“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A ~ Bab 21
Ayah ... Dhien rindu.
......................
“Punya awak lah, Bang! Kalau tak, mana mungkin berani menjualnya!” jawabnya begitu menyakinkan.
“Tapi, mengapa tak dipakaikan lonceng?”
Dhien menatap sekilas sosok laki-laki berkaos singlet serta bawahan celana selutut. “Gatal-gatal macam kurap nya bila dikalungkan bunyi-bunyian, makanya tak mengenakan tanda pengenal.”
“Alasanmu kurang menyakinkan, tapi masih masuk di akal.” Lalu dirinya dan ketiga anak buahnya mulai memeriksa dua ekor Lembu betina.
“Ayo kita bahas soal harganya!”
Dhien mengikuti juragan Lembu tadi, masuk ke dalam ruangan tidak berapa luas tanpa sekat, duduk di kursi kayu yang terdapat meja kerja.
Sang juragan membuka laci terkunci, mengambil kantong kresek hitam dan mengeluarkan segepok uang, menghitungnya dengan teliti.
“Awak hanya berani menghargai segini!” Menyodorkan dua ikat uang ke Dhien.
“Yakin cuma dibeli dengan harga segitu?” Alis Dhien hampir menyatu, menatap sinis.
“Maaf, tapi memang harga jual Lembu sedang turun.”
Dhien berdiri, lalu dirinya menggebrak meja.
BRAK.
“Astagaaa … apa-apaan kau ni! Hampir copot jantungku!” ujarnya terkejut sambil memegang dada.
“Kalau hendak menipu ku, ya jangan mencolok kali lah, Bang! Tak nya kalian tengok, kalau dua ekor Lembu tu sedang bunting? Rasanya mustahil sih bila tak menyadarinya, sebab tadi Abang dan lainnya sibuk meraba perut dan saling melempar pandang … betul ‘kan?” Dhien tersenyum puas kala melihat raut kikuk sang juragan.
“Sekarang aku percaya kalau tu hewan memang milikmu!” Kembali dirinya mengambil uang dan memberikannya kepada sosok wanita berwajah cantik, tetapi memiliki tatapan setajam silet.
“Ku rasa ini sudah pas.”
Dhien mengambil lembaran uang yang terlihat tebal itu. “Tunggu sebentar! Biar ku hitung betul dulu, siapa tahu tumpukan duit ni dicampur kertas.”
“Astagaa. Tak nya mungkin ku menipu wanita galak macam kau ni, Dek! Cari perkara saja tu namanya,” ujarnya terlihat pasrah, duduk kembali di kursinya.
Setelah memastikan jumlahnya sesuai keinginan, Dhien langsung memasukkan uang tadi ke dalam tas, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan tiga lembar rupiah berwarna hijau bergambar Orang Utan.
“Ni … ku kasih bonus buat Abang dan lainnya! Anggap saja untuk beli pisau cukur, babat tu bulu ketiak kalian yang rimbunnya macam pohon beringin!” Setelahnya Dhien pamit undur diri, berjalan santai sambil bersiul riang.
“Tadi tu betulan perempuan atau wanita jadi-jadian, Gan?” tanya salah satu anak buah si juragan, yang sedari tadi memperhatikan.
“Entahlah! Tapi, cukup sekali ini saja aku berurusan dengan orang macam nya tu, kalau keseringan, bisa punya penyakit jantung nanti!”
“Ni ambil! Beli pisau cukur sana!” Juragan menyerahkan uang pemberian Dhien.
“Hebat betul ya, baru kali ada yang ngasih bonus ke Juragan. Mana uang gambar Monyet lagi, dia tak bermaksud menyindir kita ‘kan?”
“Kurang ajar kau? Berani betul menyamakan ku dengan Mawas!”
“Bukan salah kami, Gan! Cuma menyampaikan tuduhan saja!” Kedua anak buah si juragan pun lari tunggang-langgang.
.
.
Dhien kembali menempuh perjalanan panjang, dirinya tidak melewati rute tadi, tapi mengambil jalur naik dan turun bukit, sesekali berhenti memetik bunga liar, dan mengikatnya menggunakan rumput.
Hampir tidak ada berhenti untuk istirahat, kini sosoknya telah memasuki area pemakaman umum, berjalan pelan sambil sesekali menyeka keringat di pelipis, baju bagian punggungnya basah sudah.
“Assalamualaikum Ayah. Lihat lah, apa yang Dhien bawa! Satu ikat bunga teruntuk orang tersayang.” Diletakkan nya bunga tadi tepat di pusara bapaknya.
“Yah, ternyata dunia tak seindah kelihatannya ya, lukisan awan hanyalah hiasan semata, alam pun cuma sebagai pelengkap, sedangkan semesta terlalu jahat bagi diri ini yang hanyalah seonggok daging bernyawa tak diakui!"
