"Aku pikir kamu sahabatku, rumah keduaku, dan orang yang paling aku percayai di dunia ini...tapi ternyata aku salah, Ra. Kamu jahat sama aku!" bentak Sarah, matanya berkaca-kaca.
"Please, maafin aku Sar, aku khilaf, aku nyesel. Tolong maafin aku," ucap Clara, suaranya bergetar.
Tangan Clara terulur, ingin meraih tangan Sarah, namun langsung ditepis kasar.
"Terlambat. Maafmu udah nggak berarti lagi, Ra. Sekalipun kamu sujud di bawah kakiku, semuanya nggak akan berubah. Kamu udah nusuk aku dari belakang!" teriak Sarah, wajahnya memerah menahan amarah.
"Kamu jahat!" desis Sarah, suaranya bergetar.
"Maafin aku, Sar," bisik Clara, suaranya teredam.
***
Mereka adalah segalanya satu sama lain—persahabatan telah terjalin erat sejak memasuki bangku kuliah. Namun, badai masalah mulai menghampiri, mengguncang fondasi hubungan yang tampak tak tergoyahkan itu. Ketika pengkhianatan dan rasa bersalah melibatkan keduanya, mampukah Clara dan Sarah mempertahankan ikatan yang pernah begitu kuat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5. Perasaan Lein
Kuliah sesi kedua mereka hari ini akhirnya rampung. Sebelumnya Sarah mengatakan kepada Clara untuk akan bertemu dengan Lein, temannya terlebih dahulu sebelum pulang.
Clara duduk menunggu Sarah di kursi panjang dekat gerbang keluar. Ia merasa sangat bosan, karena dari tadi Sarah tidak juga kembali.
Banyak sudah mahasiswi lain yang menyapa dan mengajaknya pulang, tapi Clara yang sudah terbiasa setiap hari pulang pergi dengan Sarah menolak ajakan mereka.
Sementara itu di tempat lain terlihat Sarah sedang bicara berdua dengan teman laki-lakinya, Lein di perpustakaan kampus.
"Sar, ehm, kamu bisa kan ikut sama aku lusa? Please Sar, aku nggak punya cewek dan di acara itu harus bawa pasangan. Kamu mau kan ikut aku? Please," pinta Lein pada Sarah.
Ia sebenarnya agak ragu mengajak Sarah, tapi aturan acara itu memang mewajibkan membawa pasangan. Bingung juga sih, soalnya Lein nggak punya pacar, dan Sarah adalah satu-satunya teman perempuan yang dekat dengannya.
Sarah mendengus, menggeleng pelan sambil memegangi kepalanya. "Haduh, kamu ngapain sih pakai ikut acara kayak gini segala? terus aku lagi yang harus direpotin!" gerutunya, sedikit kesal.
Lein cengengesan, jari-jarinya menggaruk kulit kepala yang sebenarnya tak gatal. Tiba-tiba, ia meraih tangan Sarah. Sarah terperanjat.
"Hehe, awalnya aku cuma iseng ikut komunitas itu. Eh, sekarang setelah tanda tangan kontrak, aku mau keluar nggak bisa. Aku udah terlanjur masuk.
Please, Sar, mau ya, temenin aku," ujar Lein, membujuk Sarah dengan nada sedikit merengek. Lein terus mencoba meyakinkan Sarah untuk ikut bersamanya ke acara yang diselenggarakan komunitas tersebut
Sebenarnya bisa saja bagi Lein untuk tidak datang. Tapi resiko dari itu juga lumayan merepotkan. Ia harus membayar denda sebesar 3 juta dan minta maaf ke semua pemimpin komunitas.
Akhirnya ia putar otak dan teringat dengan Sarah. Ia membujuk Sarah untuk mau ikut bersamanya, meskipun ia ragu jika Sarah mau ikut bersamanya.
"Kamu tuh ya, kalau ada apa-apa mesti libatin aku!" seru Sarah, wajahnya mengerut kesal, jari telunjuknya menunjuk ke arah Lein.
"Maaf Sar, kali ini aja ya, please," pinta Lein.
Sarah berdecak lagi. "Terus di sana nanti aku harus pura-pura jadi pacar kamu gitu?" tanyanya, agak terpaksa.
Lein mengangguk. "Iya, tapi kalau mau jadi pacar beneran juga nggak papa sih. Aku kan suka sama kamu," katanya tanpa sadar.
Merasa keceplosan, Lein langsung menutup mulut, pipinya memerah malu.
"Masih aja ya?" Sarah menghela napas, tangannya terangkat untuk menyentuh pelipis. Kepalanya menggeleng-geleng kecil, seakan tak percaya.
Lein meraih tangan Sarah, kali ini dengan sengaja. Tatapannya serius, dalam, seakan ingin membaca isi hati Sarah yang masih enggan bertemu pandang. Sarah pun akhirnya menoleh, bertemu dengan tatapan Lein.
