Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Kisah Sang Ibu dan Pertemuan dengan Ayah
Setelah makan siang bersama, suasana di rumah keluarga Brata terasa santai. Sulastri dan Arya menemani Amanda bermain di bawah pohon jambu di depan rumah, sementara Brata sibuk mengecek kendaraan off-road yang akan digunakan esok pagi. Pohon jambu yang rindang memberikan keteduhan di tengah hari yang hangat. Amanda terlihat riang, berlarian dengan boneka kecilnya, sementara Arya duduk bersila di tanah, mengamati adiknya bermain.
Sulastri, yang duduk di bangku kayu di dekat Arya, tiba-tiba memecah kesunyian. “Arya, Ibu penasaran. Ingatanmu sampai ke tahun berapa?”
Pertanyaan itu membuat Arya sedikit terkejut. Namun, dia berusaha tetap tenang. “Ingatan saya jauh, Bu. Sampai tahun 2025,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Sulastri terdiam sejenak, mengangkat alisnya dengan ekspresi kagum. “Jadi… 41 tahun dari sekarang? Bagaimana Indonesia pada saat itu? Apa tidak terjadi kiamat di tahun 2000?” tanyanya sambil terkekeh kecil.
Arya tertawa. “Kiamat tahun 2000? Itu hanya ramalan palsu, Bu. Sampai tahun 2025, belum pernah terjadi kiamat,” katanya, mengingat kepanikan besar di awal tahun 2000 di beberapa negara seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. “Tetapi banyak orang yang percaya pada saat itu, Bu. Bahkan ada yang menjual semua harta benda mereka karena takut kiamat akan datang.”
Sulastri tersenyum tipis. “Ternyata itu hanya hoaks, ya? Tapi apa dunia sangat berbeda di tahun-tahun itu?” tanyanya dengan penasaran.
Arya mengangguk. “Sangat berbeda, Bu. Banyak teknologi canggih yang bahkan sulit dibayangkan saat ini muncul setelah tahun 2000.”
“Seperti apa?” Sulastri terus menggali, matanya penuh rasa ingin tahu. “Apa mobil terbang seperti di film yang kamu suka itu? Star Wars, ya?”
Arya tersenyum mendengar pertanyaan ibunya. Ia teringat cita-citanya waktu kecil setelah menonton film tersebut di bioskop di Palembang. “Sayangnya, tidak ada mobil terbang, Bu,” jawab Arya sambil terkekeh. “Tapi teknologi komunikasi dan komputer sudah sangat maju. Kita bisa berbicara dengan orang dari seluruh dunia sambil melihat wajah mereka tanpa harus keluar rumah. Bahkan, belanja pun bisa dilakukan dari rumah.”
Sulastri mengerutkan kening, terkejut. “Belanja dari rumah? Bagaimana caranya? Apa kita harus mengirim uang lewat pos?”
Arya tertawa mendengar reaksi ibunya. “Tidak, Bu. Pembayaran digital sudah sangat canggih. Kita hanya perlu perangkat seperti komputer atau ponsel, dan uang bisa langsung diterima oleh toko dalam beberapa detik.”
Sulastri menggelengkan kepala, takjub. “Dunia memang sudah jauh berbeda, ya. Tapi cerita tentang masa depan ini hanya membuat Ibu semakin ingin tahu. Sekarang, giliran Ibu bercerita. Kamu ingin tahu bagaimana ingatan Ibu kembali, kan?”
Arya mengangguk penuh semangat. “Iya, Bu. Bagaimana semuanya bermula?”
***
Sulastri menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Sebelum itu, Ibu harus ceritakan latar belakang keluarga Ibu dulu. Kamu tahu, kan, kalau kakekmu adalah seorang guru desa?”
Arya mengangguk. “Ya, Kakek adalah seorang guru. Tapi itu saja yang saya tahu.”
“Yang tidak kamu tahu,” lanjut Sulastri, “adalah bahwa kakekmu sebenarnya seorang pangeran atau Bupati pada masa penjajahan Belanda. Keluarga kita adalah keturunan bangsawan campuran Belanda dan Indonesia. Dari sebelah nenekmu, ada darah Tionghoa Palembang.”
