Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugup
Aku duduk di samping ranjang setelah sehari serangkaian acara aku lewati, tubuh rasanya cape dan lelah. Aku bahkan hampir seharian tidak memegang HP, apakah ada pesan dari calon suamiku, mertua atau bahkan Bi Lastri yang katanya sore ini mereka akan mulai berangkat dari Ibukota.
Baru acara pembuka saja rasanya tubuh ini sangat lelah, apalagi acara ini besok. Ah, Bapak memang tidak kira-kira membuat susunan acara. Aku baru merasakan tubuh sangat-sangat lelah seperti ini. Setelah mengecek ponsel dan membalas beberapa pesan masuk termasuk dari Bi Lastri yang mengbarkan kalau mereka sedang dalam persiapan untuk berkunjung ke kampung halamanku. Ada gurat bahagia di hati, tapi tidak bisa dihindari ada rasa cemas bercampur menjadi satu.
Yah, aku lagi-lagi berpkiran horor, takut kalau dalam perjalanan terjadi sesuatu, apalagi jarak tempuh Ibukota sampai ke kampung halamanku cukup memakan waktu yang lama, bahkan kalau macet bisa belasan jam, ada rasa cemas kalau sang supir mengantuk dan terjadi Microsleep yang mengakibatkan kecelakaan. Sebelum beranjak untuk istrirahat, aku pun mengadukan rasa syukur dan juga kegundahanku ini pada Sang Khalik, aku merasakan saat ini adalah detik-detik terakhir kecemasan menuju akad, kecemasan yang luar biasa.
Setelah melangitkan doa kebaikan untuk acara besok dan juga untuk perjalanan rombongan calon suamiku. Aku mulai merebahkan diri yang cape ini, tentu dengan harapan setelah bangun besok tubuh kembali segar, karena aku yakin pasti besok acara akan lebih padat lagi dan juga akan lebih cape tentunya.
Aku menggeliatkan tubuh ketika tubuh merespon ada yang menepuk pundak dengan pelan.
"Ibu, ada apa?" tanyaku dengan suara serak dan memicingkan sebelah mataku, menatap wanita yang telah melahirkanku ada di sampingku.
"Siap-siap rombongan calon suami kamu sudah hampir sampai," ucap Ibu masih dengan suara serak juga.
Sontak aku langsung bangun dan duduk, ekor mataku melirik pada jam yang terpasang di dinding kamarku.
Jam tiga? Kenapa cepat sekali, sedangkan tadi malam pukul sembilan mereka masih siap-siap, batinku terkejut. "Sepagi ini Bu?" tanyaku masih setengah tidak percaya.
Ibu mengangguk, menandakan pertanyaanku sudah langsung mengandung jawabanya. "Mereka katanya naik pesawat pribadi dan turun di bandara kota kita, jadi ke sini hanya butuh waktu satu jam. Makanya kamu cepat bersiap, kurang lebih satu jam lagi calon suami kamu datang. Masa nanti datang kamu masih ileran." Ibu menarik tubuhku dengan lembut.
Aku pun kembali dirundung kembingungan. Ya Tuhan siapa sebenarnya sosok calon suamiku? Kenapa rasanya mereka itu terlalu banyak duit. Jet pribadi yang untuk sewanya saja bisa ratusan juta. Setelah nyawaku terkumpul aku bersiap di mana di dalam kamar sudah ada tim MUA yang aku lihat masih ngantuk.
"Masih ngantuk yah Mbak, maaf yah pagi-pagi ditelpon Ibu pasti," ucapku pada Mbak Mua yang kemarin merias aku juga.
"Enggak apa-apa Mbak udah biasa, ini langsung dan-dan untuk ijab atau gimana?" tanyanya sembari menyiapkan alat make up.
"Jangan dulu Mbak acara akad jam delapan, nanti keburu longsor bedaknya. Untuk acara penyambutan aja pake gamis aja dan make up natural, jangan terlalu menor-menor dulu. Padahal sebenarnya bisa sendiri, tapi mungkin Ibu tidak percaya kalau anaknya bisa makeup," kelakarku agar kami lebih akrab. Yah, meskipun pada kenyatanya aku sudah akrab dengan Mbak Mua, sebab kemarin sudah ketemu banyak ngobrol juga.
"Ok lah kita tempur sekarang," balasnya dengan gaya bayolnya. Untung Mbak Mua lucu jadi nggak bosan berlama-lama wajah di poles-poles ada ajah yang dibahas pokoknya ngak berasa sudah beres.
Kembali Ibu pukul setengah lima sudah mengetuk pintu kamarku lagi, dengan langkah tergopoh meminta aku untuk cepat ke luar karena rombongan besan uadah datang.
Aku tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukurku akhirnya segala kecemasan yang menyelimutiku selama ini tidak terjadi. Semua berjalan lancar hingga detik-detik acara ijab kabul aku tidak merasakan kendala yang berarti.
Aku mengusap dadaku dan merapalkan doa, agar aku tidak gugup. Ah, tapi itu bohong, tubuhku sudah behianat. Bergetar hebat seolah aku belum makan dari kemarin.
"Mbak, ngatasi biar nggak gugup obatnya apa?" tanyaku sama Mbak Mua, yang justru cengengesan lihat tubuhku bergetar hebat.
"Enggak ada Mbak, wajar gugup kan mau nikahan semuanya juga ngalamin," ucapnya membuat aku sedikit merasakan lega, sedikit saja. Aku pun keluar setelah Ibu memanggil, dari di dalam kamar aku sudah beberapa kali menarik bibir, anggap saja itu latihan untuk tersenyum menyambut calon keluarga baruku. Yah, rasanya aku lupa bagaimana rumus untuk tersenyum yang terbaik, dan natural, aku takut saking tegangnya justru lupa untuk tersenyum sehingga nanti ada yang bilang kalau aku menikah karena terpaksa.
