Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Rega berdiri di ambang pintu dengan alis terangkat tinggi, menatap pemandangan di depannya dengan ekspresi tak percaya. "Ehm... Aku mengganggu sesuatu, ya?" tanyanya sambil menyembunyikan senyum geli.
Agnes, yang masih berada dalam gendongan Fajar, langsung memerah seperti kepiting rebus. Ia berusaha meronta, tapi malah membuat Fajar semakin mempererat pegangannya. "Jangan gerak-gerak, nanti jatuh," ucap Fajar dengan nada datar, tapi terdengar seperti perintah.
Agnes membelalak, namun memilih diam karena tokek itu masih berkeliaran di benaknya. "Pak, saya bisa turun sendiri!" desisnya pelan sambil mencoba menghindari tatapan Rega yang jelas-jelas menahan tawa.
Fajar akhirnya menurunkannya dengan perlahan, tetap memegang bahunya agar Agnes tidak kehilangan keseimbangan. Begitu kakinya menyentuh lantai, Agnes buru-buru menjauh dan menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan siapa pun.
Rega masuk ke ruangan sambil menyilangkan tangan di dada, ekspresinya penuh rasa ingin tahu. "Jadi... ini alasan kamu menolak adikku?" tanyanya santai, jelas-jelas sedang menggoda.
Fajar menghela napas panjang, lalu berjalan kembali ke mejanya, mencoba mengabaikan komentar itu. "Bisa diam!" ucapnya dengan nada suara kembali serius.
Rega membuat kode mengunci mulutnya. Sementara Fajar, dengan nada tegas seperti biasa, bertanya, "Ada apa?"
"Tadinya cuma mau ngajak makan siang, tapi sekarang kelihatannya aku menemukan cerita lebih menarik," jawab Rega sambil melirik Agnes, yang masih berdiri kikuk di sudut ruangan.
Agnes memutar bola matanya, merasa seperti objek hiburan di antara dua pria itu. Ia akhirnya memberanikan diri untuk angkat bicara. "Kalau nggak ada urusan lagi, saya pergi dulu, Pak," katanya cepat, tanpa menunggu jawaban Fajar.
Namun, sebelum ia berhasil melangkah keluar, Fajar berkata, "Agnes, nanti tunggu aku. Kita ke Perpustakaan Nasional bersama."
Agnes hanya mengangguk tanpa menoleh, lalu melesat keluar dengan langkah tergesa-gesa. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Rega dan Fajar dalam keheningan.
Rega menatap sahabatnya dengan senyum nakal. "Jadi, dia siapa?" tanyanya penuh minat.
Fajar meliriknya sekilas, lalu mengambil dokumen di mejanya. "Istriku," jawabnya singkat, seolah tak ada yang perlu dijelaskan.
Rega tertawa kecil. "Oh... Istri?" Setelah tersadar dengan kata "istri," Rega langsung berkata kembali, "Hah, apa istri? Itu dia tadi? Kenapa nggak bilang?"
"Memangnya kamu nanya?" Fajar menatap Rega dengan ekspresi datar, meski nada bicaranya terdengar enggan.
"Ya, setidaknya kamu kenalkan padaku secara resmi. Kita itu udah temenan dari dulu sampai orang bilang kita itu bagaikan panci dan tutupnya. Sampai-sampai di luar sana banyak berita beredar kita itu saling suka. Kalau seperti ini, aku merasa dikhianati."
Fajar langsung melempar buku ke arah Rega. "Tutup mulutmu!"
Rega mengangkat bahu, tapi senyum geli di wajahnya masih terpampang jelas. "Tapi, Ar, biasanya kamu lebih... ya, tahu lah, terkontrol. Tapi tadi?" Ia menirukan gerakan Fajar yang sigap menangkap Agnes. "Dari gaya gendongnya, aku bisa lihat ada sesuatu."
Fajar mendesah panjang, berusaha tetap tenang meski ekspresi datarnya mulai tergeser oleh sedikit rasa terganggu. "Jangan mulai, Rega."
"Aku nggak mulai apa-apa." Rega mengangkat kedua tangannya seperti orang tak bersalah. "Tapi, serius. Dia itu istrimu? Kayaknya kok hubungan kalian nggak biasa, ya?"
Fajar kembali ke kursinya, menyandarkan punggungnya sambil melipat tangan di dada. "Hubungan kami bukan urusanmu."
"Tapi sekarang aku jadi penasaran," sahut Rega dengan senyum lebar. Ia menarik kursi di depan meja Fajar dan duduk santai. "Gimana ceritanya kamu bisa nikah sama mahasiswi sendiri? Itu pasti cerita menarik."
