“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 : Bertemu Ibu Arum
“Mbak Arimbi yang cantik sekaligus baik, kenalin ini Mamah tercinta saya!” ucap Azzam sambil memamerkan sang mamah.
“Kok, ... kok mirip, ya?” ibu Arum bingung tapi juga heran. Sulit untuk ia percaya, ada wanita lain, wanita yang lebih muda dan itu juga tak memiliki ikatan apa-apa dengannya, tapi memiliki garis wajah bahkan penampilan yang sama dengannya.
“Mirip?” lirih Arimbi yang dalam hatinya juga berkata, “Eh, iya ... kok kami mirip ya?”
“Nah, makanya, Mah. Bisa jadi ini bertanda jodoh! Maksudnya, kami, aku dan Mbak Arimbi berjodoh!” balas Azzam dengan entengnya.
“Nih cowok naksir Arimbi? Kalau enggak salah, dia adiknya Mas Aidan, kan? Karena wanita yang dikenalkan sebagai mamah pun, beliau ibu Arum istrinya pak Kalandra,” batin Mas Rio sudah ketar-ketir sendiri.
“Mas Azzam yah, masih saja ngegombal!” batin Arimbi yang jadi kikuk.
“Kamu jualan dari jam berapa, sampai jam berapa?” tanya ibu Arum sangat ramah. “Katanya pagi jualan, ini sore juga jualan?” lanjutnya dan yang ditanya hanya tersenyum kikuk.
“Semanis mas Aidan sih. Sebenarnya mas Azzam juga manis, tapi karena dia suka menggombal dan merayu enggak jelas, aku jadi takut,” batin Arimbi. Kemudian ia menjawab pertanyaan ibu Arum yang sampai berdecak kagum.
“Habis magrib beru pulang? Katanya rumah Mbak ada di dekat rumah neneknya Mas Azzam, dan itu masih ke dalam lagi? Berarti masuk RT 03, ya? Tetangga RT saja karena masih satu RW sama neneknya Mas Azzam?” lanjut Arum.
“Iya, Bu. Hanya beda RT,” balas Arimbi yang mendadak berharap, waktu berputar lebih cepat lantaran diwawancara oleh ibu Arum benar-benar tegang. Lebih tegang dari ketika ia harus menjawab setiap pertanyaan penuh tudingan dari seorang ibu Irma, ketika ia masih bekerja kepada wanita itu.
“Mbak, Ibu boleh minta nomor WA enggak? Takutnya Ibu butuh dagangan Mbak buat acara tertentu, biar lebih gampang gitu,” ucap ibu Arum yang sampai meminta sang putra untuk mencatat nomor WA Arimbi.
“Asyiiik! Mamah memang paling tahu kalau aku juga lagi pengin punya nomornya Mbak Arimbi!” batin Azzam kegirangan.
Cara Arum yang memanggil Azzam mas dan kepada Arimbi wanita itu memanggil mbak, menegaskan betapa santun sekaligus lembutnya ibu Arum. Arimbi juga masih ingat, sekelas mas Aidan yang sudah terbilang dewasa saja, masih memanggil Azzam dengan sebutan Dek. Kenyataan tersebut menegaskan betapa harmonisnya keluarga mas Aidan yang begitu peduli pada satu sama lain apalagi kepada keluarga sendiri.
“Besok acara empat bulannya jangan lupa, yah, Mbak. Nanti Ibu minta mas Aidan buat jemput. Kalau memang mau cek lokasi, Mbak juga boleh sore sebelum hari H ke rumah Ibu,” ucap ibu Arimbi yang sampai memborong dagangan Arimbi dengan dalih untuk acara di rumah makan barunya dan memang baru di buka malam nanti. Karena paham Arimbi sibuk, ia sengaja ikut membungkus semua gorengan maupun lontongnya.
“Mah, Mah, aku masih betah di sini, Mah!” rengek Azzam yang sukses membuat ibu Arum sibuk tertawa.
“Mbak Arimbi enggak suka cowok tukang gombal, Mas. Mamah jamin!” yakin ibu Arum.
“Mah, aku bukan tukang gombal ih. Aku kan kerja di perusahaan bulu mata sama rambut palsu,” balas Azzam tak segan merengek.
“Sini,” lirih mas Rio yang akhirnya ikut membantu setelah awalnya, ia hanya duduk di bangku biasa mas Aidan menunggu Arimbi.
