Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Di Dalam Mobil
Aiman memandangi wajah Sabrina yang tampak murung, menatap keluar jendela tanpa berkata-kata. Wajahnya yang sebelumnya ceria kini tampak menyimpan beban yang berat. Aiman diam, membiarkan Sabrina dalam keheningan. Sejatinya, seorang wanita yang sudah menikah memang harus siap untuk dibawa oleh suaminya dari rumah orang tuanya, apapun itu.
Tapi meski begitu, Aiman bisa merasakan bahwa ini bukan hanya tentang kepatuhan. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Sepertinya, bagi Sabrina, kepergian ini bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Perjalanan ini membuatnya merasa berat, dan Aiman mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya membuat istrinya begitu menentang untuk ikut dengannya. Apa alasan yang begitu mendalam hingga Sabrina begitu keras menolak lamarannya?
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Aiman memulai pembicaraan, "Bina, apa alasan sebenarnya kamu begitu keras menolak pergi bersamaku? Dan kenapa kamu tidak ingin menikah denganku?"
Sabrina menghela napas panjang, lalu perlahan menoleh ke arah Aiman. Matanya terlihat basah, seperti sedang menyimpan banyak perasaan yang sulit untuk diungkapkan. "Lo tahu kan, gue anak tunggal? Pasti bapak udah cerita sama Om Ustadz."
Aiman mengangguk, mengingat bahwa memang pernah dibicarakan tentang hal ini sebelumnya, tetapi dia masih belum mengerti sepenuhnya apa yang membuat Sabrina begitu menolak.
Sabrina melanjutkan, suaranya terdengar parau. "Orang tua gue punya hutang di lintah darat, dan itu gak sedikit. Gue sebagai anak tunggal nggak siap ngeliat mamak sama bapak terpuruk. Pekerjaan bapak sebagai tukang petani gak seberapa, itupun cuman mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan gue punya tiga adik yang masih harus sekolah tinggi—Andi masih SMA kelas satu, Miran masih SMP kelas dua, Ridwan masih SD kelas enam—semuanya otomatis butuh biaya dong."
Aiman hanya mengangguk mendengarkan, memperhatikan setiap kata yang keluar dari Sabrina. Lelaki itu terenyuh, tidak hanya terenyuh, tetapi juga merasa berat mendengar cerita ini. Ternyata, di balik sikap keras kepala, kekocakan, dan kenakalan Sabrina, ada sisi yang sangat menyedihkan yang tidak banyak orang ketahui.
Sabrina melanjutkan, suaranya terdengar parau. "Gue sebagai anak tunggal yang udah lulus sekolah sejak usia 17 tahun memutuskan buat kerja. Kerjaan di desa beda sama kota, jadi gue merantau walaupun mamak sama bapak menolak keras. Tapi gue tetap nekat. Awalnya gak mudah, gue tinggal dan cari kerjaan di kota besar. Dan karena salah pergaulan, akhirnya gue terjerumus pada pekerjaan jadi bartender di klub. Tapi lumayan lah gajinya, buat bantu emak sama bapak di kampung. Minimal, uang gaji gue bisa buat bayar sekolah ketiga adik gue."
Aiman mendengarkan setiap kalimat dengan penuh perhatian, merasa semakin terharu dengan tekad yang dimiliki Sabrina. "Gue berprinsip, kalau misalkan gue gak bisa memiliki gelar di belakang nama gue, gak masalah. Yang penting adik-adik gue bisa merasakan jadi sarjana dengan hasil keringat gue."
Sabrina menatap Aiman dalam-dalam. "Gue mau adik-adik gue jadi orang sukses, mengangkat derajat mamak sama bapak gue. Gak masalah gue gak kuliah, yang penting adik-adik gue gak sampai putus sekolah. Itu aja."
Aiman mengangguk sekali lagi, tetapi kali ini sambil tetap mendengarkan dengan seksama. "Makanya, kamu lebih memilih gak mau menikah hanya karena itu saja?"
Sabrina menggigit bibirnya, dan perlahan menjawab, "Ya, karena gue yakin kalau gue nikah, gue gak bakal bisa bantu orang tua gue lagi. Logikanya, gue pasti gak boleh bekerja dong. Sedangkan kalau gue gak kerja, gimana gue bantu keuangan mamak sama bapak? Gue gak sejahat itu, tinggalin orang tua gue demi pernikahan yang seberapa? Walaupun gue menginginkannya, tapi ada yang lebih penting dari pernikahan—melunasi hutang mamak sama bapak."