Fajar memijit pelipisnya, merasa percuma meladeni pertanyaan Rega yang tak ada habisnya. "Rega, kalau kamu nggak ada urusan penting, lebih baik pergi."
"Astaga, ini penting buatku. Aku perlu tahu," kata Rega sambil bersandar di kursi, sama sekali tak terpengaruh oleh sikap dingin Fajar. "Tunggu. Jangan-jangan ini pernikahan yang dipaksakan? Atau—"
"Rega," potong Fajar dengan suara lebih rendah, tapi tegas. Tatapannya tajam, cukup untuk membuat Rega berhenti bicara sesaat. "Aku nggak punya waktu buat omong kosongmu."
Rega menatap Fajar beberapa detik, lalu terkekeh pelan. "Baiklah, baiklah. Tapi aku serius, Ar. Kalau dia istrimu, mungkin kamu harus lebih... terbuka. Dia kelihatan seperti butuh itu."
Fajar tak merespons, tapi kata-kata Rega menggantung di pikirannya lebih lama dari yang ia mau akui. Rega, yang merasa telah menangkap sesuatu, berdiri dengan senyum puas. "Oke, aku pergi dulu. Tapi kalau butuh cerita, aku ada, bro."
Ia melangkah ke pintu, lalu berbalik dengan ekspresi menggoda. "Oh, dan kasih salamku ke Agnes. Bilang aja dari calon abang ipar."
"Keluar!" Suara Fajar terdengar lebih keras dari biasanya, membuat Rega tertawa sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan.
***
Di luar ruangan, Rega terus mencari Agnes. Wajahnya tegang, dihantui pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Apakah Agnes dan Fajar benar-benar menikah karena cinta? Atau ada sesuatu yang memaksa mereka menjalani pernikahan itu? Setiap sudut ruangan ia telusuri, namun Agnes seperti hilang ditelan bumi, meninggalkan keresahan yang semakin menggerogoti pikirannya.
Langkah Rega terhenti mendadak saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
“Kalau jalan pakai mata dong!” Suara tajam itu meluncur dari seorang wanita bernama Berta. Tapi kata-katanya terputus saat ia mendongak dan mengenali siapa yang berdiri di depannya. Sorot matanya berubah seketika. “Di-dia—” gumamnya terputus-putus. Wajahnya memerah, mulutnya sedikit terbuka seperti seseorang yang baru saja bertemu idola.
Namun, Rega tak menunjukkan reaksi serupa. Keresahannya membuatnya tak sabar untuk berbasa-basi. Dengan nada ketus khasnya, ia menjawab, “Heh, di mana-mana jalan itu pakai kaki, bukan pakai mata. Logikamu ke mana?”
Berta terdiam, kedua alisnya bertaut, menahan kesal. “Ya, tapi kalau jalan pakai otak, harusnya kamu bisa lihat ada orang di depan!” balasnya, suaranya meninggi.
Rega mendengus. “Sudahlah, aku nggak ada waktu buat urusan nggak penting. Lagi pula, kamu cuma jatuh gitu doang, kan.” Nada dinginnya membuat kata-kata itu terdengar seperti hinaan.
Berta menghela napas, mencoba meredam emosinya. Tapi tatapannya berubah tajam, menusuk langsung ke arah Rega. “Iya, jatuh gitu doang! Maaf kalau ganggu waktumu yang sangat berharga,” katanya dengan nada sarkastik. Ia berdiri dengan gerakan kaku, lalu berbalik, berniat meninggalkan pria yang menurutnya tak tahu sopan santun itu.
Namun, takdir tampaknya belum selesai mempermainkan mereka. Sekelompok mahasiswa yang tergesa-gesa memasuki lorong tiba-tiba menabrak Rega, yang masih berdiri di tengah jalan. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba mencari pegangan agar tidak jatuh, tetapi tangannya justru mendarat di tempat yang salah—pantat Berta.
Sejenak waktu terasa membeku. Mata Berta membulat sempurna, tubuhnya kaku. Tapi hanya sesaat sebelum ledakan amarahnya menggema di lorong.
“Dasar brengsek!”
Rega tertegun, mulutnya terbuka untuk bicara, tapi tak ada satu pun kata yang keluar.
eh ini kok malah minta tolong ke fajar buat jd kekasih adiknya sehari.. haduuh itu malah bikin sherly tambah gila lah
licik sekali kamu Serly,,,,,,