Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Pilihan yang Menentukan
Sejak menerima penghargaan atas kemenangan lomba debat nasional, Keisha menjadi lebih sibuk dari sebelumnya. Undangan untuk mengikuti kompetisi dan seminar terus berdatangan. Pak Arif bahkan memintanya menjadi mentor untuk anggota baru klub debat. Meski jadwalnya padat, Keisha tidak pernah merasa terbebani. Sebaliknya, ia merasa hidupnya kini memiliki tujuan yang lebih jelas.
Namun, di balik keberhasilan itu, ada tantangan baru yang mulai muncul. Salah satu tantangan itu adalah keputusan besar yang harus ia ambil: memilih antara fokus pada persiapan lomba debat internasional atau menerima tawaran beasiswa dari sebuah sekolah unggulan di luar kota yang menghubunginya setelah mendengar prestasinya. Tawaran itu menggoda, tetapi juga membawa risiko besar, terutama karena Keisha harus meninggalkan teman-temannya, ibunya, dan rutinitas yang sudah ia jalani dengan baik di sekolahnya saat ini.
~
Di ruang debat sore itu, Keisha duduk sendirian. Buku catatan dan dokumen lomba tergeletak di meja, tetapi pikirannya melayang jauh. Pilihan yang ada di hadapannya terasa begitu berat.
“Kei, lo lagi apa di sini sendirian?” suara Nadya memecah kesunyian.
Keisha menoleh dan tersenyum kecil. “Gue cuma lagi mikir.”
Nadya duduk di sebelahnya tanpa ragu. “Mikir apa? Kelihatan banget dari wajah lo kalau lo lagi pusing.”
Keisha mendesah panjang. Ia kemudian menceritakan tentang tawaran beasiswa itu kepada Nadya. Setelah mendengar semuanya, Nadya terdiam beberapa saat.
“Wah, Kei. Ini kesempatan besar banget, loh,” kata Nadya akhirnya. “Tapi gue ngerti kalau lo pasti bingung. Kalau gue jadi lo, gue juga pasti dilema.”
Keisha mengangguk pelan. “Iya, Nads. Gue seneng banget dapat tawaran itu, tapi gue nggak yakin gue siap ninggalin semuanya di sini. Teman-teman gue, lo, bahkan Mama…”
Nadya menggenggam tangan Keisha dengan erat. “Kei, gue tahu ini nggak mudah, tapi lo harus ingat satu hal: ini hidup lo. Apa pun yang lo pilih, pastiin itu sesuatu yang bikin lo bahagia. Gue dan semua orang di sini bakal dukung apa pun keputusan lo.”
Perkataan Nadya membuat hati Keisha sedikit lebih ringan, tetapi ia tahu bahwa keputusan ini tetap harus ia ambil sendiri.
~
Sore berikutnya, Keisha berjalan ke taman dekat rumahnya untuk merenung. Taman itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk mencari ketenangan. Ia duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau kecil, memandangi air yang tenang.
Suara langkah kaki yang familiar membuatnya menoleh. Arya berdiri tidak jauh darinya, membawa dua gelas kopi di tangannya.
“Gue nggak nyangka bakal ketemu lo di sini,” kata Arya sambil mendekat.
Keisha tersenyum kecil. “Taman ini selalu jadi tempat favorit gue buat mikir.”
Arya duduk di sebelahnya dan menyerahkan salah satu gelas kopi. “Kayaknya lo butuh ini.”
“Thanks,” ujar Keisha sambil menerima kopi itu.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, menikmati keheningan sore itu. Akhirnya, Arya memecah keheningan. “Lo kelihatan lagi banyak pikiran. Ada apa, Kei?”
Keisha menceritakan tentang tawaran beasiswa itu kepada Arya. Mendengar cerita itu, Arya mengangguk pelan, seperti sedang mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Keisha.
