Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Sabrina berdiri di tepi jalan, berbicara sengit dengan sopir taksi yang baru saja menurunkannya di depan rumah kostnya.
"Gak gitu dong, Pak! Biasanya dari sini ke kota J cuma 150 doang. Ini kok mahal banget sampai 250? Gak bisa, saya gak mau bayar!" Sabrina menatap tajam ke arah sopir yang tetap berdiri di depan taksinya.
Sopir taksi yang berperut buncit itu mengerutkan kening, mencoba membela diri. "Gak bisa gitu, neng! Kan udah sesuai sama arah mapsnya, emang segitu bayarannya."
Sabrina menegang, membalas dengan suara keras. "Cepat bayar, neng! Saya mau narik lagi!" Dia menggerakkan tangan, seolah memberi aba-aba pada Sabrina untuk segera membayar.
Sabrina melotot. "Gak! 150 dulu baru gue bayar!"
Sopir itu menggeleng. "Gak bisa, neng! Pasnya 250. Soalnya neng bawa dua koper gede, terus juga antri bensin dan macet."
Sabrina mencibir. "Cuma gitu doang 250? Gak ah itu namanya korupsi, Pak! Udah ya, 155 deh nego ya???"
Sopir itu mendesah, akhirnya menyerah. "Ya udah deh neng, gak papa. Mumpung neng cantik juga." Dia menyunggingkan senyum yang sok manis.
Sabrina memicingkan mata, jijik dengan gaya sopir yang tidak sopan. "Hih? Dasar pak tua! Ingat bini di rumah nungguin duit setoran tuh, Pak!!!"
Tanpa ragu, Sabrina mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu dan melemparkannya ke tangan sopir. Setelah selesai, dia langsung berbalik dan pergi begitu saja dengan penuh kesal.
"Huh, dasar tukang taksi nggak tahu malu!" gumam Sabrina sambil menyesap nafas panjang.
" Waktu gue habis berdebat aja perasaan hari ini," dumel Sabrina dengan langkah yang semakin kencang, menyeret kopernya sambil memasang muka kesal. Satu-satunya harapan dia adalah segera sampai di rumah dan melepaskan penat. Desa yang dulu terasa begitu familiar, kini seolah memberikan sedikit tekanan.
"Dasar tukang taksi berotak tipuan! Pas gue bayar 150, dia gak mau. Gue nawar 155 aja susah, bilangnya '250 soalnya bawa dua koper gede, terus juga antri bensin dan macet'. Cuma itu doang! Korupsi banget sih! Gak jelas banget kerjaan dia!"
" Udah capek berdebat, waktu gue kebuang buat ngurusin hal gak jelas kayak gitu!"
Sambil menyeberang gang kecil menuju rumahnya yang mulai tampak di kejauhan, Sabrina terus menggerutu, merutuki nasibnya. "Udah lah, mending gue pulang ke desa ini buat bantu keluarga. Tapi disambut sama kenyataan kalau emang gak ada kerjaan bagus di sini. Gimana mau maju kalau tinggal di desa kayak gini? Teknologi udah canggih, tapi kok masih aja gue cuma bisa ngeluh sama nasib."
Sambil menggerutu, Sabrina melirik sekeliling desa itu. Pandangannya melintasi tanah yang kering dan rumah-rumah sederhana yang berjajar. Entah kapan terakhir kali ia pulang ke desa ini? Setahun? Atau bahkan dua tahun yang lalu? Benar-benar definisi anak yang gak tahu diri macam Sabrina. Gadis yang dulu sering melupakan akar dan keluarganya, kini harus kembali dengan penuh rasa kesal dan penuh beban.
"Kapan ya terakhir gue pulang ke sini?" desahnya pelan, suaranya penuh tanda tanya, seolah-olah mencoba mengingat sesuatu yang sudah lama terlupakan. Tapi sepertinya, semuanya hanya menyisakan kenangan yang samar-samar.
Ia mempercepat langkahnya, menatap rumah yang semakin dekat, sambil terus berbisik, "Benar-benar definisi anak gak tahu diri banget sih gue. Hidup di kota juga masih miskin, balik ke desa juga gak ada yang berubah. Selalu ada aja masalah!"
Sabrina berdiri di depan pintu rumah, mengetuk pelan sambil menghela napas. Pintu terbuka, dan di sana berdiri ibunya, Gina, dengan wajah kaget.
"Lho, Kakak? Kamu kok pulang? Cepat banget? Ada masalah di kota?" tanya Gina, matanya membelalak.
Belum sempat Sabrina menjawab, suara langkah kaki berhamburan dari dalam. Ketiga adiknya, Miran, Andi, dan Ridwan, muncul satu per satu dengan ekspresi yang tak kalah kaget.
"Kok Kakak udah pulang? Tumben banget!" seru Miran, adik tertua.
"Ini serius Kakak balik? Enggak salah alamat?" ledek Andi.
Ridwan, si bungsu yang masih polos, ikut-ikutan nimbrung. "Kakak kena PHK ya? Kok keliatan kayak orang kalah perang gitu?"
"Ridwan!" bentak Gina sambil memukul pelan kepala anak bungsunya itu. "Enggak boleh ngomong gitu sama Kakakmu!"
Sabrina hanya mendengus kesal, menyeret kopernya masuk ke ruang tamu. "Ini rumahku juga, kan? Aku balik aja ditanya terus. Aneh banget sih kalian."
Ayahnya, Abiyan, yang baru saja keluar dari dapur dengan segelas teh, langsung ikut nimbrung di tengah keributan kecil itu. "Kamu pulang nggak kasih kabar, Sabrina. Ada apa? Bapak jadi curiga."
