Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyaris bangkrut
Hari ini Reca benar-benar senang. Tidak ada kata kesepian karena Bu Lena menemaninya seharian. Memanfaatkan kesempatan, Reca meminta diajari memasak masakan kesukaan Leo. Tidak lupa ia mencatat menu favorit dan cara memasaknya.
"Leo beruntung punya kamu. Udah cantik, baik, mau belajar lagi." Bu Lena memuji menantu kesayangannya.
"Tapi belum punya anak ya, Bu." Reca tertunduk.
Hal ini menjadi ketakutannya. Selama ini Bu Lena selalu memujinya. Seingatnya, tidak pernah Reca merasa tersinggung atas ucapan mertua idamannya itu. Tapi jujur saja, saat Bu Lena memujinya habis-habisan ada rasa minder karena ia belum hamil.
Bu Lena memang tidak pernah bertanya atau sedikitpun menyinggung tentang hal itu. Bagi Bu Lena, pernikahan itu bukan sekedar memiliki anak saja. Belajar untuk menjadi pasangan yang baik adalah hal yang terpenting. Walaupun Reca tahu, hati kecilnya tentulah berharap segera menimang cucu.
"Tenang saja. Ibu juga masih menikmati status jadi mertua. Belum siap-siap jadi nenek nih," jawab Bu Lena sambil tertawa.
Ya, Bu Lena memang benar-benar idaman. Tidak pernah sekalipun ia menyakiti Reca. Tidak seperti kebanyakan mertua yang menuntut untuk merajakan anaknya, Bu Lena justru berusaha meratukan menantunya.
"Ini sudah jam 5?" tanya Bu Lena saat melihat jam berwarna gold yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Iya. Ibu gak ada yang jemput? Aku pesenin gojek ya bu?" tawar Reca.
"Kamu ngusir Ibu?" tanya Bu Lena cemberut.
"Eh, bukan gitu Bu." Reca terlihat panik.
Bu Lena segera tersenyum saat melihat Reca panik. Bukan karena ingin pulang, Bu Lena hanya heran karena anaknya belum pulang.
"Leo biasa pulang jam berapa?" tanya Bu Lena.
"Biasanya jam lima sudah di rumah, Bu. Tapi kadang pulangnya malam. Tergantung kerjaan aja Bu," jawab Reca.
"Kok bisa gitu?" tanya By Lena.
"Ya bisa, Bu. Namanya kerja di bawah telunjuk orang. Kata Mas Leo susah," jawab Reca sambil tersenyum.
Kasihan kamu, Ca. Kamu seharian masak dan beres-beres rumah sendirian. Kamu pasti kesepian dan jenuh. Aku harus bikin bisnis buat Reca biar dia ada kegiatan.
Niat hati ingin bertemu dengan anaknya akhirnya pupus. Sebelum kemalaman, Bu Lena pun pamit setelah gojek menunggunya di depan rumah kontrakan. Sepanjang jalan, Bu Lena memikirkan Reca. Menantu kesayangannya. Ia merasa bangga karena tidak salah dapat menantu.
Pertemuan Bu Lena dan Reca di hari itu semakin yakin jika Leo berada di tangan yang tepat. Seharian Bu Lena memancing Reca, namun tidak ada sedikitpun kata-kata yang menyudutkan Leo. Berkali-kali Reca mengatakan beruntung memiliki Leo. Padahal menurut Bu Lena, Leo lah yang beruntung mendapatkan Reca.
Selama ini Bu Lena masih memantau perkembangan rumah tangga anaknya. Bukan untuk ikut campur, namun hanya untuk memastikan jika Reca dibahagiakan. Harga dirinya dipertaruhkan jika seandainya Leo menyakiti Reca.
Ca, apa Leo sudah pulang?
Sebuah pesan singkat diterima oleh Reca saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Mungkin sebentar lagi, Bu. Kayaknya kerjaan Mas Leo lagi banyak.
Sebuah pesan balasan dikirim Reca pada ibu mertuanya. Berharap jika mertuanya tidak mengomel pada Leo. Khawatir jika Leo berpikir ia mengadu pada ibunya.
Ternyata Bu Lena menghubungi Leo setelah mendapat pesan balasan itu. Sayangnya, ponsel Leo tidak aktif. Hal itu membuat Bu Lena marah. Ia khawatir pada Reca yang tengah sendirian di rumah. Kekesalannya pun ia tumpahkan pada suaminya.
"Anak Bapak ini bikin malu," ucap Bu Lena kesal.
Suami Bu Lena hanya tersenyum saat Bu Lena marah-marah. Memang begitu biasanya. Suaminya memilih diam dan menghindari perdebatan. Namun dibalik diamnya, Pak Mardi bergerak cepat.
