NovelToon NovelToon
Terjebak Nikah Dengan Dosen Killer

Terjebak Nikah Dengan Dosen Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Beda Usia / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."

Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.

Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Sinar mentari pagi menyusup lewat celah tirai, menyentuh wajah Fajar yang terasa hangat. Rasanya, ia ingin tidur lebih lama, tapi sinar itu mengusiknya, dan perlahan matanya terbuka. Tubuhnya terasa remuk, lelah karena semalam, terutama setelah kejadian yang seharusnya tidak terjadi meski sudah halal. Ada perasaan tak nyaman yang menggelayuti, membuatnya terpaksa tidur di lantai, mengalah demi ketenangan.

Matanya beralih ke Agnes, yang masih terlelap, tampak begitu damai di atas ranjang. Senyum kecil muncul di bibir Fajar saat melihat wajah istrinya yang begitu manis, tenang, dan teduh.

"Pagi, istriku," gumam Fajar, sedikit canggung, sambil tersenyum kecil. Ada perasaan aneh yang menghangatkan hatinya, campuran antara kebingungan dan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.

Fajar merasa sedikit ada perubahan pada dirinya. Kali ini, bersama Agnes, ia merasa bisa tersenyum lepas. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebabnya dan kapan mulainya, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus membuat Agnes tetap bersamanya, meski Agnes mungkin tidak menyukainya. Egois memang, tapi tekadnya sudah bulat.

"Maaf sudah egois. Aku juga nggak tahu kenapa bisa kayak gini. Kamu datang mengusikku, jadi aku akan buat kamu tetap di sini," ucap Fajar.

Setelah lama menatap wajah sang istri, Fajar merasa tenggorokannya kering. Ia segera keluar kamar, bermaksud menuju dapur untuk minum. Namun, bola matanya menangkap kedua orang tua Agnes yang sedang duduk di meja makan dan menatapnya penuh kecurigaan.

"Pa-pagi..." sapa Fajar penuh kecanggungan. Walaupun kini sudah menjadi menantu, Fajar tetap merasa seperti orang asing di keluarga Agnes.

Rahmat dan Fatwa, yang awalnya terkejut dengan sosok orang lain di rumahnya, mulai menyadari bahwa mereka kini memiliki seorang menantu. Wajah penuh kecurigaan mereka pun berubah menjadi lebih biasa.

"Pagi, Fajar," jawab Fatwa sambil menyenggol lengan suaminya agar ikut menyapa dan tersenyum.

Fatwa kembali berkata untuk memecah kecanggungan, "Agnes belum bangun?"

"Emm... itu," Fajar bingung harus panggil ibu Agnes dengan sebutan apa. Jujur saja, karena sibuk mempersiapkan pernikahan mereka, ia sama sekali belum pernah berbicara layaknya keluarga.

Fatwa yang paham, pun menyela, "Panggil saja ayah dan ibu, seperti Agnes memanggil kami."

Fajar tersenyum, merasakan kehangatan keluarga yang selama ini hilang. "Bu, Ayah," panggil Fajar dengan suara sedikit ragu, padahal umurnya sudah cukup matang tapi bersikap konyol seperti ini. "Oh, Agnes masih tidur."

"Hem... anak itu benar-benar ya. Padahal sudah punya suami, kelakuannya kayak masih lajang aja. Biarkan ibu yang bangunin."

Mendengar Fatwa mengomel dan ingin segera membangunkan Agnes, Fajar langsung mencegah, "Nggak usah, Bu. Agnes pasti lelah, makanya bangun kesiangan."

Fatwa dan Rahmat saling melirik, dua orang itu seperti memiliki pemikiran yang sama saat mencerna kalimat yang diucapkan Fajar.

"Bu, sebentar lagi kita bakal jadi kakek-nenek," ucap Rahmat, yang langsung disertai anggukan kepala oleh Fatwa.

Fajar mengusap tengkuknya. Ia tahu kalimatnya sedikit ambigu, jadi disalahartikan oleh mertuanya ini. "Ayah, Ibu... ini..."

Belum sempat Fajar selesai bicara, Fatwa sudah mendekat dan menggiringnya ke kursi sambil tersenyum lebar. "Pasti capek semalam ngurusin anak ibu. Mau minum apa? Susu, jamu, atau yang lain?"

Fajar terdiam sebentar, bingung mau jawab apa, tapi Fatwa sudah pergi lebih dulu, meninggalkan Fajar dan Rahmat yang duduk dalam kecanggungan.

"Fajar," Rahmat membuka pembicaraan, suaranya tenang tapi penuh perhatian. "Ayah dengar kamu dosen pembimbing Agnes, ya?"

Fajar mengangguk pelan, menunggu apa lagi yang akan diucapkan oleh ayah mertuanya.

"Pasti dia memberikan yang terbaik untuk skripsinya. Kalau Agnes sudah fokus sama sesuatu, dia nggak bakal setengah-setengah. Semua tenaganya dia curahkan buat itu," kata Rahmat, tersenyum tipis.

