Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDATANGAN
Jingga tengah duduk di ruang tamu, ia menunggu suaminya pulang. Entah mengapa ia tak sabar menunggu pria itu, mungkin karena dia ingin tahu kabar keluarganya. Karena itu ia memilih menunggu Langit di ruang tamu.
Dan saat suara bel pintu berbunyi, Jingga sontak berdiri, matanya berbinar, tak sabar ingin bicara dengan Langit.
“Aku saja bu,” ucapnya pada bu Rika yang saat itu hendak membuka pintu.
Bu Rika mengangguk, lalu kembali diam berdiri tak jauh dari sofa tenpat semula Jingga duduk.
“Tu…” ucapan Jingga terhenti saat ternyata bukan Langit yang datang, tapi Mega. “Mbak Mega? Mbak disini?”
Mega tersenyum sinis, “Kenapa? Kaget aku bisa tahu alamat rumah ini? Kamu gak perlu tahu aku tahu alamat rumah ini dari mana,” gadis itu melipat kedua tangannya di dada, menatap sinis Jingga yang justri terlihat tersenyum.
“Bukan gitu mbak, masuk mbak..” ajaknya.
“Pantas saja kamu tidak pernah pulang, betah tinggal di rumah besar ini?” Tanyanya masih dengan nada sinis. Mega masuk ke dalam rumah, mendelik saat Rika menatapnya dengan tajam. “Jadi rumah pria Langit sebesar ini? Ini istana, bukan rumah. Ternyata Jingga hidup enak disini,” batin Mega. Ia lalu duduk meski Jingga belum mempersilahkannya duduk.
“Pelayan, kamu pelayan kan? Tolong bawakan saya minuman dingin,” perintahnya pada Rika.
“Mbak, mbak tolong jangan seperti itu. Bicara yang sopan,” tegur Jingga.
“Kamu yang harusnya bicara sopan, aku ini kakakmu, berani kamu melarangku?” Mega menaikkan nada bicaranya, membuat Jingga diam karena tak ingin memancing keributan.
“Nyonya, biarkan saja. Saya akan membawakannya minuman, nyonya duduklah,” pinta Rika dengan lembut.
Mendengar kata Nyonya yang di tujukkan pada Jingga, Mega semakin kesal. Andai saja dulu ia tak menolak, mungkin posisi Nyonya rumah ini miliknya sekarang, begitu pikirnya.
“Apa yang kamu dapatkan dengan menikahi pria tua seperti tuan Langit?” Tanya Mega.
Entah mengapa, Jingga tak suka saat Mega menyebut suaminya pria tua, padahal kenyataannya memang begitu. “Mbak, jangan bicara seperti itu. Bagaimana pun tuan Langit suamiku, aku tidak suka ada orang yang menghinanya, termasuk mbak sekali pun,” ucap Jingga dengan tegas.
Mega tersenyum menyeringai, “Kemewahan ini kan? Kalau tidak, untuk apa kamu tetap tinggal disini? Aku yakin kalian tidak saling mencintai, kalian menikah hanya karena hutang gak jelas. Bukan karena saling mencintai, jadi untuk apa kamu bertahan disini selain karena harta. Kamu pasti senang karena sudah berhasil merebut posisi yang seharusnya aku miliki,” tuding Mega.
“Maksud mbak apa? Mbak yang dulu menolak, bukan aku yang memaksa tuan Langit untuk menikahiku.” Tentu Jingga tak terima atas tuduhan sang kakak, paadahal ia juga mengorbankan banyak hal karena menikah dengan Langit. Salah satunya kuliah dan cita-citanya. Tapi taka pa, demi kedua orang tuanya, itu tak akan menjadi masalah untuknya. Tapi sekarang, seenaknya saja Mega menuduhnya.
“Hallaah, jangan berkelit kamu Jingga. Kamu pasti sengaja merayu tuan Langit sebelumnya!” tuduh Mega lagi, padahal ia sendiri yang menunjuk Jingga untuk menggantikannya.
“Mbak..” Jingga menggelengkan kepalanya, rasanya marah, tapi ia tak ingin memancing keributan di rumah suaminya. Terlebih Langit tengah tak ada di rumah, ia tak ingin pria itu tahu keributan ini dari orang lain nantinya.
“Kalau begitu, pergi dari rumah ini. Untuk apa kamu hidup dengan pria yang sudah tua? Cari pria yang lebih muda dan mencintaimu. Kamu juga ingin kuliah kan? Kalau kamu pergi dari rumah ini, kamu akan bisa kembali berkuliah.”
“Tidak!!” Tegas Jingga, “Sampai kapan pun aku tidak akan pernah meninggalkan suamiku, kecuali tuan Langit sendiri yang mengusirku dari sini. Lebih baik mbak pulang..”
“Keras kepala!!” Mega beranjak, menghampiri Jingga lalu melayangkan tangannya untuk menampar Jingga, membuat Jingga memejamkan matanya dengan erat seolah bersiap untuk menerima tamparan itu. Namun tangan itu hanya menggantung di udara.
Jingga yang semula memejamkan matanya dengan erat kini perlahan kembali membuka matanya karena tak merasakan apapun di pipinya. Ia mendongak mengikuti arah pandang Mega, “Tuan..” lirihnya saat ia melihat Langit menahan tangan Mega.
