haesung, mendukung perkataan Yongki.
"Biarkan saja. Semakin dikekang, Namjin akan semakin liar. Hanya Seon Hyung yang bisa menghentikannya," gumam Yongki.
"Kelemahannya ada di Jungsoo dan Yoora." Ucap Seonho, yang sedari tadi mendengarkan, akhirnya angkat bicara.
"Hah? Apa maksudmu?" tanya Yongki dan Haesung serentak, terkejut mendengar penjelasan tersebut.
"Iya, kelemahan Namjin adalah Jungsoo dan Yoora. Dia selalu berada di tengah-tengah antara keduanya. Meskipun aku berusaha memisahkan mereka, Namjin tetap akan mendekati Yoora secara sembunyi-sembunyi. Dia tidak sepenuhnya membenci Yoora... dia hanya kecewa dengan keadaan yang menimpa keluarga ini. Tapi, entah bagaimana, rasa kecewanya perlahan memudar, dan akhirnya, dia kembali menunjukkan perhatian pada Yoora," jelas Seonho panjang lebar.
Kata-kata Seonho membuat ruangan itu mendadak sunyi. Mereka semua terdiam, pikiran terpecah, sebelum perhatian teralih pada sosok Taehwan dan Yoora yang tiba-tiba muncul di pintu. Yoora, dengan kepala yang masih terbalut perban, melangkah masuk perlahan. Luka di kepalanya menandakan trauma yang belum sepenuhnya pulih.
“Masuk ke kamarmu. Kalau Namjin bertanya, jangan katakan apapun,” perintah Seonho, suaranya tegas tanpa ada ruang untuk protes. Yoora hanya menurut, berjalan tanpa sepatah kata menuju kamarnya dengan langkah tertatih.
Beberapa saat kemudian, rencana Seonho berjalan persis seperti yang diperkirakan. Namjin pulang dengan raut wajah panik, matanya penuh kekhawatiran ketika mendekati Seonho yang tengah menunggu di ruang utama.
“Hyung…” panggil Namjin cemas.
“Dia ada di kamarnya, sedang istirahat. Sudah kubilang, dia hanya keluar untuk bermain dengan teman-temannya,” jawab Seonho, suaranya berusaha tenang namun cukup dingin. Ia melangkah mendahului Namjin, sementara saudara yang lain pun mengikuti, penasaran pada kondisi Yoora.
Namjin membuka pintu kamar Yoora dengan tergesa, dan mendapati adiknya terbaring lemah di atas ranjang. Tanpa menunda, ia berjalan cepat menghampirinya, matanya menelisik penuh kecemasan.
“Kamu ke mana saja? Ya Tuhan, aku mencarimu ke mana-mana… Dan ini, kepalamu…?” tanya Namjin dengan suara serak, begitu mendapati perban melilit kepala Yoora.
“Aku… aku baik-baik saja, oppa,” jawab Yoora lemah, suaranya nyaris tak terdengar.
“Baik-baik saja bagaimana? Kamu terluka! Ada apa sebenarnya?” desak Namjin, ekspresinya mencerminkan emosi yang terpendam. Tangannya mencengkeram pundak Yoora, sedikit terlalu kuat, membuat gadis itu meringis.
“Aku hanya tidak sengaja jatuh saat bermain bersama Rea,” jawab Yoora, mencoba menyembunyikan rasa sakit di bahunya yang mulai berdenyut karena cengkeraman Namjin.
"Alasan macam apa itu hah? Terjatuh? Apa kau anak kecil? " Tanya Namjin...
"Sakit .. oppa," lirih yoora yang merasakan cengkraman Namjin di pundak nya semakin kencang tanpa dia sadari .
"Akhh.. aku minta maaf, sekarang katakan padaku apa yang sejujurnya? " ujar Namjin yang tidak menyadari hal tersebut .
"Sungguh tidak ada , hanya itu saja yang terjadi .." lirih yoora.
Namjin memindai wajah Yoora, matanya menelisik dengan penuh keraguan, lalu beralih menatap satu per satu saudaranya yang berada di ambang pintu kamar. Dia menahan nafas, menghela panjang sebelum akhirnya menyerah untuk bertanya lebih lanjut.
“Ji-won akan segera datang… Bersiaplah, dia akan menemanimu ke acaramu,” ujarnya singkat, seolah mencoba menutupi kekhawatirannya.
Yoora hanya mengangguk perlahan, kemudian dengan langkah pelan, ia masuk ke kamar mandi, meninggalkan semua saudaranya yang saling bertukar pandang, menatap dengan ekspresi yang sulit diartikan ada yang khawatir, curiga, bahkan dingin.
Satu per satu mereka meninggalkan kamar Yoora, termasuk Namjin yang akhirnya melangkah kembali ke kamarnya dengan amarah tertahan. Pintu kamar tertutup dengan debuman keras, suaranya menggema, menandakan frustrasi yang tak tertahankan.
“Aku akan ke kamar Hyung,” ujar Taehwan yang sedari tadi hanya diam, tampak gelisah namun menahan diri. Sejak ia menjemput Yoora dari rumah sakit, sikapnya terlihat berubah, lebih banyak diam, seolah menyimpan sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan.