Arya terkejut. Ia tidak pernah menyangka keluarganya memiliki silsilah seperti itu. “Jadi keluarga kita blasteran, Bu?”
Sulastri mengangguk. “Ya, tetapi masa itu tidak mudah. Setelah Indonesia merdeka, banyak keluarga keturunan Belanda mengalami diskriminasi. Puncaknya pada tahun 1950-an, ketika pemerintah mulai mendeportasi keturunan Belanda dari Indonesia. Untuk melindungi keluarga, kakek dan nenekmu mengungsi ke desa terpencil di Musi Banyuasin. Mereka hidup sederhana sebagai guru dan petani.”
Arya mendengarkan dengan penuh perhatian. Cerita ini membuka wawasan baru tentang masa lalu keluarganya.
“Ketika Ibu masuk SMP,” lanjut Sulastri, “kakekmu menerima surat dari saudarinya yang tinggal di Jakarta. Ternyata, saudarinya tidak diusir dari Indonesia karena menikah dengan seorang perwira. Mereka mulai berbisnis di Jakarta dan hidup berkecukupan.”
“Lalu apa yang terjadi?” Arya bertanya.
“Kakekmu selalu ingin Ibu sekolah setinggi mungkin. Jadi, setelah tamat SMP, Ibu dikirim ke Jakarta untuk tinggal bersama saudarinya dan melanjutkan sekolah di SMA di sana.”
***
Sulastri tersenyum tipis, mengenang masa itu. “Ingatan Ibu mulai kembali ketika Ibu kelas 3 SMA, di tahun 1966. Awalnya, Ibu pikir itu hanya mimpi-mimpi biasa. Tapi ada satu mimpi yang sangat jelas membuat Ibu mulai percaya bahwa itu lebih dari sekadar mimpi.”
“Mimpi apa, Bu?” Arya bertanya, penasaran.
“Mimpi itu tentang nomor lotere,” jawab Sulastri. “Di sana, Ibu melihat nomor pemenang hadiah utama. Karena iseng, Ibu membeli nomor itu. Dan ketika undiannya diumumkan, Ibu benar-benar menang. Hadiah utamanya Rp 500.000.”
Arya terkejut. “Waktu itu masih ada lotere, Bu?”
Sulastri mengangguk. “Iya, tapi itu lotere terakhir. Tidak lama setelah itu, pemerintah menutup semua bentuk perjudian.”
Arya terkekeh. “Jadi uang hadiah itu menjadi modal pertama Ibu?”
“Betul sekali,” jawab Sulastri. “Uang itu Ibu gunakan untuk membuka usaha grosir di Jakarta Selatan. Ibu membeli barang-barang kebutuhan pokok, pakaian, kain, dan peralatan dapur. Dalam sebulan, usaha itu berkembang pesat. Tapi Ibu tidak melupakan pesan kakekmu untuk tetap fokus pada pendidikan. Jadi, Ibu mengikuti ujian masuk Universitas Indonesia dan diterima di jurusan Ekonomi Manajemen.”
Arya terkesan. “Jadi Ibu kuliah sambil menjalankan bisnis?”
“Ya,” jawab Sulastri sambil tersenyum. “Dengan keuntungan dari usaha grosir, Ibu mulai membeli properti. Kebetulan, bibi Ibu punya bisnis real estate. Ibu membeli rumah-rumah yang dijual olehnya, lalu menyewakannya kembali. Dalam waktu empat tahun, Ibu memiliki 24 rumah, 3 apartemen, dan satu kompleks pertokoan di Jakarta.”
Arya merasa kagum dengan kegigihan ibunya. “Lalu apa yang terjadi setelah Ibu lulus kuliah?”
***
“Pada tahun 1970, Ibu menyelesaikan S2,” kata Sulastri. “Ibu berniat pulang ke Sumatera Selatan untuk menemui kakekmu dan… mencari ayahmu.”
Arya tersenyum kecil. “Jadi Ibu sudah tahu Ayah sejak saat itu?”
