Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Berita Tragis
Elyana duduk di ruang tamu, menatap langit malam yang sepi dari balik jendela besar. Angin berhembus lembut, seolah menyanyikan lagu yang mengingatkannya pada kenangan lama. Kehadiran Davin yang kembali menghampirinya di taman seakan menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik, dan ia sudah mulai membuka hati untuk mencoba memulai kembali.
Namun, malam itu, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Ponsel Elyana berbunyi nyaring, memecah keheningan malam. Ia mengerutkan dahi melihat nama yang tertera: Asisten pribadi Davin. Ada apa? Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat telepon.
"Selamat malam, Nona Elyana. Maaf mengganggu, tetapi saya harus memberitahukan berita buruk," suara di ujung telepon terdengar gemetar, membuat jantung Elyana seketika berhenti berdetak.
"Tolong katakan bukan sesuatu yang buruk," bisiknya, mencoba menahan ketakutan yang mulai merayap di sekujur tubuhnya.
Ada jeda sejenak sebelum suara itu kembali terdengar. "Tuan Davin terlibat dalam kecelakaan mobil malam ini. Maaf, Nona Elyana, tetapi beliau sudah meninggal di tempat."
Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar, menghancurkan dinding pertahanan yang selama ini dibangunnya. Dunia Elyana seakan runtuh dalam sekejap. Ia merasa tubuhnya goyah, dan pandangannya mulai kabur. Satu-satunya harapan yang baru saja ia miliki, kini hilang begitu saja.
Di rumah sakit, Elyana menunggu di ruang tunggu yang sunyi, dikelilingi oleh orang-orang yang tampak tidak sabar menunggu kabar tentang orang tercinta mereka. Namun, kesunyian di sekitar Elyana terasa menyiksa. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang hampa, di antara ratusan orang yang tetap bisa merasa hidup, sementara hatinya telah mati bersama Davin.
Ketika dokter datang dengan wajah yang serius, Elyana tahu bahwa semua harapannya sudah pupus. Berita itu benar-benar nyata, Davin telah pergi untuk selamanya.
Sambil menatap pintu ruang ICU yang tertutup rapat, Elyana merasa seolah dirinya terjebak di tengah badai yang tak terlihat. Ia ingin berteriak, tetapi mulutnya terkunci. Perasaan yang datang tak dapat digambarkan, campuran antara penyesalan, kesedihan, dan rasa bersalah yang luar biasa.
Berita tentang kematian Davin segera menyebar ke seluruh media, menghiasi setiap saluran berita dan surat kabar. Davin, CEO muda yang karismatik dan sukses, kini hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Elyana, di tengah duka yang mendalam, merasa seolah ia telah kehilangan bagian dari dirinya yang paling berharga.
Hari-hari berlalu dengan perlahan. Elyana duduk di apartemennya, menatap ke luar jendela yang sama tempat ia dan Davin sering berbicara. Semuanya terasa sepi dan kosong, seperti hidupnya tanpa Davin. Rasa bersalah menyelimutinya, bertanya-tanya apakah ia telah memberikan kesempatan yang cukup bagi pernikahan mereka. Namun, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa mereka hanya memiliki satu kesempatan yang akhirnya berakhir dengan cara yang tragis.
Malam itu, Elyana duduk di tempat tidur, mengenang semua yang telah terjadi. "Aku tidak pernah benar-benar mengatakan maaf," bisiknya, air mata mengalir deras. "Aku tidak pernah benar-benar memberikan kesempatan."
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Suatu sensasi hangat yang menyelimuti tubuhnya. Seolah-olah ada seseorang di dekatnya, seseorang yang ingin memberinya kekuatan. "Davin," panggilnya dalam hati, berharap suaminya mendengarnya, berharap ada harapan, meskipun sangat kecil, bahwa semua ini bisa diubah.
Elyana menatap langit malam yang gelap di luar jendela, seakan mencoba mencari petunjuk di antara bintang-bintang yang berjauhan. Desiran angin membawa bau hujan yang baru turun, mengingatkannya pada malam-malam di mana ia dan Davin duduk berdua di beranda, berbicara tentang impian-impian mereka. Dulu, mereka selalu menganggap malam seperti ini penuh dengan janji, tetapi sekarang, langit yang sama itu hanya membisikkan kesepian.
Tangannya gemetar saat ia memegang foto lama mereka. Foto itu diambil di sebuah pesta taman, di mana Davin tersenyum lebar dengan ekspresi penuh kebahagiaan. Kini, senyumnya hanya menjadi kenangan yang tak bisa diulang. Elyana memejamkan mata, mencoba mengingat kembali suara tawa Davin, cara dia selalu membuatnya merasa aman meskipun dunia sedang terbalik. Suara itu seperti sebuah kenangan yang mulai memudar, sebuah luka yang tak bisa disembuhkan.