Lalu pria itu menghempaskan tangan Mega dengan keras, membuat Mega jatuh ke atas sofa. “Jauhkan tanganmu dari istriku!” tegas Langit. Tatapannya begitu tajam, seolah bersiap untuk menerkam musuh.
Pak Lim dan Rika yang mendengar keributan itu segera datang, namun Alex menahan mereka untuk mendekat. Alex menggelengkan kepalanya, seolah meminta agar tuannya saja yang menyelesaikan keributan itu.
“Pergi dari rumahku!” tegas Langit lagi, “Dan ingat satu hal, jangan mengganggu istriku lagi, menjauh darinya atau kamu akan tahu sendiri akibatnya!” ancam Langit, ancaman yang bukan hanya sekedar ancaman, karena Langit tak akan membiarkan orang-orang terdekatnya terluka. Kejadian di masa lalu membuatnya ekstra over protektif pada siapa saja yang dekat dengannya. Ia tak ingin merasakan kehilangan lagi.
Alih-alih merasa teracam atau takut. Mega justru bangkit dengan sombongnya, ia mendekati Langit, lalu berbisik di telinga pria itu, “Aku tahu semuanya..”
Langit sempat terkejut, tapi ia masih bisa menguasai dirinya. Ia mendorong Mega agar gadis itu menjauh, lalu kembali mengusirnya, “Pergi dari rumahku. Alex!!” teriaknya.
“Ya tuan,” Alex menghampiri Langit, membungkuk hormat lalu mendekati Mega dan menyeret gadis itu keluar. Meski tanpa di perintah, ia sudah tahu keinginan Langit.
Mega pun tak melawan, ia merasa menang karena ia mempunyai senjata untuk menjatuhkan Langit. Apalagi jika sampai Jingga tahu, ia dapat pastikan sang adik akan pergi meninggalkan pria tua itu.
Langit menoleh, menatap Jingga yang juga tengah menatapnya. Gadis itu tersenyum meski matanya berkaca-kaca. Tanpa Jingga duga, Langit menariknya lalu memeluknya. Pria itu mengusap puncak kepala Jingga dengan lembut, sepertinya Langit dapat mengerti kesedihan Jingga.
Bukan karena Mega memintanya pergi meninggalkan Langit. Karena sampai kapan pun Jingga tak akan pergi jika bukan Langit yang memintanya sendiri, tapi tuduhan sang kakak membuatnya terluka. Jika boleh jujur, posisinya pun korban. Korban keegoisan Mega yang membatalkan pernikahan itu. Tapi ia tak menyesali keputusannya, ia sudah menerima Langit dan pernikahan ini. Hanya saja, tatapan sang kakak yang penuh kebencian saat menatapnya membuatnya semakin terluka.
Dari dulu, entah mengapa Mega seperti tak menyukainya. Meski Mega sempat berperan menjadi kakak yang baik untuknya, melindunginya dan menjaganya, entah mengapa sejak beranjak remaja Mega justru seperti membencinya. Dan sampai saat ini, Jingga tak tahu penyebab perubahan kakaknya itu.
Tatapan kasih sayang dari mata Mega lenyap entah kemana, berganti dengan tatapan kebencian yang selalu berhasil membuat Jingga merindukan sosok kakaknya yang dulu. Ia juga pernah bertanya pada Mega, kenapa Mega membencinya, tapi sang kakak justru pergi begitu saja tanpa jawaban.
“Sudahlah, jangan pikirkan apapun yang dia katakan. Kamu hanya perlu tetap disini, jangan pergi kemana pun,” ucap Langit. Meski nada suaranya terdengar tegas dan dingin, tapi hati Jingga menghangat. Ia membalas pelukan suaminya dengan erat, dan kenyamanan itu perlahan hadir.
Beberapa saat setelah kedatangan Mega, Langit dan Alex pun sampai di rumah. Mereka hendak masuk namun saat mendengar perdebatan antara Mega dan Jingga, Langit menghentikan langkah di ikuti juga oleh Alex. Mereka berdiri di balik pintu, mendengar setiap kata yang dua gadis itu lontarkan.
Ada perasaan bahagia saat Jingga mengakuinya SUAMI, apalagi ketika gadis itu mengatakan bahwa dia tak akan pergi meninggalkannya. Langit merasa ada sesuatu yang membuncah, meledak-ledak di hatinya. Rasanya ingin sekali tersenyum, tapi bibirnya terlalu kaku, ia hanya bisa menahan diri dan terus mendengarkan perdebatan istrinya di dalam sana.
Tangannya terkepal saat Mega terus menghasut Jingga, bahkan menuduh Jingga hal yang tidak-tidak. Ingin sekali ia berteriak dan menyeret Mega, tapi ia masih menghargai istrinya dan memikirkan perasaan gadis itu. tapi saat Mega mengangkat tangannya pada Jingga, Langit tak bisa diam lagi. Pria tua itu melangkah tergesa dan menahan tangan Mega agar tak sampai melukai Jingga.
Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya, kata-kata mega yang mengatakan bahwa gadis itu tahu semuanya, “Apa maksudnya?” batin Langit. Ia benar-benar tak mengerti apa yang Mega maksud, sampai ia mengingat kedatangannya ke rumah sang mertua, matanya membulat sempuran. “Apa dia mendengar semuanya? Atau melihat sesuatu?” Batin Langit lagi.