Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penyelamatan
“Naima, muka kamu pucat,” bisik Malik pelan di tengah ruangan sempit itu. Suara gemerisik plastik dan hembusan napas berat orang-orang di dalam gubuk membuat suasana semakin menyesakkan. Malik berlutut di dekat Naima, pandangannya tak lepas dari wajah gadis itu.
Naima tidak merespons. Tubuhnya menggigil, bibirnya membiru. Dia memeluk lututnya erat-erat, mencoba mengumpulkan kehangatan dari dirinya sendiri. Matanya terpejam rapat seolah menolak realitas di sekitarnya.
“Hei, Naima. Kamu kenapa?” Suara Malik terdengar lebih mendesak. Tangannya perlahan menyentuh bahu Naima, mencoba membangunkannya dari kondisi yang mengkhawatirkan.
Namun tubuh Naima terhuyung, kehilangan keseimbangan. Malik dengan sigap menopangnya, tapi tidak ada respon. Beberapa orang mulai menyadari keadaan tersebut, dan kepanikan kecil mulai menjalar di dalam gubuk.
Di sudut lain, seorang lelaki berkacamata tiba-tiba terduduk lemas, napasnya tersengal-sengal. Suara beratnya menarik perhatian Rizal. “Bang Rizal,” panggil Malik dengan nada tegas, “mungkin ada pos penjaga hutan di sekitar sini. Biar aku cari!”
“Malik, itu bahaya.” Rizal menatapnya tajam. Meski nada bicaranya terdengar menenangkan, ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.
Malik tidak mundur. Sorot matanya penuh tekad. “Aku tahu, tapi akan lebih bahaya kalau kita biarkan mereka begini. Naima dan yang lain butuh pertolongan.” Malik menatap Naima yang kini bersandar lemah di dinding gubuk, matanya tetap tertutup.
Bimo berdiri, menghampiri Malik. “Kalau gitu, gue ikut lo. Kita cari bareng.”
“Enggak,” Malik menolak cepat. “Lo tetap di sini, Bim. Kita butuh lebih banyak orang buat ngejaga mereka. Kalau semua pergi, siapa yang jaga kondisi mereka?”
“Bimo akan ikut Lo Malik, disini udah cukup banyak orang untuk mantau satu sama lain.” Putus Rizal
Malik melihat Bimo kemudian melirik pada Rizal, “Oke, ayo Bimo. Kita ga ada waktu.”
Bimo mengangguk mantap.
Rizal menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. Dia tahu Malik tidak akan berubah pikiran. “Hati-hati. Jangan memaksakan diri.”
Hujan masih turun deras, membasahi tanah dan membuat jalur yang sudah licin menjadi semakin berbahaya. Malik dan Bimo berjalan dengan langkah hati-hati, menembus kabut yang semakin pekat. Suara gemeretak ranting dan gemuruh hujan menjadi satu-satunya irama di tengah perjalanan mereka.
“Lo yakin pos penjaga hutan ada di sekitar sini?” tanya Bimo, setengah berteriak agar suaranya bisa menembus suara hujan.
“Enggak yakin, tapi biasanya ada,” jawab Malik dengan nada tegas. Dia menggenggam erat jaketnya, menahan dingin yang semakin menggigit. “Gue cuma berharap kita beruntung.”
Bimo mendesah, tapi dia tetap melangkah dengan sigap di belakang Malik. “Lo pikir mereka bisa bertahan berapa lama di gubuk itu?”
“Enggak tahu, tapi kita enggak bisa ambil risiko.” Malik berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan menunjuk ke depan. “Coba kita cek arah itu. Mungkin jalurnya mengarah ke jalan setapak yang sering dipakai.”
Bimo mengangguk dan mengikuti arah yang ditunjukkan Malik. Namun, langkah mereka terhenti ketika suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Keduanya saling berpandangan, tubuh mereka membeku sejenak.
“Longsor?” bisik Bimo.
“Bisa jadi. Kita harus lebih cepat.” Malik mempercepat langkahnya, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Kakinya terasa berat, dan udara dingin semakin menusuk paru-parunya. Tapi dia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah menemukan bantuan secepat mungkin.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan tanda yang menguatkan harapan mereka—sebatang pohon dengan tanda X besar yang dicat merah. Malik langsung berhenti, menunjuk tanda itu. “Ini biasanya tanda jalur terdekat ke pos penjaga hutan. Ayo!”
Langkah mereka semakin cepat, meski jalur semakin curam dan licin. Bimo terjatuh beberapa kali, tapi dia tetap bangkit tanpa mengeluh. Ketika akhirnya mereka melihat cahaya lampu yang remang-remang dari kejauhan, napas mereka seolah berhenti.
“Itu dia!” seru Malik, suaranya penuh semangat. Dia berlari meski tubuhnya sudah hampir menyerah.
Ketika mereka tiba di pos penjaga hutan, Malik langsung mengetuk pintu dengan keras. Seorang pria paruh baya dengan mantel tebal membukakan pintu, wajahnya terlihat terkejut melihat kondisi mereka. “Apa yang terjadi?”
“Kami butuh bantuan! Ada belasan orang yang terjebak di gubuk, beberapa dalam kondisi kritis. Tolong kirimkan tim penyelamat sekarang!” kata Malik dengan napas tersengal.
Penjaga itu tidak banyak bertanya lagi. Dia segera menghubungi tim penyelamat melalui radio. Malik dan Bimo akhirnya duduk di lantai, tubuh mereka menggigil hebat. Meski lelah, ada sedikit kelegaan di wajah mereka.
“Lo gila, Malik,” ujar Bimo sambil mencoba mengatur napas. “Tapi lo bikin keputusan yang tepat.”
Malik hanya mengangguk pelan, matanya terpejam sejenak. “Mereka enggak bisa nunggu lebih lama lagi.”
Di luar, hujan masih turun deras. Tapi di dalam hati Malik, ada secercah harapan bahwa semua orang di gubuk itu akan segera selamat.
Tubuh Malik ambruk tepat di sebelah Bimo. Nafasnya berat, terdengar seperti deru mesin tua yang hampir mati. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan tubuhnya gemetar hebat akibat dingin yang terus-menerus menggrogoti ketahanan tubuhnya.
"Malik! Oi, Malik!" Bimo langsung berlutut, menggoyangkan tubuh Malik yang terkulai lemah. Panik mulai menyergap pikirannya. "Lo denger gue kan? Malik!"
Namun, Malik tidak merespon. Kelopak matanya setengah tertutup, seperti sedang berjuang keras untuk tetap sadar.
“Dia butuh bantuan! Cepat!” teriak Bimo ke arah petugas yang masih berada di pos. Para penjaga hutan segera mendekat, mengangkat tubuh Malik dengan hati-hati. Tubuhnya terasa dingin seperti es, membuat Bimo semakin cemas.
"Dia mengalami hipotermia," salah satu petugas berseru sambil memeriksa denyut nadi Malik. "Kita harus bawa dia ke basecamp dan beri penanganan sekarang juga!"
Dengan sigap, mereka menggotong Malik ke dalam basecamp yang hangat. Suara langkah-langkah terburu-buru terdengar jelas di atas lantai kayu yang lembap. Mereka segera menyalakan alat pemanas, menyelimuti Malik dengan beberapa lapis kain tebal, dan memberikan cairan hangat melalui selang infus.
Bimo berdiri di sudut ruangan, napasnya masih memburu. Dia merasa bersalah karena tidak menyadari seberapa besar Malik mengorbankan dirinya di tengah dingin yang mencekam. "Gila, Lo bener-bener nekat, Mal," gumamnya pelan, suaranya bergetar.
Seorang petugas menepuk bahu Bimo dengan lembut. "Tenang, dia akan baik-baik saja. Tapi dia butuh istirahat total sekarang. Hipotermia ini sudah cukup parah."
Bimo mengangguk pelan, tapi matanya terus menatap Malik yang kini terbaring lemah di atas matras. Lelaki yang tadi begitu penuh tekad dan tangguh kini terlihat rapuh. Namun, meski tubuh Malik menyerah, semangatnya tidak. Ia telah menembus batasnya demi memastikan yang lain selamat.
—
Angin dingin menampar wajahnya saat ia keluar, tapi dia tidak peduli. Di dalam gubuk itu, orang-orang sedang berjuang melawan dingin. Ia tahu waktu mereka tidak banyak.
Selang beberapa lama, suara helikopter menyibak kabut tebal di langit Dieng. Gemuruh baling-balingnya memecah keheningan, memberi harapan baru bagi mereka yang sudah hampir menyerah pada ganasnya alam. Satu per satu, para pendaki yang kondisinya paling lemah diangkut ke dalam. