Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NASIB CELIA
Rion duduk di kursi belakang di sebelah Celia sementara Kevin memarkir mobil.
"Kita sudah sampai," katanya sambil memandang rumah tua itu.
"Terima kasih," kata Celia sambil membuka pintu mobilnya. Rion mengikutinya, dan mereka berdua berjalan mengelilingi mobil menuju trotoar.
"Kalau kalian butuh sesuatu, tinggal telepon saja ya," kata Kevin melalui jendela yang terbuka.
"Aku rasa tidak perlu," gumam Celia, berbalik menuju rumah, diikuti oleh Rion di belakangnya. Dia ingin segera pulang, tapi dia harus mengemas pakaian Rion terlebih dahulu agar bisa mengantarnya ke tempat Siska, lalu pergi ke bengkel.
"Mommy," panggil Rion sambil berdiri di ambang pintu saat Celia sedang mengemas barang-barangnya.
"Ya, Sayang?"
"Aku harus memanggilnya Daddy, ya?" tanya Rion sambil memainkan kuku jarinya dan memandang ke samping.
Celia berhenti mengemas barang dan mendekatinya, membungkuk agar sejajar dengan matanya.
"Kamu bisa memanggil dia apapun yang kamu mau, tunggu hingga kamu sudah siap. Dia bukan orang yang buruk, dan dia benar-benar sayang pada Rion, kamu akan mengerti nanti. Semuanya hanya sedang rumit sekarang," katanya sambil mengusap lengan Rion dengan tangannya.
"Mommy membenci dia, kan?"
Celia menggelengkan kepala dan menarik napas.
"Mommy tidak membenci dia."
"Tapi dia menyakiti Mommy, kan?" tanya Rion, menatapnya dengan mata abu-abu yang redup.
"Dia membuat Mommy menangis."
Celia terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Rion, ketika dua orang saling mencintai, mereka lebih mudah saling menyakiti," katanya. Rion mengangguk pelan.
"Mommy akan baik-baik saja, apapun yang terjadi. Kita bisa melewati segalanya," tambahnya dengan senyum kecil.
"Kita ini keluarga Wiguna, ingat?" Dia meraih tangan kecil Rion, dan anak itu membalas dengan senyum tipis.
<><><><><>
Begitu dia mengantar Rion ke rumah Siska, Celia langsung menuju bengkel. Di sana, beberapa reporter sudah menunggunya di area parkir.
"Hebat," gumamnya.
Celia memarkir mobil dan keluar. Dia berjalan cepat melewati para reporter, yang dua di antaranya langsung berlari mendekatinya sambil membawa kamera, salah satunya dengan mikrofon.
"Tidak ada komentar." Itu kan yang biasa mereka katakan di film, pikir Celia. Dia masuk ke dalam bengkel dan langsung menekan tombol untuk menutup pintu garasi, memastikan para reporter tetap di luar dan dia aman di dalam.
"Celia."
Dia menoleh dan melihat Rudi dengan clipboard di tangan, sedang menandatangani sesuatu untuk Eric.
"Ke kantorku sekarang!" katanya.
"Sial," gumamnya pelan sambil berjalan ke belakang. Eric memandangnya dengan sedikit cemas, membuatnya merasa tidak nyaman. Begitu masuk ke kantor Rudi, pintu langsung ditutup, dan Celia duduk di salah satu kursi.
"Celia, aku tahu saat-saat seperti ini pasti sulit bagimu," kata Rudi sambil berjalan ke mejanya.
"Maafkan saya, karena terlambat hari ini," ucap Celia, menatapnya.
"Tadi saya harus mengantar Rion ke rumah Siska dan menunggu para reporter pergi dari halaman depan," tambahnya cepat, berusaha menjelaskan keterlambatannya.
"Aku tahu, aku juga punya televisi," balas Rudi sambil duduk di kursinya.
Celia terdiam sambil menatap Rudi.
"Kemarin kamu memukul Ivan, meninggalkan pekerjaanmu tanpa penyelesaian, dan kamu terlambat hampir setiap hari pada minggu ini," kata Rudi dengan nada serius.
"Saya harus mengantar Rion ke sekolah sendirian," Celia menjelaskan sambil menghela napas.
"Saya akan berusaha lebih keras. Saya janji mulai hari ini saya akan datang tepat waktu."
"Aku tidak tahu." Rudi mengambil sebuah amplop dan mengetuknya di atas meja.
"Kamu pekerja keras, seseorang yang biasanya bisa kuandalkan, tapi mari jujur, kamu sedang kesulitan."
"Tolong, saya hanya perlu waktu untuk menata semuanya," kata Celia memohon.
"Celia, aku sudah kehilangan lebih banyak uang sejak ayahmu meninggal daripada yang pernah kualami dalam enam bulan terakhir. Dan sekarang, dengan semua omong kosong tentang anak Ethan ini," Rudi menghela napas berat dan mengetuk meja.
"Kami tidak bisa terus membiarkan reporter berkeliaran di area ini, mengusir pelanggan, atau menutup pintu selama jam kerja untuk menghalangi mereka masuk ke bengkel."
"Pak Rudi, tolong," kata Celia putus asa.
"Maaf, Celia." Rudi menyerahkan amplop itu kepadanya. "Kamu terlalu berisiko saat ini, dan aku tidak mampu mempertahankanmu."
"Pak Rudi, aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Aku akan kehilangan rumah dan tokoku," kata Celia dengan suara bergetar.
"Kamu tidak bisa memiliki segalanya," jawab Rudi sambil menatapnya.
"Aku minta maaf, tapi aku sudah mengambil keputusan. Pada akhirnya, aku pikir kamu akan menyadari ini adalah solusi yang lebih baik."
Setetes air mata mengalir di pipi Celia.