“Kei, gue tahu ini bukan keputusan yang gampang. Tapi, menurut gue, lo harus fokus sama apa yang terbaik buat masa depan lo,” kata Arya dengan nada serius.
“Tapi gimana kalau gue salah pilih, Arya? Gimana kalau gue nyesel nanti?” tanya Keisha, suaranya penuh keraguan.
Arya menatapnya dengan lembut. “Kei, nggak ada keputusan yang benar-benar sempurna. Yang penting adalah lo mengambil langkah, dan apa pun hasilnya, lo belajar dari itu. Gue yakin, lo kuat buat menghadapi apa pun.”
Kata-kata Arya membawa ketenangan dalam hati Keisha. Ia menyadari bahwa tidak ada gunanya terus-terusan meragukan diri sendiri.
~
Keisha memutuskan untuk membicarakan tawaran beasiswa itu dengan ibunya malam itu. Ia tahu bahwa pendapat ibunya sangat berarti baginya. Setelah makan malam, mereka duduk di ruang keluarga.
“Mama, aku mau cerita sesuatu,” kata Keisha pelan.
Ibunya menatapnya dengan lembut. “Ada apa, Nak?”
Keisha menjelaskan tentang tawaran beasiswa itu, termasuk semua keraguan dan kekhawatiran yang ia rasakan. Ibunya mendengarkan dengan sabar tanpa memotong.
Setelah Keisha selesai bicara, ibunya tersenyum dan menggenggam tangan Keisha. “Keisha, Mama selalu percaya kalau kamu bisa membuat keputusan yang terbaik untuk dirimu sendiri. Kalau kamu merasa ini adalah langkah yang tepat, Mama akan mendukungmu. Tapi ingat, apa pun yang kamu pilih, Mama akan selalu ada di sini untukmu.”
Mendengar kata-kata ibunya, Keisha merasa matanya mulai panas. Ia memeluk ibunya erat-erat, merasa bahwa dukungan ibunya adalah hal yang paling berharga dalam hidupnya.
~
Hari-hari berikutnya, Keisha mencoba mencari jawaban dengan cara yang berbeda. Ia menulis daftar kelebihan dan kekurangan dari setiap pilihan, berbicara dengan guru-gurunya, bahkan berdoa lebih sering dari biasanya. Perlahan, ia mulai merasa lebih yakin dengan pilihannya.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, Keisha membuat keputusan. Ia mengirim email ke pihak sekolah yang menawarkan beasiswa itu, menyatakan bahwa ia menerima tawaran tersebut. Meski berat, Keisha tahu bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil untuk masa depannya.
Ketika Keisha memberi tahu teman-temannya tentang keputusannya, reaksi mereka penuh dengan dukungan meski ada sedikit kesedihan. Nadya bahkan membuat kejutan kecil di kelas dengan membawa kue untuk merayakan keputusan Keisha.
“Lo harus janji, Kei, kita tetap kontak terus!” kata Nadya sambil memeluk Keisha erat.
Keisha tersenyum dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Gue janji, Nads. Lo nggak akan pernah gue lupain.”
Rama, yang selama ini lebih banyak diam, juga menghampiri Keisha. “Semoga sukses, Kei. Gue tahu lo bakal jadi orang hebat di sana.”
“Makasih, Ram. Gue juga berharap yang terbaik buat lo,” jawab Keisha dengan tulus.
~
Malam sebelum keberangkatannya ke kota baru, Keisha duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit. Ia merasa gugup, tetapi juga bersemangat untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Ia membuka buku catatan kesayangannya dan menulis:
“Perjalanan ini mungkin penuh dengan ketidakpastian, tetapi aku tahu bahwa aku melangkah dengan keyakinan. Aku akan menjadikan setiap langkahku berarti.”
Keisha menutup bukunya dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa perpisahan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.
Pagi harinya, dengan koper di tangan dan harapan di hati, Keisha melangkah menuju masa depannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui di sana, tetapi ia yakin bahwa ia memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depannya.