Sulastri tertawa pelan. “Tentu saja. Tapi kami tidak saling tahu keberadaan masing-masing. Ayahmu sering mencari Ibu di Sekayu, sementara Ibu sibuk kuliah di Jakarta. Baru ketika Ibu kembali ke Sumatera Selatan untuk membantu penelitian Profesor Sugiharto di Lubuklinggau, Ibu dan Ayah akhirnya bertemu.”
Arya semakin penasaran. “Bagaimana Ibu bertemu dengan Ayah? Apa ceritanya romantis?”
Sulastri tersenyum, tampak sedikit malu. “Itu biar Ayahmu yang cerita. Tapi Ibu bisa bilang, pertemuan kami adalah momen yang tidak akan pernah Ibu lupakan.”
***
Amanda tiba-tiba berlari ke arah mereka, menarik tangan ibunya. “Bu, Amanda mau mandi!”
Sulastri tertawa kecil dan berdiri. “Arya, kita lanjutkan lain waktu, ya. Ibu harus menyiapkan makan malam juga.”
Arya mengangguk sambil tersenyum. Ia merasa cerita ibunya memberikan wawasan baru tentang masa lalu keluarganya. Sambil memandang pohon jambu yang rindang, ia mulai memikirkan langkah-langkah besar yang bisa ia ambil untuk melanjutkan perjalanan keluarga mereka.
Sore itu, setelah Sulastri masuk ke rumah untuk memandikan Amanda dan menyiapkan makan malam, Arya masih duduk di bawah pohon jambu. Pikirannya sibuk mencerna cerita ibunya tentang perjuangan masa lalu, tetapi satu hal terus mengusiknya: bagaimana kedua orang tuanya akhirnya bertemu.
Setelah beberapa waktu, Brata keluar dari garasi, mengelap tangannya yang kotor akibat memeriksa kendaraan. Melihat Arya duduk sendirian, ia mendekat.
“Kenapa melamun sendiri, Arya?” tanya Brata sambil duduk di kursi kayu di bawah pohon.
Arya menoleh, tersenyum tipis. “Baru saja mendengar cerita dari Ibu tentang bagaimana ingatan masa depannya kembali. Tapi ada bagian yang tidak dia ceritakan, Ayah.”
“Oh ya? Apa itu?” tanya Brata sambil menyandarkan tubuhnya.
“Ayah dan Ibu. Bagaimana kalian akhirnya bertemu?” Arya menatap Brata dengan penuh rasa ingin tahu.
Brata terdiam sejenak, seperti mengenang sesuatu yang penting. “Ah, itu cerita panjang,” katanya sambil tersenyum. “Tapi kalau kamu ingin tahu, baiklah. Ayah akan ceritakan.”
***
“Setelah Ayah lulus dari SPN Betung dan ditempatkan di Tanjung Enim, Ayah tahu bahwa Ibumu berada di Sumatera Selatan, tapi tidak tahu di mana tepatnya. Berdasarkan ingatan, Ayah tahu kami pertama kali bertemu di Sekayu, jadi Ayah sering datang ke sana pada hari libur.”
Arya menyimak dengan serius, membayangkan betapa sulitnya mencari seseorang di masa itu tanpa teknologi modern.
“Ayah mencari ke Sekayu, bahkan ke desa-desa di sekitarnya, tapi selalu menemui jalan buntu,” lanjut Brata. “Kadang Ayah berpikir, mungkin ingatan itu salah, atau mungkin Ayah memang tidak akan pernah bertemu dengannya.”
Arya menatap ayahnya dengan penuh simpati. “Apa Ayah sempat merasa ingin menyerah?”
Brata mengangguk. “Tentu saja. Setelah bertahun-tahun mencari tanpa hasil, Ayah mulai berpikir untuk berhenti. Tapi suatu hari, pada tahun 1970, ketika Ayah cuti dan mengunjungi Lubuklinggau untuk urusan dinas kecil, Ayah melihat seseorang di pasar tradisional. Seorang wanita muda yang sangat mirip dengan gambaran di ingatan Ayah.”
Arya tersenyum, membayangkan momen itu. “Dan itu Ibu?”
“Ya, itu Ibumu,” jawab Brata sambil tersenyum. “Dia sedang membantu seorang pria tua membawa barang belanjaan. Ayah hampir tidak percaya pada pandangan pertama.”
