Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halimah POV
"Dik, aku ingin kita berpisah." Ku hentikan aktivitas mengelap meja.
"Kenapa, Mas? Apa aku sudah membuat kesalahan yang fatal?" Kembali ku ingat aktivitas sehari-hari, barangkali ada kesalahan yang tak sengaja kulakukan.
"Kau adalah perempuan yang sangat baik dan sempurna," Aku terhenyak mendengar penjelasannya.
"Jika aku baik kenapa kau ingin berpisah denganku?" Ku gebrak meja dengan emosi. Kau boleh bercanda apa saja, Mas. Tapi bukan perihal ini.
"Karena aku tak pernah mencintaimu" Cih, entah siapa yang ingin ku tertawakan sekarang. Tak cinta? Lalu selama ini apa? Perlakuan lembutnya terhadapku, tanggung jawabnya membimbing kami di jalan Allah, semangatnya untuk menafkahi kami, semua tentangnya yang aku fikir di sembahkan atas nama cinta. Namun dia bilang tak cinta?
Susah payah ku tahan air mata. Mengusapnya kasar, lalu berlalu meninggalkannya.
Bagaimanapun juga aku adalah perempuan. Hatiku rapuh mendengar pengakuannya, pertahananku runtuh, dan hatiku terkoyak.
Kenapa Mas? Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa harus menunggu lima tahun baru kau bilang tak cinta? Kenapa tidak sedari dulu saat kita awal bertemu. Mungkin perasaanku terhadapmu tak akan sedalam ini.
"Limah ...." Dia menyentuh bahuku lembut.
"Apa ada perempuan lain yang sudah membuatmu jatuh cinta, Mas?"
"Ya." Sungguh satu kata yang diucapkannya bagai ribuan belati yang menusuk jantungku, sakit sekali.
"Lalu apa rencanamu jika kita bercerai?"
"Aku akan menikahinya. Namun aku akan tetap menafkahi mu dan juga anak-anak kita." Ucapnya pongah, seolah dia adalah seorang pahlawan yang sudah menyelamatkan dua orang wanita sekaligus.
"Tidurlah, Mas! Sudah malam. Esok kita pikirkan lagi."
Tak lama terdengar dengkurannya halus, semudah itu ternyata laki-laki tidur.
Ku usap perutku yang membesar, sudah memasuki 8 bulan. Dokter bilang hari perkiraan lahir ku kisaran 40 hari lagi.
Kasian kamu, Nak. Belum juga lahir, ayahmu sudah ingin menikahi perempuan lain.
Kembali ku ingat masa laluku. Ketika ibu pergi dengan selingkuhannya, ayah tetap bertahan merawat ku seorang diri. Merangkap peran sebagai ibu sekaligus tempatku berlindung ketika kehidupan seolah memperlakukanku tak adil.
Aku fikir, setelah dewasa akan kutemukan kebahagiaan yang dulu sirna, nyatanya sama saja.
Sedikitpun mataku tak bisa terpejam. Di sepertiga malam ku ambil wudu, lalu shalat tahajud.
"Rabb, bukan aku kufur terhadap nikmat-Mu, bukan pula aku benci dengan ujian yang datang dari-Mu. Aku hanya meminta kuatkan lah aku ketika bertubi-tubi kau berikan ujian.
Ya Rabb, beri hamba petunjuk bagaimana baiknya hamba kedepannya. Jika perpisahan memang jalan terbaik, kuatkan lah kaki hamba untuk terus menapaki kaki di bumi dan terus mensyukuri nikmat-Mu yang tak pernah putus.
Hamba tak ingin berprasangka buruk kepada-Mu. Hamba yakin, Engkau lebih tau yang terbaik bagi hamba. Maka lapangkan lah dada hamba untuk menerima semua keputusan yang akan terjadi.
Rabb, jika boleh meminta, hamba ingin anak-anak hamba tidak mengalami apa yang hamba alami di masa lalu. _wahai Engkau yang maha membolak balikan hati, condongkan lah kami pada kebaikan"_
***
"Makan, Mas!" Aku sibuk menata masakanku di meja. Sambal goreng kentang plus hati, juga kerupuk udang kesukaan Mas Ridwan.
Aku juga memasak sayur Sop yang dibubuhi baso kecil-kecil kesukaan Jingga anak pertama kami.
"Makan yang banyak ya, Sayang." Jingga bersorak melihatku memasukan makanan kesukaannya ke piring motif nanas miliknya. Piring Jingga sengaja aku bedakan, supaya dia semangat makan karena melihat bentuk piring yang lucu.
"Hum, enak sekali ini." Mas Ridwan menyuap makanan di piringnya dengan lahap.
"Aku akan memasak makanan yang enak-enak untukmu, Mas. Anggap saja hari terakhir aku menjadi istrimu."
"uhuk," dia tersedak seolah kaget. Padahal mungkin hatinya bersorak bahagia.
"Jingga sayang, makannya di ruang Tivi dulu ya, kan ada film kartun kesukaan Jingga." Tak mungkin aku membicarakan perpisahan di depan anakku. Dengan pandainya dia mengekor di belakangku, lalu asyik menghabiskan makanannya di sana.
"Bagaimana keputusanmu, Limah?" Tanya Mas Ridwan dengan mata berbinar. Sepertinya semangat sekali dia ingin berpisah denganku.
"Aku setuju kita berpisah, namun dengan syarat." Lagi, kulihat binar di matanya yang membunuh batinku secara tak langsung.
"Apapun syaratnya akan ku penuhi." Ah, begitu tak pantaskah aku bersanding denganmu, Mas? Sepertinya kau sudah tak sabar hidup tanpaku.
"Beri aku waktu selama 40 hari, Mas. Setidaknya sampai anak kita terlahir ke dunia. Aku ingin dia terlahir memiliki seorang ayah. Dan juga, jangan hubungi perempuan itu selama 40 hari itu. Anggap saja sebagai bentuk kesetiaan terakhirmu kepadaku. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau boleh menikahinya."
"Syarat yang mudah. Aku menyetujuinya. Aku gak akan hubungi dan bertemu dia selama 40 hari ke depan."
"Terima kasih, Mas." 'Terima kasih sudah membuatku cemburu dan tercabik dalam waktu yang bersamaan' batinku.