Fajar hanya bisa tersenyum, tapi senyum itu mulai pudar. Ingatannya melayang ke kejadian saat ia menolak judul skripsi Agnes. Kadang ia merasa menyesal, kenapa ia harus menjaga reputasi sebagai dosen killer. Mungkin ia bisa lebih mendukung daripada malah menjadi hambatan.

"Fajar," Rahmat melanjutkan, kali ini nada suaranya lebih dalam. "Titip anak ayah ya."

Fajar menatapnya, merasa perasaan campur aduk. Rahmat menambahkannya, "Ayah tahu pernikahan kalian terjadi bukan karena keinginan kalian berdua, tapi demi menjaga nama baik keluarga. Tapi... meskipun itu terlihat keras, ayah hanya ingin yang terbaik buat Agnes. Ayah minta, jangan pernah sakiti dia. Kalau memang suatu hari nanti kamu nggak bisa terima dia, kembalikan saja ke kami, dan ayah nggak akan menyalahkanmu."

Kata-kata itu membuat Fajar terdiam, meresap dalam hatinya. ia segera menarik sudut bibirnya, "Iya, ayah. aku janji."

Rahmat mulai merasa tenang setelah mendengar jawaban Fajar. Meskipun pernikahan ini terjadi secara mendadak, keyakinannya terhadap Fajar begitu tinggi. Dalam hati, ia percaya bahwa menantu barunya ini mampu membuat Agnes bahagia dan melindunginya sebagaimana dirinya melindungi putrinya selama ini.

Tak lama setelah pembicaraan itu selesai, Fatwa muncul kembali dengan membawa sebotol jamu. Namun, sebelum ia sempat menyerahkannya kepada Fajar, Agnes yang baru saja bangun tidur muncul di ruang makan. Dengan langkah malas dan mata yang masih setengah terpejam, ia menguap lebar sambil meregangkan tubuh, membuat ujung bajunya tersingkap sedikit dan memperlihatkan pusarnya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung memeluk ibunya dengan manja.

Fajar, yang duduk di kursi, terpaku di tempatnya. Tubuhnya mendadak kaku melihat pemandangan itu. Rasa canggung menyergap, sementara otaknya berusaha memahami situasi yang dihadapinya.

Fatwa, yang sudah terbiasa dengan kebiasaan pagi Agnes, hanya tertawa kecil sambil mengusap kepala putrinya. "Kamu tuh kayak anak kecil aja, Agnes. Udah besar, masih aja ngantuk dan manja kayak gini."

Agnes, yang masih dalam pelukan ibunya, menggumam dengan suara serak, "Pagi, Bu... Yah..." Namun, saat matanya sedikit lebih terbuka, ia menyadari ada sosok lain di ruang makan.

Ia mengerjap beberapa kali, mencoba fokus. Pandangannya bertemu dengan Fajar yang duduk diam dengan ekspresi canggung di meja makan. Awalnya, ia hanya menganggap Fajar adalah tamu biasa, tapi kemudian kesadaran mulai menyerangnya.

“Oh, pagi, Pak FA—” ucapannya terhenti di tengah jalan. Wajahnya memucat, lalu memerah seketika. Dengan cepat, Agnes melepaskan pelukannya dari ibunya dan berdiri kaku di tempat. "Ahhh... Ka-kamu?! Sejak kapan kamu di sini?" teriaknya panik, matanya membelalak ke arah Fajar.

Fajar, yang berusaha menahan senyum sekaligus rasa malu, mengusap tengkuknya sambil menjawab pelan, “Sejak tadi... dan, ya, aku melihat semuanya.”

Mendengar itu, wajah Agnes semakin memerah, hampir seperti tomat. Ia buru-buru menarik ujung bajunya yang sempat tersingkap tadi. “Kamu nggak lihat apa-apa, kan?” tanyanya dengan nada setengah memohon.

Fajar hanya tersenyum kecil, menikmati ekspresi istrinya yang gugup. “Ya... kalau aku bilang nggak, kamu percaya?” balasnya sambil mengangkat alis, membuat Agnes semakin panik.

Fatwa, yang menyaksikan adegan itu, tak bisa menahan tawa. "Agnes, santai saja. Fajar itu suamimu, bukan orang lain. Nggak perlu panik begitu," katanya sambil menahan geli.

Namun, ucapan itu justru membuat Agnes semakin ingin menghilang dari situasi itu. Ia mendudukkan dirinya di kursi dengan gerakan kaku, memalingkan wajahnya dari Fajar, dan menggerutu pelan, “Sialan, untung banyak dia...”

1
Hayurapuji
hallo semua, pembaca cerita fajar dan Agnes, yuks beri like dan komentarnya agar autor semakin semangat updatenya. terimakasih sebelumnya 🤗🤗
Hayurapuji
emmmmmm
Ismi Kawai
bagus banget, bikin betah bacanya!!!
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Ismi Kawai
semangat shay ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!