.....
Acara kelulusan Yoora berjalan dengan lancar dan khidmat. Yoora berdiri anggun dengan seragam kelulusannya, wajahnya tampak bersinar dalam kebanggaan sekaligus kesedihan yang dia sembunyikan. Hanya orang tua Ji-won yang menemaninya hari itu, menyisakan ruang kosong di sampingnya yang seharusnya diisi oleh saudara-saudaranya. Dia sesekali menoleh, seolah berharap ada sosok lain yang akan hadir, terutama Namjin satu-satunya yang selalu memberinya rasa nyaman.
Namun, yang dia temui hanya pandangan kosong dari ruang aula di sekitarnya. Sosok yang selama ini menjadi sandaran hatinya, Namjin, saudara yang selalu penuh perhatian, memilih absen dari hari pentingnya. Yoora tahu, keputusan Namjin tidak datang bukan karena dia tidak peduli, tetapi karena ada tekanan yang tak terlihat dari saudara-saudaranya yang lain. Menyadari hal itu, Yoora menggenggam erat seragam kelulusannya, seakan menahan rasa sakit yang makin dalam mengendap di hati.
Setelah acara selesai, Yoora menoleh kepada Ji-won, sosok kekasih dari Namjin yang telah menemani hari kelulusannya.
"Eoni... terima kasih sudah ada di sini. Aku tidak akan pernah lupa kebaikanmu," ucapnya lirih namun tulus, sambil tersenyum pada Ji-won.
"Apapun demi adik eoni," balas Ji-won hangat, menarik Yoora ke dalam pelukannya dengan erat. Ada kehangatan yang selama ini jarang Yoora rasakan dari saudara-saudaranya sendiri.
Yoora pun berpaling pada sepasang orang tua Ji-won, yang ikut datang di acara kelulusan itu. Dia begitu senang karena kali ini ada yang menemani nya di saat hari kelulusan nya , sedangkan dahulu saat dia lulus sekolah menengah pertama dia hanya melakukan nya sendirian . Meskipun sekarang juga bukan dengan saudara nya , tapi setidaknya dia tidak melakukan nya sendirian.
"Imo, Samcheon, terima kasih sudah meluangkan waktu kalian untuk hadir, maaf karena telah merepotkan kalian semuanya " ujarnya sambil membungkuk hormat. Yoora selalu menganggap mereka seperti keluarga.
Nyonya Kang, ibu Ji-won, menyambut dengan senyum lembut dan memeluk Yoora.
"Tidak perlu sungkan, Yoora. Anggap saja kami seperti orang tuamu sendiri," kata beliau sambil mengusap punggung Yoora dengan sayang.
"Terima kasih, imo...," bisik Yoora, berusaha menahan perasaan harunya.
Tiba-tiba, seorang pria muda masuk dengan tergesa, membawa buket bunga berwarna-warni di genggamannya. Dengan nafas sedikit tersengal, pria tampan itu menghampiri mereka sambil mengatur nafas.
"Maaf aku terlambat...," katanya dengan senyum malu-malu.
"Min-ho! Dari mana saja kamu?" tanya ayahnya dengan nada bercanda. Pria itu menggaruk kepalanya, tersipu seolah bingung harus meuawab apa di hadapan sang ayah dan juga keluarga nya itu .
"Maaf, Appa... jalanan sedikit padat. Aku harap aku tidak terlalu terlambat?" tanyanya, canggung.
( Catatan: "Appa" (아빠) adalah kata dalam bahasa Korea yang berarti "ayah" atau "papa." Ini adalah sebutan yang lebih santai dan akrab dibandingkan "abeoji" (아버지), yang sama juga berarti "ayah" dengan kesan lebih formal dan sopan. Dalam budaya Korea biasanya, "appa" dipakai dalam percakapan sehari-hari, terutama oleh anak-anak atau dalam keluarga modern untuk menunjukkan kedekatan penuh cinta dan kasih. Sedikit berbeda dengan "abeoji" (아버지) yang biasanya sering digunakan oleh keluarga - keluarga kalangan masyarakat atas (yang mengikuti ajaran terdahulu) , yang begitu menjunjung tinggi nilai-nilai attitude dalam setiap ucapan dan tindakan nya , terkadang bahasa dan perilaku mereka juga terkesan lebih formal dan teratur . Tolong koreksi jika author salah).
"Ya jelas terlambat! Tapi untung kamu masih datang." Ujar Ji-won sembari memukul lengannya dengan gemas. Min-ho pun tersenyum kecil, lalu matanya tertuju pada Yoora, yang berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tampak terkejut sesaat, sebelum akhirnya tersenyum heran.
"Kamu... Yoora-ssi?"...
Yoora terkejut melihat pria itu di depannya, lalu dia tersenyum malu-malu saat menyadari siapa sosok itu.
"Oppa...? Tidak menyangka kita bertemu di sini." Jawab Yoora yang juga tak kalah terkejut, sedari tadi pikiran nya sama sekali tidak pokus , hingga dua tidak sadar siapa yang datang.
