Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kunci Berbohong adalah Ketenangan
"Siapa yang lo temui selama gue dan Raka pergi?"
Mbak Bian kembali mengulangi pertanyaannya. Sorot matanya masih dingin, mirip freezer yang bunga es nya tak dicairkan bertahun-tahun. Aku meremas ujung bajuku frustasi, mencegah kebiasaan menggigit bibirku keluar di saat gugup atau tertekan. Aduh, bagaimana ini? Mbak Secha melarangku mengatakan perihal permintaannya kepada mbak Bian!
Melihat aku yang hanya terdiam, mbak Bian menarik nafasnya dalam-dalam. Dia lalu tersenyum sambil memegang bahuku.
"Sorry. Gue lebay banget ya nanya-nya?"
Tanpa sadar aku menganggukkan kepalaku, menyetujui ucapan mbak Bian. Sebenarnya bukan lebay sih, lebih tepatnya menyeramkan.
"Jujur amat-"
Mbak Bian terkekeh kecil sambil menepuk kepalaku pelan.
"Sorry ya Cha. Soalnya gue kaget pas nyium aroma parfumnya. Mirip aroma kesukaan seseorang yang gue kenal. Gue bahkan tahu merk sampai komposisi bahannya"
Ucap mbak Bian panjang lebar, matanya menerawang jauh ke arah jendela.
Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Bukan gatal karena gugup sih, tapi memang aku belum keramas beberapa hari.
"Pasti orangnya penting ya mbak?"
Tebakku. Melihat bagaimana mbak Bian bisa hafal aroma parfum seseorang hingga ke komposisinya, sudah pasti orang itu sangat berkesan atau sangat penting bagi mbak Bian.
Tiba-tiba aku merasa miris dengan seseorang yang menganggapku berharga kelak. Mungkin kalau dia mengingat aromaku, dia pasti kebingungan. Maklumlah, parfumku adalah parfumnya sejuta umat. Sebut saja Molto, Downy, dan yang lebih sedih lagi Rapika atau Kispray.
Mbak Bian menganggukkan kepalanya
"Penting. Banget malahan. Kalau jumpa pasti nggak bakalan gue lepas lagi."
Jawab mbak Bian dengan senyuman yang lagi-lagi membuatku merasa merinding.
Mbak Bian memang sedang membicarakan tentang seseorang yang amat penting baginya. Tetapi entah kenapa di balik suara dan senyumnya yang hangat, terasa ada hawa gelap yang sulit dijelaskan. Aku mengetukkan ujung sepatuku berkali-kali ke lantai, mungkin saja mbak Bian sebenarnya merindukan mbak Secha. Tetapi karena dia kesal dengan mbak Secha yang ingin memisahkan dia dengan mas Jems, makanya ada kesan tak suka di balik suara mbak Bian.
Perasaan sedih tiba-tiba menyergap hatiku. Kalau begini mah, aku semakin bersemangat untuk menyelamatkan mbak Bian dari jebakan betmen hubungannya bersama mas Jems. Aku hanya tersinyum simpul, mengeluarkan uang dari sakuku.
"Mungkin parfum yang mbak maksud asalnya dari sini."
Ucapku sambil menyodorkan dua lembar uang seratus ribu kepada mbak Bian.
Wajah mbak Bian seketika berubah masam
"Iya bener, dari sini."
Ucap mbak Bian sambil meraih uang di tanganku.
"Wow, kayak kenal gue parfumnya!"
Mas Raka yang sudah kembali dari tugas membuang sampah tiba-tiba berdiri di antara aku dan mbak Bian.
Ebuset dah, ini kenapa indra penciuman duo racun, eh duo sahabat ini tajam sekali? Jujur sepanjang berbicara dengan mbak Secha tadi, aku diam-diam mengagumi aroma parfumnya yang menenangkan. Tapi aku hanya menyadari aroma parfum dari tubuh mbak Secha, bukan uang pemberiannya. Bagaimana mungkin mbak Bian dan mas Raka mengendus aroma samar parfum dari uang ini tanpa kesusahan?
Mas Raka tiba-tiba berbisik sangat pelan ke telinga mbak Bian, yang langsung ditanggapi mbak Bian dengan anggukan kepala.
"Buset dah, frontal am.."
Tangan mbak Bian langsung membekap mulut mas Raka, membuatku semakin bingung dengan tingkah aneh mereka. Mas Raka mencoba berontak, yang justru membuat mbak Bian semakin kuat membekap mulutnya.
"Mb..Mb..Mbak, mas Raka bisa kehabisan oksigen entar!"
Teriakku panik saat tubuh mas Raka mulai terkulai lemas.
"Ops."
Mbak Bian sontak melepaskan bekapan tangannya, membuat tubuh mas Raka hampir jatuh ke atas lantai.
"Cowok sial..Ehm"
Mas Raka menghentikan ucapannya dan berdehem sejenak.
"Dasar lo, awas aja, tunggu pembalasan gue!"
lanjutnya lagi, menggerutu sebal sambil menunjuk mbak Bian.
"Oh ya? iii, atut gue!"