Mata Sabrina mulai memerah. Aiman melihat tetesan air mata perlahan jatuh di pipi istrinya. Nafasnya terdengar memberat, seolah menahan semua beban yang selama ini ia pikul seorang diri.
Aiman terdiam, membiarkan kata-kata Sabrina meresap ke dalam dirinya. Lelaki itu benar-benar terenyuh mendengar perjuangan dan ketegaran Sabrina, meski wajahnya terlihat kuat, hatinya tak pernah bisa sepenuhnya tenang dengan apa yang dialami istrinya.
"Bina," Aiman memulai dengan suara lembut, "tapi kerja seperti itu juga gak baik, kamu tahu itu kan?"
Sabrina menghela napas panjang, seolah menahan emosi yang meledak. "Gue tahu itu salah, terus gue harus apa? Gue tergiur dengan gaji yang lumayan gede, karena emang niatnya buat bantu mamak sama bapak di kampung. Gue rela gak makan sehari demi uang yang bisa gue tabung buat kirim ke mereka."
"Gue...hikss...gue tahu gue terlalu lebay buat ceritain semua ini, tapi hiksss...memang begini perjalanan hidup gue. Jauh dari kata baik-baik," ujarnya dengan suara serak, semakin terbuka tentang apa yang selama ini disimpannya.
"Gue kerja mulai malam sampai dini hari. Memang gajinya gak seberapa, tapi bagi gue lumayan buat kirim semua ke mamak sama bapak agar mereka gak keteteran lagi," tambah Sabrina dengan mata yang basah.
Aiman memandangi istrinya, terenyuh mendengar cerita ini. "Lalu kamu bagaimana kalau kamu kirim semua ke sana?"
Sabrina mengusap matanya dengan punggung tangan, mencoba meredakan emosi yang masih menguasai dirinya. "Tergantung. Kalau gue berhasil buka beberapa botol lebih banyak dari biasanya, tipnya lumayan gede. Dari situ gue bisa pakai buat bulanan—bayar sewa kost, makan selama sebulan ke depan. Kalau gak dapat, ya udah. Gue manfaatin uang tip yang sisa sampai gajian tiba."
Perjalanan yang terasa hening kini dipenuhi dengan beban yang mendalam, dan Aiman semakin memahami bahwa perjuangan Sabrina jauh lebih berat dari yang dia bayangkan. Seorang istri yang, di balik tawa dan kenakalan, menyimpan harapan besar untuk keluarga yang dicintainya.
Setelah mendengar semua cerita dari Sabrina, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Aiman tetap diam, mengemudikan kendaraan, tetapi pikirannya penuh dengan segala yang baru saja ia dengar. Wajah Sabrina tampak begitu tegar, tetapi di balik itu, ada beban berat yang jelas terpancar.
Namun, tiba-tiba Sabrina memecah keheningan, dengan suara lembut, tapi penuh ketegasan. "Setelah gue cerita semua ini, kamu masih yakin mau melanjutkan pernikahan ini, Aiman?"
Aiman mengerem kendaraannya pelan-pelan, memandang Sabrina dengan tajam. Tiba-tiba marah menguasai dirinya. Marah pada kenyataanu bahwa ada seorang wanita yang begitu tangguh, yang berjuang sekuat tenaga untuk keluarganya, tetapi justru merasa harus memilih antara pernikahan dan tanggung jawab.
"Ceraikan kamu?!" Aiman membentak dengan suara yang keras, membuat Sabrina terkejut.
Aiman memegang kemudi erat-erat, matanya tajam menatap lurus ke depan. Tangannya yang kuat mengepal, menahan amarah yang mulai meluap. Suaranya penuh emosi saat melanjutkan, "Saya menikahi kamu bukan cuma sekadar untuk bermain-main saja. Memang awalnya saya merasa bersalah menyentuh kamu, karena sejatinya dalam agama kita haram hukumnya menyentuh lelaki sama wanita yang belum halal. Tapi setelah saya mengucapkan ijab kabul di depan orang tua kamu dan pak penghulu, niat suci saya berubah. Saya benar-benar ingin menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh, terlepas dari rasa bersalah atau apapun itu."
Aiman berhenti sejenak, matanya penuh tekad. "Saya ingin kamu tahu, bahwa pernikahan ini bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi sebuah tanggung jawab yang saya terima dengan sepenuh hati. Saya menikahi kamu karena saya percaya kita bisa membangun sesuatu yang indah bersama, saling mendukung, dan menjaga satu sama lain. Saya akan berada di sini untukmu, dalam suka maupun duka, dan tidak akan pernah meninggalkanmu."