Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Arka sedang duduk di ruang tunggu bandara, memandangi layar ponselnya. Pesan dari Siera masuk, dan ia melihat kata-kata yang penuh emosi itu terpampang jelas di layar.
“Arka, lo bener-bener jahat! Gue benci lo yang kayak gini!”
Ia menarik napas panjang. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu ini adalah keputusan yang sudah ia buat. Pergi tanpa pamit adalah cara terbaik menurutnya, meskipun ia tahu akan melukai Siera.
“Maaf, Sie,” gumamnya pelan, meskipun ia tahu Siera tidak akan pernah mendengar permintaan maaf itu.
Arka tidak membalas pesan itu. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan mencoba mengalihkan pikirannya dengan memandangi orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Namun, bayangan Siera terus muncul di benaknya.
Flashback On
Arka sedang membereskan barang-barangnya di kamarnya ketika terdengar ketukan di pintu. Arumi, ibunya, masuk dengan senyum hangat, meskipun tatapan matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Ka, kamu yakin nggak mau ngabarin Siera? Dia pasti sedih kalau tahu kamu pergi begitu aja," tanya Arumi sambil bersandar di pintu.
Arka, yang sedang melipat jaket, berhenti sejenak. Ia menoleh, lalu menjawab dengan nada datar, "Nggak usah, Ma. Dia pasti ngerti."
Tatapan Arumi melembut, kemudian ia berjalan mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. "Kalian bertengkar? Kok Mama jarang lihat kamu bareng Siera belakangan ini? Padahal dulu kalian kemana-mana selalu bareng."
Arka mengalihkan pandangannya ke koper yang hampir penuh. "Nggak, Ma. Nggak ada apa-apa kok."
"Mama nggak percaya. Mama juga kangen loh, Ka. Siera udah lama nggak main ke rumah," ujar Arumi dengan nada lembut.
"Setelah Arka pergi nanti, Mama bebas kok ngajak Siera ke rumah kapan pun dia mau," jawab Arka santai, meskipun nada suaranya jelas menghindar.
"Ya kan itu beda, Sayang. Kamunya yang nggak ada dong," balas Arumi sambil duduk di tepi ranjang, memandangi Arka yang sibuk mengemas barang.
Arka berhenti sejenak, menatap ibunya. "Ma, Siera juga pasti nggak masalah kok," ucapnya dengan nada meyakinkan, meskipun senyum kecil di bibirnya tampak dipaksakan.
Arumi mengamati anaknya dalam diam. Sebagai seorang ibu, ia tahu ada sesuatu yang tidak diceritakan Arka. "Siera itu anak baik, Ka. Kalau kalian ada masalah, mending diselesaikan sebelum kamu pergi. Jangan tinggalkan sesuatu yang belum tuntas."
"Masalahnya nggak di dia, Ma," jawab Arka pelan, tatapannya kembali pada koper yang sudah hampir penuh.
"Kalau gitu, masalahnya di kamu?" Arumi memiringkan kepala, menunggu penjelasan lebih lanjut.
Arka tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu berkata, "Udah, Ma. Jangan khawatir. Semua baik-baik aja." Namun, dari caranya menghindari pembicaraan, Arumi tahu bahwa hal itu jauh dari kenyataan.
Flashback Off
Siera menghabiskan hari-harinya di kamar, menatap kosong ke dinding. Rasanya tidak adil. Selama ini, ia selalu ada untuk Arka, di setiap saat baik maupun buruk. Tetapi saat-saat terakhir mereka justru diisi dengan jarak dan kebisuan.
Ia memegang ponselnya lagi, berharap ada pesan dari Arka. Namun layar tetap kosong, hanya menyisakan rasa sakit yang semakin dalam. Siera sudah terlalu lelah menunggu. Seharusnya dia tidak perlu berharap. Jika Arka benar-benar peduli, dia pasti akan memberi penjelasan. Tapi kenyataannya, ia pergi tanpa kata.
"Kalau ini yang lo mau, ya udah," gumamnya pelan, mulutnya terasa kering. "Tapi jangan pernah berharap gue bisa maafin lo."