"Aku kan udah pernah bilang sama kamu kalau aku suka sama kamu dan berharap kamu mau jadi pacar aku. Tapi kamu selalu nolak, Sar. Kamu selalu bilang kalau lebih nyaman sendiri daripada punya pacar.
Ayolah Sar, tunggu apa lagi? apa yang kurang dari aku sampai kamu terus nolak aku? aku akan lakuin apapun kalau kamu mau nerima cinta aku," kata Lein dengan tulus.
Berharap pengungkapan perasaannya kali ini akan dibalas oleh Sarah dan ia pulang nanti sudah resmi menjadi pacar Sarah. Tapi itu masih menjadi teka-teki. Isi kepala Sarah tidak ada yang tahu.
Sarah menatap dalam pria di hadapannya. Bukan tatapan cinta atau perasaan yang sama seperti yang Lein berikan kepadanya. Tapi lebih tepatnya tatapan iba.
Sudah berulang kali Lein menyatakan cinta kepadanya dan memintanya menjadi kekasihnya. Tapi ia selalu menolak dengan alasan yang sama, yaitu lebih nyaman sendiri dan ingin mengejar cita-citanya.
Sarah mengira jika Lein sudah melupakan perasaannya kepadanya dan menyukai wanita lain. Tapi ternyata tidak. Pria tampan berdarah Inggris-Indonesia di depannya ini masih menyukainya.
"Aku ngerti kamu cinta sama aku. Tapi masalahnya aku nggak ada perasaan apapun sama kamu. Aku murni cuma nganggap kamu sahabat aku sama kayak Clara. Kamu baik sama aku, peduli dan perhatian. Tapi maaf, aku nggak ngerasain apapun saat sama kamu selain rasa sayang sebagai sahabat.
Aku masih mau mengejar cita-citaku dan bebas melakukan apapun yang aku mau. Aku juga masih mau membahagiakan kedua orang tuaku, jadi untuk urusan pasangan aku pikir belakangan. Maaf, Lein," jelas Sarah, suaranya lembut namun tegas.
Ia paham ucapannya pasti menyakitkan Lein, tapi jujur lebih baik daripada memberi harapan palsu. Biar Lein bahagia dengan pilihannya, bukan dengan dirinya. Sarah menarik napas panjang, setelah selesai berbicara.
Lein terus menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Sarah. Tangannya masih erat menggenggam tangan Sarah, dan Sarah pun tak berniat melepaskan genggaman itu. Hangatnya terasa nyaman, dan Sarah menyadari hal itu.
"Apa kamu nggak ada perasaan cinta sama aku, Sar? Sedikitpun?" tanya Lein, suaranya sedikit terengah-engah. Tatapan matanya masih serius, dalam, seakan ingin menembus kedalaman jiwa Sarah.
Sarah hanya diam, menatap Lein tanpa berkedip. Lein pun membalas tatapannya, berharap menemukan secercah harapan di balik sorot mata Sarah. Namun, Sarah hanya menggeleng pelan dan mengalihkan pandangannya.
Ia melepaskan tangan Lein yang menggenggam tangannya dengan lembut, seolah tak ingin menyakiti hati Lein lebih jauh.
"Maaf, Lein," kata Sarah, suaranya terdengar lirih, "aku nggak bisa membalas perasaanmu." Kalimat Sarah terdengar tegas, namun tetap dibalut kelembutan, seolah ingin meringankan beban di hati Lein. Tapi kenyataannya ia justru menyakitinya.
Lein terperanjat, tentu saja. Ia sudah menduga Sarah akan bicara seperti itu, tapi tetap saja, mendengarnya langsung terasa menusuk. Hati Lein sakit, pedih. Matanya berkaca-kaca karena penolakan Sarah yang kembali ia terima.
Ia berbalik, memunggungi Sarah. Tanpa menoleh, suaranya dingin, “Lusa aku jemput di rumah, ya. Kita berangkat setelah Ashar.”
Sarah merasakan betapa dinginnya suara Lein, dan rasa bersalah pun membebani hatinya. Ia telah kembali mematahkan hati Lein. Tapi, jujur, Sarah belum siap menjalin hubungan dengan siapa pun. Ia ingin sukses dulu, ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dahulu.
Lein pergi begitu saja setelah mengatakan itu, tanpa mengajak Sarah untuk keluar bersamanya. Sarah masih terpaku di tempat, termenung, hingga tersadar bahwa dirinya sudah terlalu lama di sana. Ia pun bergegas pergi.
Sesampainya di gerbang, ia mendapati Clara duduk sendirian, tampak mengangguk-angguk seperti mengantuk. Sarah menghampirinya.
"Ra, maaf ya, agak lama," ujar Sarah lembut. Clara, yang memang mengantuk, langsung tersentak dan menoleh. Senyum manis mengembang di bibirnya seraya berdiri.
"Nggak masalah kok. Yuk kita pulang!" jawab Clara. Sarah mengangguk. Clara pun memesan taksi online, dan mereka pulang bersama.
Bersambung ...