Tahu ponsel anaknya tidak bisa dihubungi, Pak Mardi mengirim voice note. Mengingatkan anaknya bahwa ada tanggung jawab besar yang tidak bisa diabaikan. Selama ini Pak Mardi berusaha mendidik Leo agar menjadi laki-laki sejati. Tidak menyakiti perempuan.
Perhatiannya pada Leo tidak pernah lepas. Setelah menikah, Pak Mardi justru mengamati pernikahan anaknya. Sama seperti Bu Lena, hanya saja Pak Mardi tidak terang-terangan. Ia akan mengumpulkan informasi, setelah itu mengeksekusi sendiri dengan caranya.
Cara mendidik ayah dan ibu mungkin berbeda. Tapi tujuannya sama, untuk kebahagiaan anak-anaknya. Bagi keluarga mereka, pernikahan itu hal sakral dan ibadah sepanjang hidup. Tidak boleh ada pengkhianatan sedikitpun.
"Kalau sampai Leo macam-macam, lihat saja. Ibu akan bikin perhitungan sama dia," gerutu Bu Lena.
"Ibu ini, udah lah jangan berpikiran yang jelek sama anaknya. Ingat ya, seucap kata adalah doa." Pak Mardi mengingatkan Bu Lena dengan wajah datarnya.
"Ih bapak," ucap Bu Lena kesal.
Apa yang dibayangkan Bu Lena tidak seperti yang terjadi. Pada kenyataannya kali ini Leo memang telat karena banyaknya pekerjaan. Pengurangan jumlah karyawan membuat Leo kewalahan. Hampir menyerah jika tidak ingat masa depan istrinya.
"Maaf ya sayang," ucap Leo saat istrinya membuka pintu rumah kontrakannya.
"Kamu kehujanan, Mas? Gak pake jas hujan?" tanya Reca sambil mengusap wajah Leo yang basah dengan air hujan.
"Ketinggalan," jawab Leo lesu.
Ya, memang sudah lama tidak hujan, makanya Leo tidak membawa jas hujan di motornya. Hujan juga turun setelah
"Sebentar," ucap Reca.
Dengan cepat Reca membawa handuk dan mengelap suaminya. Ia segera menyiapkan air hangat untuk mandi. Saat Leo sedang mandi, Reca juga menyiapkan teh hangat.
"Terima kasih ya sayang," ucap Leo sesaat setelah meneguk teh hangat.
Reca hanya mengangguk dan menatap Leo yang terlihat begitu lelah.
"Mba Ara ngamuk lagi ya, Mas?" tanya Reca sambil memijat tangan Leo.
"Mba Ara udah aman di RSJ. Mas pulang terlambat karena banyak kerjaan. Kalau gak inget kamu, Mas udah mau mundur. Capek," keluh Leo.
"Loh? Ini kan perusahaan yang Mas mimpikan. Kenapa mundur?" Reca balik bertanya.
Leo merasa kurang beruntung. Setelah ia berhasil masuk di perusahaan itu, ternyata keadaan perusahaan sedang turun bahkan nyaris bangkrut.
"Aku kebagian bangkrutnya. Gak tahu satu atau dua bulan lagi kayaknya bener-bener tutup tuh perusahaan," ucap Leo.
Reca tidak berkomentar. Ia hanya menatap suaminya dengan lekat. Laki-laki yang sering ia tuduh macam-macam itu ternyata berjuang mati-matian untuknya. Ia menyesal dengan pikiran buruknya.
"Mas, kalau capek jangan dipaksakan. Nanti kita cari kerja lagi. Aku bisa bantu kok. Ayo kita bikin surat lamaran bareng!" ajak Reca.
Leo menatap Reca. Apa tidak salah dengar? Benarkah Reca juga ingin bekerja? Apakah semua karena Leo yang terlalu manja dan mudah menyerah?
"Maafin Mas ya sayang. Mas banyak ngeluh. Mas janji akan lebih kuat lagi. Kalaupun perusahaan bangkrut, Mas janji akan cari kerja lagi. Kamu jangan khawatir ya! Mas gak akan biarin kamu susah," ucap Leo.
"Mas," ucap Reca dengan mata berlinang.
Leo segera memeluk Reca dalam dekapannya. Menenangkan istrinya agar tidak takut menghadapi badai rumah tangga. Ini belum seberapa. Mungkin di depan masih banyak badai yang harus mereka lalui. Leo berjanji pada dirinya sendiri akan lebih kuat dan tenang. Keluh kesahnya hanya akan membuat Reca sedih, dan kesedihan Reca akan terasa lebih perih bagi Leo.
maaf ya
semangat