"Aku akan memberimu waktu untuk mengumpulkan barang-barangmu, tapi kupikir sebaiknya kamu pergi sebelum Ivan kembali dari makan siangnya," kata Rudi.
Celia mengangguk, menghapus air mata di pipinya, lalu menatap amplop di tangannya. "Saya akan mengosongkan lokerku," katanya pelan sambil berjalan menuju pintu.
<><><><><>
Celia mengambil salah satu kotak dari pengiriman suku cadang dan berjalan ke belakang untuk mengambil barang-barangnya dari loker. Bengkel itu sunyi, hanya terdengar suara pelan saat dia terisak dan menahan air mata. Tubuhnya terasa lelah dan berat, pikirannya dipenuhi kekacauan. Celia cepat-cepat mengangkat tangannya untuk menghapus air mata ketika Eric muncul di sebelahnya.
"Aku benar-benar minta maaf, Celia. Pak Rudi memintaku memastikan kamu segera keluar dari area ini," katanya sambil bersandar di salah satu loker.
"Aku mengerti, kamu hanya menjalankan tugasmu," jawab Celia dengan suara serak, lalu menghela napas.
"Astaga, ini sangat menyebalkan."
"Aku bisa membayangkannya."
Celia menutup lokernya dan mengangkat kotaknya, memeluknya erat saat Eric berjalan di sampingnya. Mereka berjalan dengan hening melewati bengkel, semua mata tertuju padanya. Celia merasakan air mata lain mengalir di pipinya, lalu menghela nafas panjang.
"Kurasa kita akan bertemu lagi."
"Ya, jaga dirimu baik-baik, ya," kata Eric sambil membuka pintu garasi.
Setelah Celia berada di luar dengan barang-barangnya di tangan dan pintu tertutup di belakangnya, meninggalkannya sendirian, dia menahan isak kecil dan berbalik menuju mobilnya.
"Celia, apa yang terjadi?" tanya seorang wanita sambil mengarahkan mikrofon ke wajahnya.
Celia terkejut dan melangkah mundur, berusaha menghindari wanita itu.
"Celia, apakah kamu baru saja dipecat? Apakah kamu ingin mengatakan sesuatu?" tanya seorang pria sambil memegang perekam di dekat bibirnya.
Celia mengabaikan mereka dan terus berjalan, tujuannya hanya untuk masuk ke mobil dan menutup pintu.
"Tersenyum dan katakan cheese," ujar seorang pria sambil mengambil foto.
Air mata lain jatuh di pipi Celia. Akhirnya, mobilnya sudah di depan mata, dan dia merogoh kunci mobilnya dengan susah payah sambil mencoba agar kotak di tangannya tidak terjatuh.
"Jadi, apakah kamu akan pindah bersama Ethan?" pria dengan perekam muncul kembali, dan Celia menggelengkan kepala.
"Jadi bisa dibilang kamu akan meminta tunjangan anak?"
"Aku tidak tahu," jawab Celia, menjatuhkan kuncinya dan menghela napas panjang. Yang dia inginkan hanyalah masuk ke mobil. Sambil membungkuk untuk mengambil kuncinya, dia meletakkan amplop di mulut agar satu tangannya bebas. Pria dengan kamera mendekat, mengambil foto, sementara Celia mencoba melindungi dirinya dengan kotak yang dia bawa.
"Ayolah, manis, tunjukkan senyumanmu itu, yang membawamu ke kehidupan nyaman," ucap pria itu sambil terkekeh.
"Kamu tidak perlu bekerja lagi seumur hidupmu," tambahnya sambil semakin mendekat.
Celia menghindar ke samping, tapi malah kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Saya melaporkan langsung dari Rudi's Garage, di mana Celia, kekasih terbaru Ethan, baru saja dipecat. Beberapa orang menyebut ini momen yang pas, sementara yang lain mengatakan ini terlalu mudah," ujar pria dengan mikrofon ke kamera, membuat Celia merasa frustrasi. Dia berusaha mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan ke dalam kotak.
"Celia, apakah kamu hamil karena tahu Ethan akan mencapai puncak karirnya?" tanya pria dengan perekam, mendorong perekam itu kembali ke wajahnya.
"Tidak ada komentar, tolong tinggalkan aku sendiri," kata Celia sambil mengambil kuncinya dan berdiri.
"Ayolah, manis, tunjukkan pesonamu, ya?" ujar pria dengan kamera sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkannya dengan isyarat yang menjijikkan. Celia mengerutkan dahi, merasa jijik. Dia membuka pintu mobilnya dan memasukkan barang-barangnya ke dalam.
"Aku bisa memuaskanmu di belakang mobilku kapan saja," gumam pria itu sambil terkekeh.
Celia berbalik dan berkata, "Tolong tinggalkan aku sendiri."
Pria itu mendekat. "Apa aku harus membayar untuk bisa masuk ke dalam celanamu?" katanya sambil memotret wajah Celia dari jarak dekat.
Celia mendorong pria itu mundur, tapi dia kembali mendekat dengan kameranya siap memotret lagi. Celia meraih kamera pria itu, lalu menghancurkannya ke lantai.
"PERGI!!!," katanya sambil menginjak kamera itu.
Celia membungkuk dan mengambil pecahan kamera lalu,
"TINGGALKAN AKU SENDIRI!!,” dia berseru sambil melemparkan potongan kamera itu ke arah para reporter.
Mereka semua mulai mundur sambil menggerutu, menyebut Celia gila, sementara Celia terus berteriak dan melemparkan barang-barang ke arah mereka.
(Klik like dan beri komentarnya ya, kritik dan saran sangat membantu, episodenya masih panjang jadi jangan bosan-bosan untuk membaca ceritaku, terima kasih.)