NovelToon NovelToon
GrayDarkness

GrayDarkness

Status: tamat
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Tamat / Iblis / Romansa / Light Novel
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate. Dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya. Bagaimana perjalanan Gray untuk menjadi dewa dalam dunia fantasi yang dipenuhi bahaya dan kekuatan sihir ini akan berjalan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

001- Awal Tragedi

Matahari terik membakar jalanan kota Rustgrave, menyinari setiap sudut lorong kotor dan bangunan reyot yang seakan menjerit minta dirobohkan. Kota ini bukan tempat bagi mereka yang lemah—hanya yang cukup tangguh yang bisa bertahan.

Di salah satu gang sempit, seorang bocah laki-laki berambut hitam legam duduk bersandar pada dinding bata yang dipenuhi coretan. Bajunya kumuh, robek di beberapa bagian, dan tubuhnya kurus kering seperti sudah lama tidak mendapatkan makanan yang layak.

Gray. Itu namanya.

Perutnya mengeluarkan suara keroncongan yang sudah biasa ia dengar. Sudah tiga hari ia tidak makan apa pun, dan tubuhnya semakin melemah. Namun, kelaparan bukan lagi sesuatu yang membuatnya panik. Itu sudah menjadi bagian dari hidupnya di Rustgrave.

"Ah… hari yang indah," gumamnya, sarkastik. Suaranya nyaris tidak terdengar, tenggorokannya kering seperti pasir yang tersapu angin.

Dengan sisa tenaga, ia memaksa dirinya berdiri. Lututnya gemetar, tapi ia tidak punya pilihan. Jika tetap diam di sini, ia hanya akan mati kelaparan. Langkahnya goyah saat ia berjalan keluar dari bayangan gang menuju jalan yang diterangi cahaya matahari. Jalanan dipenuhi orang-orang, sebagian besar sibuk dengan urusan mereka sendiri, tidak ada yang peduli dengan bocah kurus yang berdiri di tepi trotoar.

Ia menggelar kain lusuh di depannya dan duduk bersila, menunggu seseorang melemparkan koin atau makanan. Namun, Rustgrave bukan tempat yang penuh belas kasih. Orang-orang yang lewat hanya melirik sekilas sebelum kembali berjalan, seakan keberadaannya tidak lebih dari sekadar debu di jalanan.

Matanya mengamati sekeliling. Ia melihat keluarga kecil berjalan bersama—ayah, ibu, dan anak mereka yang sebaya dengannya. Mereka tertawa, berbicara, menikmati kebersamaan mereka.

Gray tidak iri. Tapi ia juga tidak bisa mengingkari perasaan kosong yang menggerogoti dadanya.

Di dekatnya, anak-anak lain yang bernasib sama duduk bergerombol, berbagi makanan yang mereka dapatkan. Dulu, Gray pernah mencoba bergabung dengan mereka, tapi kepercayaan adalah barang langka di kota ini. Saat ia tertidur, mereka mengambil semua yang ia punya, meninggalkannya tanpa apa pun.

Sejak itu, ia memilih sendiri.

Hidup di Rustgrave bukan hanya soal bertahan dari kelaparan. Kejahatan ada di mana-mana. Pencurian, pembunuhan, pemerasan—itu semua bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang akan menolong jika seseorang tertusuk di jalan, tidak ada yang akan peduli jika seorang anak menghilang.

Gray menarik napas panjang. Tidak ada gunanya mengeluh. Jika ia ingin bertahan hidup, ia harus menemukan cara. Dengan tekad yang masih tersisa, ia bangkit dan melangkah pergi, meninggalkan kain lusuhnya yang tetap kosong.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia harus mencari cara untuk tetap hidup.

Matahari masih terik, membakar jalanan berbatu Rustgrave yang dipenuhi debu dan sampah. Gray berjalan perlahan, tubuhnya masih lemah setelah berhari-hari tanpa makanan. Langkahnya berat, tapi ia tidak bisa menyerah. Jika ia tetap diam di gang kotor itu, kelaparan akan membunuhnya lebih cepat daripada kejamnya kota ini.

Ia menyusuri jalanan sempit, matanya menelusuri setiap sudut mencari sesuatu yang bisa dimakan—sisa roti, buah busuk, atau bahkan tulang dengan sedikit daging tersisa.