Cibir mbak Bian sambil melipat tangan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat perubahan sikap mbak Bian dan mas Raka yang sangat cepat. Padahal mereka baru saja menginterogasiku perihal parfum, kenapa tiba-tiba malah mau baku hantam lagi?
"Jadi, dedek Icha ketemu siapa tadi?"
Kali ini mas Raka yang bertanya, sangat antusias, sampai-sampai aku harus mundur beberapa langkah karena wajahnya yang terlalu dekat.
"Lo kalo ngomong jaga jarak dong. Tukang angkot ugal-ugalan aja masih bisa jaga jarak. Nah elo, maen nyosor aja!"
Gerutu mbak Bian sambil menjauhkan wajah mas Raka dari wajahku dengan menggunakan telunjuknya.
Mas Raka mendengus sebal dan menepis tangan mbak Bian.
"Gue sengaja dekat-dekat. Biar Icha penyegaran otak karena ngeliat cowok ganteng setelah seharian nengok cow.. eh cewek judes kayak lo, iyakan Cha?"
Tanya mas Raka sambil mengedipkan mata, meminta persetujuanku.
Dalam hati aku hanya bisa mengutuki mas Raka kesal, berharap dia jadi emas saja biar bisa kujual, karena saat ini pandangan sinis mbak Bian langsung tertuju ke arahku. Duh mas Raka, demen amat sih mancing baku hantam dengan mbak Bian. Mending kalau baku hantamnya nggak sampe menyeret diriku segala.
"Lo setuju sama yang Raka bilang Cha?"
"Yaiyalah yakali yaiyadong. Anak kecil aja demen sama odong--odong sampe lupa minta gendong!"
Celoteh abstrak mas Raka mulai terdengar. Tak lupa dia memberikan sentuhan akhir, yaitu senyum menggoda khas abang-abang yang suka mangkal di depan gang. Jika mas Raka sudah menunjukkan wajah menyebalkannya seperti ini, sudah pasti sebentar lagi akan terdengar eluhan dari mulutnya, dan..
“Aduh, sakit woy!"
Eluh mas Raka begitu tangan mbak Bian menggeplak kepalanya untuk yang kesekian kalinya hari ini.
"Jadi yang lo temui siapa?"
Desak mbak Bian.
Aku menghela nafas panjang, mirip seperti panjangnya janji manis mantan.
"Tadi ada pelanggan datang mbak."
"Hmm?"
Mbak Bian dan mas Raka langsung bergumam berbarengan. Bisa juga nih mas Raka dan mbak Bian ngelamar jadi vokalis gambus.
"Ya gitu, cuma pelanggan biasa. Terus si pelanggan ngasih tip karena minta ditemeni ngobrol."
Jawabku setenang mungkin sambil mengangkat bahu. Berbohong itu susah, apalagi di depan mbak Bian dan mas Raka. Buktinya mereka saat ini menatapku dengan alis bertaut curiga dari atas ke bawah, depan ke belakang, kiri dan kanan.
"Cakep?"
Tanya mas Raka.
Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Masih muda?"
Aku menggeleng lagi.
"Bohay?"
"Bohay apaan?"
Aku mengerutkan alis tak paham.
Mas Raka langsung membelalakkan matanya tak percaya.
"Lah? Icha nggak tahu bohay? Itu singkatan dari body aduhai Cha"
Jelasnya histeris, bahkan menggunakan tangan untuk mencontohkan bagaimana body aduhai yang mar Raka maksud.
"Oo, kayak vas bunga gitu ya mas? Atau kendi air?"
"Kayak gitar Cha lebih tepatnya"
"Lah, petak dong?"
Kali ini gantian mas Raka yang terlihat bingung,
"Kok petak? Mana ada gitar petak"
"Ada!"
"Apa?"
"Gitar bencong. Andecha andechi labora bora bori."
Jawabku sambil bersenandung kecil.
Mas Raka hanya mendengus sambil menggelengkan kepalanya. Baru saja dia ingin membalas ucapanku, mbak Bian sudah membekap mulut mas Raka lagi.
"Jadi pelanggan yang Icha temui gimana orangnya?"
Tanya mbak Bian dengan nada serius.
Aku menelan ludah, mencoba memanggil jiwa aktingku yang tersembunyi di seluruh sel tubuhku. Aish ya sudahlah, toh aku memutuskan untuk membantu mbak Secha memisahkan mbak Bian dan mas Jems.
"Ibu-ibu mbak. Kayaknya seusia tante Ella. Sebenarnya tadi aku nanya juga soal parfum ini ke si ibu. Katanya hadiah dari keponakannya yang baru pulang dari Paris."
Jawabku asal sambil mengarang bebas. Duh, nggak sia-sia aku mengembangkan skill mengarang yang semakin terlatih karena sering mengarang jawaban soal ujian yang super abstrak.
"Yakin?"
Aku menganggukkan kepala
"Yakin!"
Mbak Bian dan mas Raka masih mengerutkan alis, sepertinya belum sepenuhnya percaya dengan ucapanku. Aku menganggukkan kepala lagi, mempertahankan sikap setenang mungkin. Setelah cukup lama memandangiku, mbak Bian dan mas Raka serempak menghela nafas.
"Oke."
Ucap mereka berbarengan yang langsung membuatku merasa super lega.