Ia melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur, lalu berdiri dan berjalan menuju jendela. Malam itu, udara terasa dingin, namun hati Siera jauh lebih dingin lagi. Ia mencoba menyibukkan dirinya dengan melukis atau sekedar membaca novel favoritnya, tetapi pikirannya terus kembali kepada Arka. Pada cara ia pergi tanpa pamit, pada semua momen yang telah mereka lewati bersama, dan pada persahabatan yang perlahan memudar tanpa alasan yang jelas.
Siera menarik napas panjang, lalu menutup matanya. Seperti biasa, bayangan Arka muncul begitu saja, seperti hantu yang tak bisa ia usir. Setiap kenangan yang dulu terasa indah kini terasa seperti belati yang menusuk. Mereka pernah berbagi tawa, menangis bersama, dan merencanakan masa depan yang cerah. Tapi kini, semuanya terasa kosong.
Hati kecilnya berbisik bahwa ia mungkin terlalu keras pada Arka. Bahwa mungkin Arka punya alasan untuk pergi seperti itu. Bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih besar yang ia sembunyikan. Tetapi ego dan rasa sakitnya terlalu besar untuk mendengarkan suara hatinya.
"Kenapa lo nggak bilang langsung, Ka? Kenapa harus pergi diam-diam kayak gini?" bisiknya, meskipun ia tahu jawabannya tidak akan datang.
Siera berdiri, meraih jaket yang tergantung di kursi, lalu melangkah keluar kamar. Ia butuh udara segar, meskipun rasanya tidak akan mengurangi perasaan yang menggerogoti hatinya. Di luar, langit gelap dan sunyi. Hanya suara angin yang terdengar mengusap dedaunan.
Tibalah Siera di taman itu, tempat yang penuh kenangan masa kecilnya bersama Arka. Taman yang dulu menjadi saksi kebersamaan mereka saat bermain, berlari-lari, dan saling berbagi cerita. Bahkan ketika usia mereka mulai beranjak remaja, taman itu tetap menjadi tempat favorit untuk sekadar duduk-duduk, berbincang sambil menikmati senja, dan tertawa lepas tanpa beban. Kini, taman tersebut terasa begitu berbeda, bukan karena suasananya yang berubah, melainkan karena kerinduan akan momen-momen indah bersama Arka yang kini hanya tinggal kenangan.
“Gue nggak tahu lagi, Ka. Gue bingung.” Ia berbicara pada bintang, berharap seolah-olah bintang itu bisa memberinya jawaban. “Kenapa harus begini? Kenapa semuanya harus berakhir dengan kebisuan?”
Ia menutup matanya, mencoba merasakan kedamaian meskipun perasaan kacau memenuhi dada. Beberapa detik kemudian, ia meraih ponselnya lagi, membuka galeri foto, dan menemukan gambar Arka yang diambil beberapa bulan lalu saat mereka menghabiskan waktu bersama. Senyum Arka di foto itu begitu hangat, penuh kebahagiaan. Ia hampir bisa merasakan kehadirannya di sampingnya.
"Kenapa kita berubah, Ka?" tanyanya lirih, seolah-olah Arka bisa mendengarnya dari jauh.
"Apa gue nggak cukup baik selama ini jadi sahabat lo? Atau mungkin gue nggak pernah benar-benar ngerti lo?"
Siera merasakan hatinya yang semakin rapuh. Ia ingin sekali menyelesaikan semuanya, berbicara dengan Arka, mengungkapkan semua perasaan yang tertahan. Tetapi Arka sudah tidak ada disampingnya lagi.
Hari-hari Siera berlalu dalam keheningan. Ia mencoba tetap sibuk, menjalani aktivitas seperti biasa, tapi bayangan Arka selalu menghantui. Kekosongan itu tak tergantikan, seperti ruang yang terlalu besar untuk diisi oleh siapa pun.
Namun, waktu, meski perlahan, menjadi sekutunya. Siera mulai menerima kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Arka pergi tanpa memberitahunya, dan mungkin ini adalah akhir dari cerita mereka. Pertemanan sejak kecil yang yang dimulai dengan hangat, namun kini berakhir dalam dinginnya kesunyian. . Ia sadar, ada hal-hal yang tidak selalu membutuhkan jawaban. Mungkin juga ada alasan di balik kepergiannya, tetapi Siera memilih untuk tidak mencarinya.
Kadang, orang yang paling lo percaya pun bisa ninggalin lo tanpa alasan.