***
Brata melanjutkan ceritanya dengan antusias. “Ayah mendekatinya, mencoba memastikan bahwa dia benar-benar Sulastri. Awalnya dia terkejut, tapi begitu Ayah menyebut namanya, dia langsung sadar bahwa Ayah juga memiliki ingatan masa depan.”
“Tapi tentu saja, pertemuan itu baru permulaan. Masalah sebenarnya baru muncul ketika Ayah harus bertemu dengan kakekmu, Juardi van Bern.”
Arya mengangkat alisnya. “Kenapa? Apa Kakek tidak setuju dengan hubungan kalian?”
Brata tersenyum tipis. “Kakekmu tidak menyukai Ayah pada awalnya. Menurutnya, polisi adalah simbol trauma masa lalunya. Dia bercerita bahwa ketika dia masih muda, orang tuanya dan saudara-saudaranya ditangkap oleh aparat polisi dan dideportasi ke Belanda.”
“Kakekmu adalah pria yang sangat keras kepala,” lanjut Brata. “Dia tidak langsung mempercayai Ayah, dan bahkan menuduh Ayah hanya ingin memanfaatkan keluarganya. Tapi Ayah tidak menyerah. Ayah terus datang ke rumahnya, membantu pekerjaan sehari-hari, dan mencoba menunjukkan bahwa niat Ayah tulus.”
Arya menyimak dengan saksama. Ia bisa merasakan betapa beratnya perjuangan ayahnya untuk mendapatkan restu. “Apa yang akhirnya membuat Kakek luluh?”
Brata tersenyum, mengenang momen itu. “Suatu hari, ketika Ayah sedang membantu memperbaiki pagar rumahnya, Kakek bertanya kenapa Ayah mau bersusah payah. Ayah menjawab bahwa Ayah tidak hanya mencintai Ibumu, tapi juga menghormati keluarganya. Ayah bilang, 'Jika saya hanya menginginkan hubungan mudah, saya tidak akan berjuang seperti ini.'”
Arya tersenyum kecil. “Dan itu berhasil?”
“Tidak langsung,” jawab Brata sambil tertawa kecil. “Tapi perlahan-lahan, Kakek mulai melihat Ayah sebagai seseorang yang pantas. Dia melihat bahwa Ayah tidak hanya seorang polisi, tapi juga seseorang yang bisa diandalkan.”
“Setelah beberapa bulan, Kakek akhirnya memberi restunya. Tapi dia memberi satu syarat: Ayah harus membuktikan bahwa Ayah bisa memberikan masa depan yang stabil untuk Ibumu.”
Arya mengangguk. “Dan Ayah membuktikannya dengan semua usaha dan investasi Ayah.”
“Betul,” kata Brata. “Dan dari situlah perjalanan kami sebagai pasangan dimulai. Kami menikah pada akhir tahun 1971, dan tidak lama setelah itu, kami pindah ke Sekayu.”
Arya tersenyum lebar. Ia merasa bahwa cerita ini tidak hanya mengungkap masa lalu orang tuanya, tetapi juga memperlihatkan betapa kuatnya cinta dan tekad mereka.
***
Matahari mulai terbenam di ufuk barat, mewarnai langit dengan gradasi oranye dan merah muda. Brata berdiri, meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah seharian bekerja.
“Ayah, terima kasih sudah bercerita,” kata Arya sambil tersenyum.
Brata menepuk pundak Arya dengan lembut. “Ingat, Arya. Tidak ada yang datang dengan mudah. Tapi jika kamu punya tekad dan niat yang baik, semua bisa dicapai.”
Arya mengangguk, merasa bahwa dirinya telah belajar sesuatu yang sangat berharga. “Saya akan ingat itu, Ayah.”
Ketika Brata masuk ke rumah untuk bergabung dengan Sulastri dan Amanda, Arya tetap duduk di bawah pohon jambu, memikirkan cerita itu. Ia merasa bahwa keluarganya adalah contoh nyata bagaimana keberanian, ketekunan, dan cinta bisa mengatasi segala rintangan.
note: tolong bantu komen, like dan share agar author lebih bersemangat bercerita. Terima kasih.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa