Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦠꦶꦒꦥꦸꦭꦸ
Herlic membantu Mela masuk ke dalam kamar sederhana yang penuh dengan perabotan yang sudah terlihat tua. Ia memapah Mela dengan hati-hati, memastikan gadis itu tidak kesakitan. Ketika Mela akhirnya duduk di kasur kecil yang ada di pojok ruangan, Herlic melepaskan genggaman tangannya.
"Ayo, sekarang kau harus beristirahat dahulu," ujar Herlic dengan nada tegas tapi lembut, berbeda dari biasanya.
Mela menunduk, masih merasa canggung dengan situasi itu. "Ma... makasih," gumamnya pelan. Kata itu terasa sulit keluar dari mulutnya, apalagi mengingat siapa yang baru saja menolongnya.
Herlic hanya mengangguk kecil sambil menatapnya sejenak. "Sama-sama. Kakimu kelihatannya membengkak, jadi jangan terlalu banyak bergerak," katanya sambil memeriksa kondisi kaki Mela. "Kalau begitu, kau tunggu di sini dulu ya. Aku akan memanggil tukang kusuk untukmu," tambahnya, sebelum akhirnya berbalik dan keluar dari kamar.
Saat pintu tertutup, Mela menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. "Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku? Mengapa dia bersikap seperti ini? Bukankah dia seorang Belanda yang selama ini memperlakukan kami dengan kejam?" pikir Mela.
Ia memandangi kakinya yang terasa nyeri, mencoba mengingat bagaimana Herlic menggendongnya dan membantunya dengan begitu serius. Rasa benci yang selama ini ia rasakan pada pria itu kini bercampur dengan rasa bingung.
Namun, Mela juga tahu bahwa ia tidak boleh lengah. "Mungkin ini hanya bagian dari siasatnya," gumamnya pelan pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada."
Di luar, Herlic berjalan cepat menuju tukang kusuk yang ia tahu biasa membantu orang-orang dengan cedera ringan. Ia tahu tindakannya mungkin dianggap aneh bagi sebagian orang, terutama bawahannya, tetapi ia tidak peduli. Ada sesuatu tentang Mela entah itu keberanian atau sikap keras kepala gadis itu yang membuat Herlic merasa bahwa ia harus melakukan ini.
Namun, di sudut pikirannya, Herlic juga merasa bingung. Ia adalah seorang pemimpin militer Belanda yang keras, dan membantu seorang pribumi seperti Mela seharusnya bertentangan dengan semua yang ia yakini. Tetapi, entah bagaimana, ia merasa bahwa membiarkan gadis itu terluka tanpa pertolongan adalah hal yang salah.
Dengan pikiran yang bercampur aduk, Herlic terus berjalan, membawa niatnya untuk membantu Mela meski ia sendiri belum sepenuhnya mengerti alasannya.
Herlic berjalan melewati para pekerja pribumi yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. Ia berhenti sejenak di dekat sekelompok pria yang sedang memindahkan tumpukan kayu. Wajahnya serius, dan suaranya tegas saat ia bertanya, "Apa kalian tahu di mana tukang kusuk di sekitar sini?"
Para pria itu saling pandang dengan ragu. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan wajah letih, akhirnya memberanikan diri menjawab. "Tukang kusuk, ya, Tuan?" tanyanya, sambil melirik Herlic dengan sedikit takut.
"Ya," jawab Herlic singkat, matanya tajam menatap mereka.
Pria tua itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah sebuah rumah kecil yang tampak berada di ujung jalan. "Di sana, Tuan. Itu tukang kusuk yang sering kami gunakan jasanya."
Herlic mengikuti arah yang ditunjukkan pria itu dengan pandangannya. Rumah kecil itu terlihat sederhana, hampir tersembunyi di antara pepohonan. "Terima kasih," ujarnya singkat, sebelum melangkah pergi.
Para pekerja pribumi itu menghela napas lega begitu Herlic menjauh. Mereka berbisik di antara mereka sendiri, merasa aneh melihat seorang pemimpin Belanda seperti Herlic mencari tukang kusuk, sesuatu yang biasanya tidak menjadi perhatian para penjajah.
Herlic tidak peduli dengan bisikan mereka. Ia terus berjalan menuju rumah yang dimaksud, dengan satu tujuan dalam pikirannya: memastikan Mela mendapatkan pertolongan untuk kakinya yang terluka. Di sisi lain, ia tahu bahwa tindakannya ini mungkin akan memunculkan pertanyaan, terutama dari sesama orang Eropa. Tapi, seperti biasa, Herlic tidak pernah terlalu peduli dengan opini orang lain.
Begitu ia sampai di depan rumah tukang kusuk, Herlic mengetuk pintu kayu yang sederhana itu dengan tegas, menunggu seseorang untuk membukanya.
Pintu kayu itu berderik pelan ketika seorang wanita tua membukanya. Wajahnya keriput, tetapi matanya tajam, menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sudah terbiasa bekerja keras. Ia menatap Herlic dengan sedikit ragu. Seorang pria Eropa jarang sekali datang ke rumahnya, apalagi mengetuk pintunya langsung.
"Tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan suara ramah, meskipun ada sedikit getar di nadanya.
Herlic, yang biasanya berbicara dengan nada otoritatif, kali ini memilih nada yang lebih tenang. "Aku butuh jasa tukang kusuk. Ada seseorang yang kakinya terluka dan perlu diobati," katanya.
Wanita itu mengangguk pelan. "Ah, baik, Tuan. Siapa yang terluka? Apakah saya harus pergi sekarang?"
"Ya, sekarang," jawab Herlic tegas. "Dia seorang perempuan muda. Kakinya terkilir dan membengkak."
Wanita tua itu segera mengambil tas kecil berisi peralatan sederhana yang biasa ia gunakan untuk memijat dan mengobati orang. "Tuan, silakan tunjukkan jalannya. Saya akan segera ikut," ujarnya dengan sigap.
Herlic memberi isyarat agar wanita itu mengikutinya. Keduanya berjalan kembali menuju tempat di mana Mela sedang menunggu. Sepanjang jalan, wanita tua itu melirik Herlic beberapa kali, merasa aneh bahwa seorang pria Belanda, sekaligus seorang pemimpin begitu peduli dengan seorang pribumi.
Setibanya di kamar Mela, wanita itu segera memeriksa kondisi Mela. "Kau harus beristirahat dan jangan terlalu banyak bergerak. Kalau tidak, pembengkakan ini akan semakin parah," ujarnya sambil mulai memijat kaki Mela dengan lembut.
Mela menahan rasa sakit, tapi matanya tetap memandang Herlic dengan penuh kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa pria ini begitu bersikap baik, meskipun jelas sekali bahwa ia adalah bagian dari orang-orang yang selama ini menindas bangsanya.
Wanita tua itu melanjutkan pekerjaannya dengan penuh konsentrasi, sementara suasana kamar menjadi hening. Herlic tetap berdiri di sana, mengamati Mela tanpa berkata apa-apa.
"Sudah selesai," ujar wanita tua itu dengan suara lembut. Ia meletakkan daun yang telah dibakar dengan minyak kusuk ke atas kaki Mela. Daun itu masih hangat dan mengeluarkan aroma khas, yang diyakini bisa membantu meredakan bengkak. Setelah itu, ia membalut kaki Mela dengan kain bersih yang ia bawa dari rumahnya, mengikatnya dengan hati-hati agar tidak terlalu ketat.
Mela meringis sedikit ketika kain itu menyentuh kulitnya, tapi ia menahan diri untuk tidak mengeluh. "Terima kasih, Bu," ucapnya pelan, meskipun suaranya masih mengandung nada canggung.
Wanita tua itu tersenyum tipis. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Nak. Biarkan ini bekerja. Nanti malam bengkaknya akan mulai reda," ujarnya sambil merapikan peralatannya.
"Ini bayaranmu," ujar Herlic sambil menyerahkan beberapa koin ke tangan wanita tua itu.
Wanita itu terkejut, matanya membesar sejenak sebelum akhirnya menatap uang di tangannya. "Eh, Tuan," gumamnya, hampir tidak percaya. Biasanya, para kolonial terutama Belanda tidak pernah membayar jasa mereka. Mereka memperlakukan pribumi seperti alat, sesuatu yang bisa dipakai tanpa imbalan.
"Ada yang salah?" tanya Herlic dengan nada datar, melihat reaksi wanita itu.
Wanita tua itu menggeleng cepat. "Tidak, Tuan. Hanya saja... ini jarang sekali terjadi. Kami tidak terbiasa menerima bayaran dari orang seperti Tuan. Tapi, terima kasih banyak," katanya sambil membungkuk hormat.
"Kau sudah selesai dengan pekerjaanmu, kan? Sekarang pulanglah, aku masih ada urusan dengan anak ini," ujar Herlic dengan nada tegas, namun tidak meninggalkan kesan sopan.
"Baiklah, Tuan," jawab wanita tua itu, meskipun ada sedikit keraguan dalam tatapannya. Namun, melihat sikap Herlic yang serius, ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Dengan langkah hati-hati, ia keluar dari kamar, meninggalkan Mela dan Herlic berdua.
Setelah wanita itu pergi, suasana kamar menjadi hening. Mela yang masih berbaring di tempat tidurnya memandang Herlic dengan tatapan curiga. Ia tahu pria itu memiliki kekuasaan yang besar, dan kekuasaan sering kali diiringi dengan kejahatan.
"Tuan mau apa dengan saya?" tanya Mela, suaranya gemetar. "Apa kau mau melakukan hal yang jahat denganku?"
Herlic, yang sejak tadi bersandar di dinding, menatap Mela dengan alis terangkat. "Melakukan hal jahat? Aku?" tanyanya dengan nada sedikit mencemooh. "Aku tidak serendahan itu untuk melakukan kejahatan pada orang yang tak berdaya."
"Halah cangkemira, kebak pamendheran."
Ungkap Mela dalam bahasa Jawa agar Herlic tidak mengerti artinya.