"Kulihat-lihat, Om sudah menua, apakah Om masih sanggup untuk malam pertama?" ucap Haura menatap Kaisar dengan senyum sinis.
Kaisar berjalan ke arah Haura dan menekan gadis itu ke tembok. "Harusnya saya yang nanya, kamu sanggup berapa ronde?"
-
Karena batal menikah dengan William, cucu dari konglomerat terkenal akibat perselingkuhan William. Haura Laudya Zavira, harus menerima dijodohkan dengan anggota keluarga lain yaitu Om dari William, atas dasar kerjasama keluarganya dan keluarga William.
Tapi siapa sangka, laki-laki yang menggantikan William adalah Kaisar Zachary Zaffan—putra bungsu sang konglomerat, pria dewasa yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Lima
Haura lalu memandang ke arah William dan berkata, "Keluarlah kau dulu! Kau pikirkan kemana saja selisih uang perusahaan ini. Setelah mendapatkan jawaban, kau bisa datang lagi!" usir Haura. Dia tak mau penyakit sang suami kambuh lagi jika terus terbawa emosi.
William masih saja duduk, tak bergeming sedikitpun. Sehingga membuat Haura terbawa emosi. Dia mendekati pria itu dan menarik tangannya hingga terpaksa berdiri.
Haura masih terus menarik tangan William hingga kedepan pintu. Dia lalu membukanya dan mempersilakan mantan kekasihnya itu keluar.
"Keluarlah, William. Aku tak mau mengeluarkan kata-kata kasar!" usir Haura.
Kayla yang melihat calon suaminya diperlakukan kurang pantas mendekati Haura. Tak peduli mereka nantinya akan jadi bahan tontonan.
"Apa-apaan kamu, Ra? Mau berkuasa? Kamu jangan seenaknya! Perusahaan ini juga milik William!" seru Kayla.
Haura tersenyum mendengar ucapan Kayla. Dia kembali mendorong tubuh William agar keluar dari ruangan.
"Baru saja seminggu jadi istrinya Om Kaisar kamu sudah sombong dan ingin menguasai semua. Apa kamu lupa jika William adalah cucu satu-satunya keluarga Wijaya?" tanya Kayla dengan suara yang cukup tinggi.
"Aku tak peduli William anak siapa atau cucu siapa! Jika dia membuat suamiku tertekan, aku berhak menjaganya. Aku hanya melindungi suamiku!" seru Haura dengan ucapan yang penuh penekanan pada setiap kata-katanya.
"Makanya jangan menikah dengan pria depresi. Kau sendiri jadi susah'kan!" seru William.
Mendengar ucapan mantan kekasihnya itu, tangan Haura langsung melayang ke pipi William dengan sangat keras.
Kayla dan karyawan lainnya menatap tak percaya dengan apa yang wanita itu lakukan. Termasuk William. Haura yang dia kenal berhati lembut.
William memegang pipinya yang terasa panas, bekas tamparan wanita itu.
"Berani sekali kau menamparku, Haura!" seru William dengan mata menatap tajam ke arah wanita mantan kekasihnya itu.
"Tentu saja. Demi melindungi suamiku, apa pun akan aku lakukan!"
"Kau keterlaluan, Haura. Kau hanya orang luar yang masuk ke dalam keluarga Wijaya. Jangan sok!" seru Kayla.
"Kau juga harus ingat kedudukanmu, Kayla. Kau hanya calon istri, belum masuk ke keluarga Wijaya. Kalau pun akhirnya kau menikah dengan William, kedudukanmu hanya ponakan. Jadi jaga batasi dan hormati Kaisar sebagai Om!" seru Haura.
Haura tak akan membiarkan suaminya tertekan. Dia akan melindungi dengan cara apa pun. William lalu berbalik dan meninggalkan Haura tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Haura memasuki ruang kerja suaminya, Kaisar, dengan perlahan. Pintu kayu yang berat itu terbuka dengan suara berdecit yang lembut, menggema di dalam ruangan yang dihiasi dengan rak buku besar dan meja kerja yang tertata rapi. Namun, pandangannya segera tertuju pada sosok Kaisar yang duduk di sofa, kepalanya tertunduk seolah beban dunia ada di pundaknya.
"William sudah pergi," kata Haura, suaranya lembut namun tegas. Dia melangkah maju, merasa lega sekaligus khawatir. William, baru saja meninggalkan mereka setelah perdebatan yang cukup sengit. Meskipun ia tidak menyukai William, Haura tidak ingin konflik antara mereka berlarut-larut.
Kaisar mengangkat kepalanya sedikit, dan Haura merasakan rasa sakit yang terukir di wajahnya. "Aku ... merasa pusing," ucap Kaisar pelan, nada suaranya terdengar lemah.
"Apa Mas sudah minum obat?" Haura bertanya, matanya mencerminkan kepedulian yang dalam. Dia tahu betul bahwa suaminya itu sering kali mengabaikan obatnya karena sudah bosan dengan kebiasaannya tersebut.
Kaisar menggelengkan kepala, mengatupkan bibirnya dengan perasaan frustrasi. Dalam keterasingan keheningan, Haura berdiri tegak, hati kecilnya merasakan getaran keresahan. Melihat sosok yang biasanya kuat dan bersemangat kini terlihat rapuh membuatnya tak bisa tinggal diam.
"Aku ambilkan obat Mas dulu," katanya, beranjak menuju meja kerja Kaisar. Dia membuka laci, mencari botol obat anti-depresi yang sering tak pernah diperhatikan suaminya. Sekilas, pandangannya jatuh pada beberapa dokumen tumpuk yang berserakan, seperti tanda betapa tidak teraturnya benak Kaisar saat ini.
Haura mengeluarkan botol kecil itu, menutupnya dengan gerakan cepat. Dia berbalik, dan melihat Kaisar sudah kembali memejamkan mata. Dengan cepat, dia menghampiri suaminya, membawa segelas air putih yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Minum ini, Mas." Haura berkata lembut, sambil menyodorkan obat itu. “Kamu perlu merawat dirimu sendiri, Mas.”
Kaisar membuka matanya, melihat ke arah Haura, dan ada sedikit keraguan di raut wajahnya. "Tapi ... aku tidak suka bergantung pada obat-obatan lagi," ucapnya, suaranya meredup seperti senja yang pudar.
“Kadang kita butuh bantuan, Mas,” jawab Haura tegas namun lembut. “Itu bukan kelemahan. Aku ingin kamu merasa lebih baik. Selalu.”
Dengan napas dalam, Kaisar akhirnya menerima obat tersebut. Dia meneguknya bersamaan dengan air yang Haura siapkan. Rasa pahit dari pil itu terasa di lidahnya, tetapi dia tahu itu adalah pengorbanan kecil untuk meraih ketenangan dalam hatinya.
Setelah minum, Haura duduk di samping Kaisar di sofa yang empuk itu. Dia merangkul suaminya, membiarkan kepala Kaisar bersandar di pundaknya. Perasaan hangat menjalari seluruh tubuhnya, dan dia merasa seakan-akan bisa menyerap semua kesedihan yang dipendamnya.
Kamu tahu, kadang aku merasa seolah semuanya terlalu berat untuk ditanggung,” suara Kaisar bergetar, saat ia membiarkan diri terjerembab dalam kehangatan luar biasa dari pelukan Haura. “Aku tidak ingin kamu terjebak dalam semua ini.”
“Aku sudah memilih untuk bersamamu, Mas,” Haura menegaskan. “Semua yang kamu jalani, itu juga jalanku. Kita sudah menjadi satu kesatuan. Jadi, jangan pernah merasa harus menghadapi semuanya sendirian.”
Kaisar menatap wajah Haura, melihat ketulusan di sana. “Tapi aku tidak ingin membebani hidupmu, Ra,” kata Kaisar lagi, kali ini suaranya lebih lembut, penuh kerentanan.
“Tapi kita sudah menjadi suami istri, Mas. Kita harus saling mendukung,” Haura menjawab, menundukkan kepalanya agar bisa menatap mata suaminya. “Setiap kali kamu jatuh, aku ingin menjadi orang pertama yang membangunkan'mu.”
Kaisar tersenyum tipis, auranya perlahan berubah. “Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Sekalipun saat-saat tersulit. Kenapa kamu selalu bisa seperti itu?”
Haura tertawa kecil, hatinya hangat. “Entahlah, mungkin karena aku sudah terlatih menghadapi kehidupan yang sulit, Mas,” ujarnya sambil menyenggol pundak Kaisar dengan bercanda.
Kaisar tertawa, suaranya terdengar lebih ceria. “Mungkin kamu bisa mempertimbangkan untuk menjadi konsultan psikolog dengan semua pengalamanmu ini.”
“Ha! Kapan-kapan saja, Mas. Yang ku'perlu saat ini hanyalah suami yang cukup sehat untuk diajak ngobrol." Haura menjawab sambil melepaskan pelukan, sedikit memberi jarak untuk bisa menatap Kaisar secara langsung.
“Baiklah, aku berjanji akan lebih memperhatikan diriku sendiri.” Kaisar menyentuh pipi Haura pelan. “Makasih, Sayang.”
Dia merasa seolah beban di kepalanya sedikit berkurang. Kekuatan Haura selalu berhasil menerangi jalannya yang suram. “Kamu tahu, aku menyayangi'mu lebih dari yang bisa kamu bayangkan, bahkan saat aku sangat lelah.”
“Dan aku juga menyayangi'mu lebih dari semuanya, meskipun saat kamu melawan sakit'mu,” jawab Haura, matanya berbinar penuh ketulusan.
Kaisar mengangguk, merasakan aliran kasih sayang yang tak terlukiskan. Waktu seolah berhenti saat mereka saling melihat satu sama lain, dua jiwa yang terhubung dalam jalinan kasih yang indah.
sakit banget gak tuh 😃
Ketawa jahara achhh 😂😂😂
udah tuh labrak Angel
hih.....