Oh ya Tuhan, aku justru merasa sangat tidak berani untuk menemui rombongan calon suamiku. Jantungku berdetak lebih kencang lagi, kedua bola maataku menatap rombongan yang tidak sedikit. Tubuhku bergetar seolah aku tengah kelaparan ditengah-tengah kegugupanku. "Sial tubuhku memang sangat tidak tahu diuntung, dalam situasi gugup seperti ini malah seolah sedang meledek sang punya raga," umpatku pada diriku sendiri.
"Tangan kamu dingin Mbak," tanya ibuku dengan berbisik. Yah, aku memang bergandengan tangan dengan Ibu, setelah ke luar dari dalam kamar.
Aku menyembunyikan rona wajahku yang aku yakin sudah sangat merah seperti orang yang kepergok tengah berbuat mesum. Segera kutepis tangan Ibu dengan lembut. "Ibu jangan meledek Lydia lagi, bisa-bisa nanti anak Ibu pingsan karena saking gugupnya," balaskan dengan suara tidak kalah lirih dari Ibu tadi. Aku dengar Ibu tertawa cukup renyah. Aku melihat ada rona bahagia yang tidak pernah aku lihat di wajah Ibu.
"Ibu seneng banget Mbak, akhirnya kamu menikah juga, dan Ibu juga bisa bernafas lega karena calon suami kamu ternyata bukan orang sebarangan," ucap Ibu membuat aku tersentak kaget.
"Emang calon suami aku siapa Bu? Lydia malah nggak tau?" tanyaku di sela-sela ketegangaku.
"Nanti juga kamu akan tahu, udah buruan sambut calon mertua." Ibu meminta aku berjalanya sedikit tergesa. Tentu aku juga mengikuti apa yang Ibu mau, langkah kakiku semakin cepat.
Wajah pertama yang aku lihat tentu Aarav yang memberikan senyum terbaiknya, di susul oleh calon mertuaku yang tidak kalah memberikan senyum yang teduh, lalu ada dua wanita cantik di sampingnya dan juga laki-laki berparas setengah bule duduk di samping wanita cantik itu. Aku belum begitu mengenalinya, tetapi aku langsung memberikan senyum sapaan. Yang aku tahu pasti mereka adalah keluarga dekat calon suamiku.
Pagi masih buta, tetapi di rumah keluargaku sudah riuh dan ramai oleh kehadiran tetangga, aku kembali bingung. Apa sebenarnya yang membuat banyak warga sudah bangun, apa untuk melihat calon suamiku?
Aku bersalaman dengan calon ibu mertuaku dan dua wanita yang di sampingnya.
"Lyd ini kenalin, ini anak Mamih yang pertama dan bungsu, namanya Amora dan Ainun." Mamih Misel mengenalkan dua anak perempuanya yang aku ketahui bahwa mereka saat ini tinggal di luar negri mengikuti suaminya, tetapi lagi-lagi demi menghadiri acara pernikahan aku dan Aarav mereka rela pulang kampung.
"Senang berekenalan dengan kalian Kak Ainun dan adik Amora. Mohon maaf kalau rumah dan penyambutan kami hanya seperti ini," ucapku dengan ramah, dan mereka pun menerimaku tidak kalah ramah. Aku sungguh terharu karena rahasia Tuhan sungguh luar biasa indah.
Sebentar lagi bukan hanya harapan dan doa ku yang akan segera terkabul. Aku pun berharap setelah pernikahan ini, hubunganku dengan adik-adikku akan segera membaik, karena mereka tidak ada alasan lagi menuduhku yang ingin merebut suami-suami mereka. Toh nyatanya calon suamiku jauh lebih baik dari suami-suami mereka. Dan yang palin penting gunjingan tetangga yang menuduh terkena guna-guna, pesugihan, tubal kekayaan dan dinikahkan dengan bangsa jin atau wajah menyerupai nenek-nenek itu terpatahkan dengan kenyataan yang mereka bisa lihat dengan matanya sendiri.
"Mbak ini bawa dan suguhkan sama calon suami dan mertua kamu," ucap Ibu seraya memberikan teh, dan kue untuk menghangatkan tubuh mereka.
Aku menatap tajam pada Ibu yang terlihat wajah jahilnya. Yah, aku tahu Ibu ingin melihat reaksi aku yang malu ini.
Namun, aku tidak kuasa menolak permintaan ibu tercinta. Aku tepaksa mengambil nampan yang ibu sodorkan. Lagi, jantungku seolah mau bergeser kesebelah kanan, ketika aku menatap wajah Aarav terus menatapku seolah ada benda aneh di wajahku aku jadi merasa tidak percaya diri.
Namun, aku segera ingat 'Jangan lupa senyum' sehingga ditengah kegugupan ku aku tetap menunjukkan senyum terbaikku.
Aku hanya bisa menundukan kepala, dengan mencengram kuat pinggiran nampan, agar tidak bergetar karena tubuhku yang terus berhianat, sehingga bergetar semakin kencang.
"Minum dulu Mas," ucapku dengan wajah terus menunduk. Aku merasa semua tamu yang datang tengah melihat kearahku. Mana berani aku mengangkat kepalaku, karena aku tidak percaya diri dengan tatapan orang- orang.
"Tuhan, apakah seperti ini rasanya mau jadi manten?"
Seperti ini kira-kira gambaran situasi yang terjadi antara Mbak Lidi dan Om Duda
#Kenapa Mbak Lidi dan Om Duda yang mau jadi maten othor yang deg-degaan....
...****************...
Sembari nunggu SAH mampir yuk ke novel bestie othor dijamin bikin baper...