"Yaampun, aku tidak menyangka ternyata ini benar - benar kamu," ujar Minho tersenyum canggung.
"Kalian sudah saling kenal ? " Tanya nyonya kang.
"Iya eomma ... Dia wanita yang menyelamatkan ku waktu itu " ujar Minho yang masih tampak tidak percaya.
"Min-ho selalu membicarakan seseorang yang membantunya waktu itu, tak disangka ternyata orangnya adalah Yoora!" Nyonya Kang tertawa kecil.
Ji-won menyikut Min-ho sambil tertawa. Dia begitu suka menggoda sang adik yang menurut nya begitu polos dan menggemaskan .
"Benar, eomma. Sampai-sampai dia berkhayal, 'Semoga aku bisa bertemu dengannya lagi'. Lihatlah sekarang!" Ujarnya sembari terkekeh.
"Ini... Selamat atas kelulusanmu, Yoora-ssi. Semoga masa depanmu berjalan sesuai harapanmu," ujar Min-ho sambil tersenyum lebar, menyerahkan buket bunga yang harum pada Yoora.
“Terima kasih, Min-ho oppa. Bunga ini sangat indah, aku benar-benar menghargainya.” ucap Yoora tersenyum kecil, menerima buket itu dengan hati yang sedikit tersentuh.
"Oh, hampir lupa, Yoora. Ini adik bungsuku, Kang Min-ho. Dia baru kembali dari Amerika setelah menyelesaikan pendidikannya. Mungkin kalian belum pernah bertemu secara resmi." Ucap Ji-won memperhatikan interaksi tersebut, lalu tersenyum.
Min-ho menoleh ke arah Yoora dengan sorot mata yang hangat dan penuh keakraban, pria itu terdiam sejenak menatap yoora begitu dalam .
"Senang bisa bertemu denganmu lagi, Yoora-ssi." Ia mengulurkan tangan, sedikit menunduk dengan ramah,Yoora, meskipun agak terkejut dengan sikap Min-ho yang lembut, menyambut tangannya.
"Senang bertemu denganmu juga, oppa," jawabnya pelan, menjabat tangan Min-ho dengan hati-hati. Tangan mereka bergetar ringan saat bersentuhan, lalu mereka saling menatap sejenak, keduanya tak segera melepaskan genggaman tangan.
"Yoora, ayo, eonni antarkan kamu pulang. Kamu butuh istirahat setelah hari yang panjang, kamu juga harus banyak istirahat " ujarnya sambil mengulurkan tangan, memberi isyarat pada Yoora. Min-ho yang mendengar hal tersebut, dengan cepat memotong ucapan sang kakak.
"Biar aku saja, noona. Aku juga bisa mengantarkannya pulang," katanya, wajahnya menunjukkan ketulusan.
"Kau ingin mengantarnya sendiri, Min-ho?" Ucap Ji-won mengerutkan kening sambil menoleh ke orang tua mereka.
"Iya, aku ingin lebih banyak bicara dengan Yoora." Jawab Min-ho hanya tersenyum tipis. Ji-won tampak ragu sejenak, tetapi sang ibu, Nyonya Kang, menepuk lengannya dengan lembut.
"Biarkan saja, Ji-won. Yoora, kamu tidak keberatan, kan, jika Min-ho yang mengantarmu pulang?" tanya Nyonya Kang dengan suara hangat.
"Tidak, imo... Aku tidak keberatan." Yoora mengangguk pelan, meski ada rasa ragu di dalam hatinya.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan, kalian. Kami akan pulang lebih dulu." Ia beranjak pergi, diikuti oleh suaminya yang mengangguk penuh perhatian.
"Jaga diri kalian, Min-ho , Yoora..." Ucap sang ayah sembari tersenyum.
"Ingat, Min-ho, Yoora sedang sakit. Pastikan kau menjaga dia baik-baik. Kalau terjadi sesuatu, kau tahu siapa yang harus kau hadapi, " Ucap Ji-won memperhatikan sang adik.
"Iya, iya, { Min-ho tertawa kecil } noona cerewet sekali, aku bukan anak kecil " Dia melambaikan tangan dengan santai, tapi pandangannya kembali serius begitu Ji-won berbalik. Setelah memastikan keluarganya pergi, Min-ho menoleh pada Yoora sembari tersenyum manis.
"Ayo... Mobilku ada di sana," ujarnya sambil mengambil barang-barang Yoora dan menuntunnya menuju kendaraan.
"Masuklah." Min-ho membukakan pintu untuk Yoora dengan penuh perhatian.
Yoora pun masuk ke dalam mobil dengan rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Dia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh seorang pria sebelumnya, dan saat ini, perasaan itu membuatnya bergetar di dalam hati. Setiap gerakan terasa lebih jelas, dan detak jantungnya seakan menggema dalam keheningan mobil. Meskipun canggung, dia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan tersebut di balik senyum tipis yang terlukis di wajahnya, berharap senyum itu dapat mengalihkan perhatian dari rasa gugup yang menggelayut di benaknya.