“Hanya untuk bertahan hidup, dan membuktikan bahwa bukan wanita pembawa sial, Dhien harus melewati jalan semak berduri, berdiri di antara pilihan hidup dan mati, wajib waspada agar tak salah langkah, selalu hati-hati supaya tak mati sia-sia!"
“Apa memang harus sekejam tu jalan yang harus Dhien lalui, Yah? Tak adakah sedikit saja bahagia walaupun hanya sebutir padi? Terkadang diri ni sampai lupa bila berjenis kelamin wanita, sebab terlalu kasar pekerjaan yang ditekuni.”
“Ayah … apa betul bila rupa kita sama? Rambut keriting ni pun keturunan dari Ayah? Tapi, mengapa tak sekalipun datang ke mimpi Dhien? Anakmu ni tak sekuat batu karang Yah! Nya hanya pura-pura tangguh agar tak mudah ditindas!"
“Tahukah engkau Yah, bila setiap tanggal ulang tahun serta kematian Ayah, Emak selalu menangis sambil memeluk baju satu-satunya peninggalan mu, bila sudah macam tu, Dhien lah yang sibuk menghibur nya, setelahnya kebingungan sendiri bagaimana caranya menenangkan perasaan yang berkecamuk!”
Wanita berkaos longgar dan dibalut lagi dengan kemeja panjang itu terlihat merentangkan kedua tangan, pipinya ia tempelkan pada gundukan tanah, posisinya seperti memeluk sosok orang terkasih, ia sedang melepaskan rindu sekaligus berkeluh kesah.
.
.
“Tahu tak, Kak? Tadi ada yang menanyai tentang Bapak Abdul Siddiq, apa tu nama ayah, Kak Tia?” Danang bertanya sambil memperhatikan joran pancingnya.
Meutia yang duduk di batang kayu menjulur ke arah sungai itu, segera menolehkan wajahnya menatap Danang. “Siapa? Terus kalian jawab apa?”
“Gara-gara si Budi, kami jadi tak pintar! Jadi jawab tak tahu lah Kak. Lagian mengapa nya tak nanya nama Bang Agam, Kak Wahyuni atau Kak Meutia, malah bertanya sosok yang sudah tiada,” Ayek ikut menimpali.
“Biarkan sajalah! Kalau lain kali ada yang tanya lagi macam tu, tunjukkan saja rumah di bawah pohon beringin!”
“Kak Tia, kenapa tak pernah kelihatan sedih walaupun sudah kehilangan sosok seorang ayah?” tanya Rizal lirih.
“Hidup ni cuma sekali, daripada bersedih lebih baik happy!”
“Apa tu happy?” tanya Danang yang memiliki keingintahuan besar.
“Artinya senang. Jadi, macam memilih bahagia dan senang selalu daripada bersedih!” jawab Nirma yang sama-sama duduk di pohon dengan kaki hampir menyentuh air.
“Makanya belajar yang rajin, supaya tak bodoh terus!” Meutia berkata sinis.
Ayek mencebik sambil menggeleng kepala. “Malas lah! Banyak kali tugas kami, jadi berkurang lah waktu bermainnya! Baru saja pintar menulis angka yang macam Burung terbang, Bebek, Mamak hamil … malah ditambah belajar bahasa luar angkasa, cepat tua kami nanti, Kak!”
"Eh … loo, pancingnya dibawa ikan, Tia!” Nirma berteriak kala joran yang dia pegang jatuh ke air dan bergerak cepat.
"Memang PAOK kau, Nirma! Harusnya pegang erat-erat! Bukannya sibuk melinting rambut teros! Cepat kejar tu pancingnya, sepertinya ikan besar yang menyambar!” Meutia sudah duduk tegak.
“Macam mana caranya?!” Nirma panik bukan main.
“Terjun lah kau!”
“Tapi aku tak pandai berenang, Tia?” Nirma malah berpegangan erat pada batang pohon.
“Tak apa, ada aku! Palingan kubiarkan sebentar dirimu tenggelam biar macam Ikan Buntal, baru ku tolong! Cepat melompat, Nirma!”
“PAOK! Siapa yang menggoyang pohonnya?!”
BYUR.
Bukan cuma Nirma yang terjatuh, semuanya ikutan tercebur.
***
“Nek … Lembu kita ada yang tak pulang, sudah lelah kami mencarinya! Tapi, tetap nihil hasilnya!” Zulham mengatur napasnya, dirinya berlari kencang menyusuri jalan setapak perkebunan karet, agar lebih cepat sampai rumah.
“Bagaimana bisa?!” Nek Blet sampai berdiri dari kursi goyang rotan.
.
.
Bersambung.
semangaat Dhien doaku meyertaimu
tar kembali lagi skalian bawa tiker sm kupi , klo dh End yak. 🤩😘🤗