"Aku sangat menyesal, Davin," bisiknya, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Jika aku bisa mengulang semuanya, aku akan... aku akan mencintaimu dengan cara yang pantas."
Ponsel di meja samping ranjang berbunyi, mengguncangnya dari lamunan. Ia menatap layar, melihat nama yang tertera: 'Satria'. Teman dekat Davin dan rekan kerjanya di perusahaan. Panggilan itu terasa seperti tamparan di wajahnya, mengingatkan bahwa dunia terus berjalan meskipun hatinya terhenti. Ia menarik napas panjang, menekan tombol terima.
"Satria," ucapnya dengan suara serak, mencoba menyembunyikan getaran di dalamnya.
"El, aku—" suara Satria terhenti sejenak. "Aku tahu ini berat, tapi aku harus memberitahumu sesuatu."
Elyana meringis, jantungnya berdebar kencang. "Apa? Apa lagi yang bisa lebih buruk dari ini?"
"Ada... ada sesuatu yang Davin kerjakan, yang dia ingin kamu ketahui," lanjut Satria dengan nada khawatir. "Sebelum kecelakaan itu, Davin menghubungi ku, meminta agar aku memberitahumu jika sesuatu terjadi padanya. Dia... dia punya rencana untuk memperbaiki semuanya antara kalian."
Elyana terdiam, mulutnya terbuka sedikit, seolah mencoba mencerna kata-kata itu. "Rencana? Apa maksudmu?"
"Tolong, El, datang ke kantor Davin di lantai lima. Aku akan menunggumu di sana. Ini penting."
Satria mengakhiri panggilan tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Elyana terdiam, menatap ponsel dengan perasaan campur aduk. Harapan mulai menyusup kembali, merayap perlahan ke dalam hati yang seolah sudah mati. Apakah mungkin ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang Davin tinggalkan untuknya? Apakah ini mungkin cara terakhir Davin untuk menghubunginya?
Dengan langkah yang tertatih-tatih, Elyana berdiri dan menghadap cermin. Refleksinya terlihat rapuh, mata merah dan bengkak, rambut kusut. Ia melihat dirinya sendiri dan merasakan kesedihan yang menggerogoti, namun di balik itu, ada kilasan kecil cahaya—sebuah harapan yang enggan mati.
Sesampainya di gedung perusahaan, suasana di luar terasa berbeda dari biasanya. Lampu-lampu kota berkilau, dan suara lalu lintas tetap hidup, namun Elyana merasa seolah ia berjalan di dunia yang sama sekali berbeda. Ia melangkah masuk, diiringi rasa cemas dan ragu, melewati lorong-lorong sepi yang hanya dipenuhi suara langkah kaki dan desiran angin.
Satria menunggu di luar ruang kerja Davin, wajahnya tampak serius. "Kau datang," katanya, hampir seperti sebuah pengakuan yang lega.
"Ada apa, Satria?" Elyana mengabaikan pertanyaan yang berputar dalam pikirannya dan langsung menatap Satria dengan tatapan penuh harap.
Satria mengangguk, lalu membukakan pintu ruang kerja yang penuh dengan barang-barang milik Davin. "Davin meninggalkan sebuah catatan untukmu," katanya sambil menunjukkan sebuah amplop putih di atas meja besar yang biasanya dipenuhi dokumen penting. "Dia ingin kamu tahu bahwa meskipun semuanya berakhir, ada bagian dari dirinya yang tetap berharap."
Elyana mendekati meja dan mengambil amplop itu. Tangannya gemetar saat membuka isi di dalamnya, dan matanya mulai berbinar saat membaca kata-kata yang tertulis dengan tinta hitam:
"Elyana, jika kau membaca ini, berarti aku telah pergi lebih dulu. Aku tahu aku tidak sempurna, dan aku tahu banyak yang harus kita perbaiki. Tapi aku berharap kau tahu, aku selalu mencintaimu, dan aku berharap kesempatan kedua itu akan datang untuk kita."
Air mata Elyana mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat. Kata-kata itu seolah menghidupkan kembali api yang hampir padam dalam dirinya. Itu bukan hanya pengakuan, tetapi juga sebuah permintaan—permintaan untuk tidak menyerah.
Tanpa sadar, Elyana merasa seperti ada sesuatu yang berbeda. Angin yang berhembus kencang, suara hujan yang mulai turun di luar, dan perasaan yang aneh namun akrab. Ia tahu, dalam lubuk hatinya, bahwa mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru, mungkin sebuah kesempatan yang diberikan oleh takdir, atau bahkan oleh Davin sendiri.
Malam itu, Elyana memutuskan satu hal: ia tidak akan membiarkan harapan itu hilang begitu saja. Ia akan berjuang, tidak hanya untuk membuktikan bahwa ia layak mendapatkan kesempatan, tetapi juga untuk menghormati cinta yang pernah mereka miliki.
...****************...