"Iya, Mak, Bapak, aku pulang karena... ya kontrak kerja habis. Jadi aku berhenti kerja." Sabrina berusaha menjawab santai meski suaranya terdengar ogah-ogahan.
Gina langsung menoleh ke suaminya, kening berkerut. "Kerja jadi OG (office girl) itu bisa ada masa kontraknya, Pak?"
Abiyan mengangkat bahu. "Bapak juga nggak tahu. Tanya anaknya aja, tuh."
Mata Gina langsung menyorot tajam ke arah Sabrina, menuntut jawaban.
Sabrina mendengus. "Bisa, Mak. Buktinya aku pulang, kan? Udah nggak usah diribetin."
"Terus kos kamu gimana?" Gina terus mengejar.
"Udah aku putus. Makanya aku di sini sekarang," jawab Sabrina dengan nada kesal, sambil melipat tangan.
Abiyan mengangguk pelan, tapi pertanyaan berikutnya meluncur lagi. "Sekarang kamu mau kerja apa? Di sini nggak banyak lapangan kerja, lho. Mau liburan aja dulu, atau gimana?"
Sabrina menghela napas panjang. "Aku mau liburan dulu, Pak. Sekalian mikir usaha kecil-kecilan pakai uang gaji terakhir. Itu cukup kan, Mak, Pak?"
Gina langsung tersenyum lega. "Wes, nggak papa. Mamak mendukung. Nanti ada adik-adikmu yang bantu. Bapak setuju, kan?"
Abiyan ikut tersenyum, tapi jawabannya malah bikin Sabrina berang. "Setuju, lah. Lagian bapak juga khawatir sama Kakakmu ini. Kelamaan dilepas di luar, makin bebel, gendeng, barbar gitu."
"Pak!!! Jahat banget mulutnya!!!" seru Sabrina sambil memasang wajah marah, tapi justru membuat adik-adiknya ngakak.
Andi bahkan menambahkan, "Bapak ada benernya juga sih, Kak. Kamu pulang-pulang bawa koper gede kayak kabur dari rumah orang."
"ANDI!!!" Sabrina langsung melotot, sementara Ridwan sudah berguling-guling di lantai karena menahan tawa.
Gina hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Ya udah, Kak. Sekarang masuk dulu, mandi, terus istirahat. Biar Bapak sama adik-adikmu nggak tambah nyolot."
Sabrina mendengus, menyeret koper ke dalam kamar sambil menggerutu. "Dasar keluarga nggak ada sopannya... Baru pulang udah dikeroyok gini. Aneh banget memang keluarga ini."
Sabrina masuk ke kamarnya yang dulu, tapi langsung mematung di depan pintu. Mata melotot melihat kamar itu berubah total. Poster-poster idolanya dari zaman SMA sudah hilang, diganti dengan rak-rak kayu berisi buku-buku tebal, kasur lamanya diganti dengan kasur lipat tipis, dan meja belajarnya sekarang dipenuhi dengan mainan action figure milik Ridwan.
"Astagaaa! Apa-apaan ini?!" Sabrina berteriak, membuat semua penghuni rumah datang berkerumun di depan pintu kamar.
Gina menggaruk kepala, terlihat canggung. "Itu... kamar kamu dipakai Ridwan sekarang. Soalnya kamarnya bocor, jadi sementara dia pindah ke sini."
"'Sementara' katanya," sahut Miran dengan nada menggoda. "Padahal udah dua tahun dia betah di situ."
Ridwan yang ada di belakang Miran langsung menyelak. "Kan Kakak nggak pernah pulang! Jadi wajar dong kalau aku ambil alih."
Sabrina menatap mereka semua dengan wajah frustrasi. "Lho, terus aku tidur di mana sekarang?! Masa di dapur?"
Gina segera menenangkan. "Tenang, tenang. Kasurnya masih ada, kan? Tinggal dirapikan aja. Kamu bisa tidur di sini lagi. Ridwan, ayo pindahin barang-barangmu."
Ridwan mendengus, tapi tak punya pilihan lain. "Iya, iya, bentar. Tapi kalau mau barangku balik lagi nanti, ya, Mak."
Sabrina memandang sebal ke arah adiknya. "Ridwan, awas aja kalau aku barang-barangmu masih di sini. Kamu yang aku usir ke dapur!"
Ridwan hanya cengengesan sambil mengangkat action figure kesayangannya dari meja.
Setelah kamar itu mulai kembali "normal," Sabrina duduk di atas kasur dengan wajah letih. Gina masuk membawa segelas teh hangat dan menaruhnya di meja.
"Mak paham kok kamu capek. Kamu istirahat dulu, ya. Nanti kalau butuh apa-apa, bilang aja ke Mak."
Sabrina memandang ibunya dengan senyum kecil. "Iya, Mak. Terima kasih, ya. Kakak cuma pengen liburan dulu. Nggak mau mikirin kerjaan buat sementara."
Gina tersenyum lembut sambil mengelus kepala Sabrina. "Mak ngerti. Yang penting kamu di rumah dulu. Bapak sama Mak nggak mau kamu terlalu capek."
Setelah Gina keluar, Sabrina berbaring di kasur, menatap langit-langit sambil menghela napas panjang. "Rumahku sendiri, tapi rasanya kayak jadi tamu. Hadeh..."
Tapi meskipun banyak hal bikin kesal, hatinya terasa lebih ringan berada di rumah. Ia akhirnya memejamkan mata, membiarkan rasa lelahnya perlahan hilang.