Di depan sebuah kedai, seorang pria gemuk membuang piring kotor ke belakang toko. Gray melihatnya dengan penuh harap. Ia bergegas ke tempat sampah itu, tangannya gemetar saat mengorek isinya. Ada beberapa tulang ayam dengan sedikit sisa daging, dan tanpa ragu, ia mengambilnya.

"Hei, bocah! Apa yang kau lakukan?!"

Suara keras itu datang dari seorang pria bertubuh besar, pelayan kedai yang melihatnya mencuri dari tempat sampah mereka.

Gray tak punya waktu untuk berpikir. Dengan tulang ayam dalam genggaman, ia berbalik dan berlari secepat mungkin.

"DASAR PENCURI!"

Pria itu mengejarnya, tapi Gray sudah terbiasa berlari. Kakinya melangkah cepat melewati gang-gang sempit, melompati tumpukan sampah, menyelinap di antara celah tembok bangunan.

Darahnya berdegup kencang. Napasnya berat. Tapi ini bukan pertama kalinya ia harus lari demi makanan.

Setelah beberapa tikungan, ia akhirnya berhenti di gang buntu. Dadanya naik turun, keringat mengalir di pelipisnya.

Ia melihat ke tangannya—tulang ayam itu masih ada. Ia duduk di tanah dan mulai menggigit sisa-sisa daging yang menempel, meskipun sudah dingin dan keras. Tidak peduli. Ini tetap makanan.

Setiap gigitan terasa seperti sedikit kehidupan kembali ke tubuhnya. Tapi itu tidak cukup. Ia masih lapar.

Gray menatap ke langit yang biru tanpa awan. Di kota ini, orang-orang seperti dirinya tak punya tempat. Hanya ada dua pilihan: bertahan atau mati.

Dan ia memilih bertahan.

Gray masih duduk di gang buntu itu, menggigiti tulang ayam yang hampir tak tersisa. Giginya mengikis sisa-sisa daging yang menempel, bahkan mencoba menggigit bagian ujung tulang untuk mencari sumsum di dalamnya. Tapi tetap saja, itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa lapar yang menggerogoti tubuhnya.

Ia menghela napas panjang, menatap jalanan yang panas dan berdebu. Ia tahu harus segera bergerak. Berdiam diri terlalu lama di tempat yang sama hanya akan membuatnya menjadi sasaran empuk bagi mereka yang lebih kuat.

Dengan sisa tenaga, Gray berdiri dan keluar dari gang. Di jalan utama Rustgrave, keramaian masih berlangsung seperti biasa. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa pedagang berteriak menawarkan barang dagangan mereka. Di antara kerumunan, ada juga pencopet yang lihai, orang-orang miskin yang mengemis, dan penguasa jalanan yang tak segan-segan menggunakan kekerasan.

Gray menelan ludah. Jika ia ingin bertahan, ia harus menemukan cara lain untuk mendapatkan makanan.

Ia melihat seorang pria tua yang duduk di sudut jalan, menggenggam semangkuk sup hangat. Aromanya membuat perut Gray semakin melilit. Ia mendekati pria itu dengan langkah pelan, matanya tertuju pada mangkuk di tangannya.

“Pak… bolehkah aku minta sedikit?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Pria tua itu menoleh, menatap Gray dengan ekspresi kosong. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil sesendok sup dan menyeruputnya sendiri, seolah-olah Gray tidak ada.

Gray menggigit bibirnya. Ia sudah terbiasa dengan penolakan. Namun, ia tetap berdiri di sana, berharap pria itu akan berubah pikiran.

Beberapa detik berlalu. Pria itu meletakkan sendoknya, menatap Gray dengan mata tajam.

“Pergi.”

Satu kata, namun cukup untuk menusuk hati Gray lebih dalam daripada kelaparan yang ia rasakan.

Ia mundur perlahan, lalu berbalik dan pergi. Ia tidak marah. Tidak juga sedih. Ia sudah kebal terhadap sikap seperti itu.

Namun, yang membuatnya lebih frustasi adalah kenyataan bahwa ia masih harus mencari makanan.

Lalu matanya tertuju pada sebuah kedai roti di seberang jalan. Di depan kedai itu, seorang anak kecil menggenggam sepotong roti besar, menggigitnya dengan wajah bahagia.

Gray menelan ludah.

Ia tahu bahwa jika ingin bertahan hidup di kota ini, ia harus melakukan sesuatu yang berisiko.

Ia mengepalkan tangannya.

Ia harus mencuri lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!