Arimbi berusaha bersikap sebiasa mungkin pada mas Rio maupun Azzam. Namun tiba-tiba Arimbi kepikiran, jangan-jangan mas Rio merasa tertampar dengan kebaikan ibu Arum yang sangat kontras dengan ibu Irma?
“Namun sejauh ini, mas Rio kan tipikal anak mamah yang enggak bisa menentang mamahnya. Oh, iya ... selama ini kan, ibu Mia selalu teriak agar mas Rio punya istri kayak mbak Azzura. Nah ini, aku saja disewa buat acara empat bulan mbak Azzura. Terus gimana ceritanya si ibu Mia kok bisa terobsesi banget ke mbak Azzura? Hanya karena mbak Azzura dari keluarga berada, kah?” pikir Arimbi.
“Kamu yang semangat, ya. Jangan mudah menyerah. Walau memang enggak mudah, Ibu yakin kamu bisa sukses!” yakin ibu Arum sampai menggenggam tangan Arimbi yang masih terbungkus sarung tangan plastik.
Mendengar itu, Arimbi tak hanya terenyuh hingga kedua matanya sampai menjadi berkaca-kaca. Sebab Arimbi juga yakin, alasan ibu Arum sampai memberinya dukungan penuh karena wanita paruh baya bergamis warna biru muda itu sudah mengetahui perjalanan hidup Arimbi. Apalagi jika melihat kesopanan mas Aidan, otomatis hubungan mas Aidan dengan sang mamah juga sangat dekat. Yang dengan kata lain, semacam kisah pilu yang mas Aidan urus juga akan mampir ke telinga ibu Arum sekeluarga.
“Terima kasih banyak untuk semuanya, Bu. Terima kasih banyak juga, Mas Azzam.” Arimbi sampai keluar dari balik meja ia mendagangkan dagangannya. Bersama mas Rio, ia membawakan semua pesanan ibu Arum, membantunya menyusun di motor matic yang dikemudikan Azzam.
Ketika ibu Arum menanggapi ungkapan terima kasih Arimbi dengan senyum sekaligus kata-kata yang begitu menenangkan, tidak dengan Azzam yang masih sibuk menggombal.
“Sekalian tolong terima cinta saya yah, Mbak Arimbi. Jangan hanya terima kasih,” ucap Azzam yang kemudian mendapat cubitan gemas di pipi kirinya dari sang mamah.
“Usaha, Mah. Usaha,” ucap Azzam yang sengaja menekan klaksonnya beberapa kali sebelum ia pergi hingga menimbulkan kericuhan tersendiri. Sang mamah sampai menjewernya dan itu membuat sekelas Arimbi tersenyum kikuk.
Pertemuan Arimbi dengan ibu Arum membuat Arimbi terinspirasi untuk menjadi manusia lebih baik lagi. Arimbi akan belajar menjadi manusia yang memiliki kepribadian baik termasuk itu kepada orang yang lebih kecil darinya seperti yang ibu Arum lakukan.
Kini, Arimbi menjadi bingung bagaimana menyikapi mas Rio yang masih setia menunggunya.
“Mas aku mau pulang,” pamit Arimbi sembari menyusun gerabah wadah dagangannya, ke motor.
“Ya sudah, saya antar,” balas mas Rio dengan santainya.
Walau tidak nyaman, Arimbi membiarkan mas Rio mengikutinya. Sepanjang perjalanan yang diiringi adzan magrib, mereka bungkam tanpa sedikit pun obrolan bahkan walau untuk basa-basi. Barulah ketika mereka yang menggunakan motor masing-masing melintas di depan rumah Ilham. Arimbi yang syok refleks mengerem motornya. Iya, penampilan Aisyah yang tak lagi menutupi wajah dengan cadar maupun kepalanya yang tak lagi ditutup kerudung.
“Asli, aku pikir penampakan demit magrib-magrib,” batin Arimbi sampai bergidik. Semua kabar yang ia terima dari tetangga, benar adanya. Bahwa Aisyah istri Ilham yang Ilham katakan sebagai wanita suci, malah mirip preman. Paling mencolok itu bekas tindik bolong dan membuat telinga Aisyah lebih panjang dari telinga manusia normal.
“Apa lihat-lihat? Enggak pernah lihat wanita cantik kamu?!” hardik Aisyah dan langsung membuat Arimbi syok sekaligus panik.
Arimbi buru-buru menjalankan motornya tanpa menjawab. Sementara mas Rio yang ditinggal refleks menggeleng tak habis pikir menatap Aisyah yang masih nongkrong di bangku teras rumah Ilham sendirian.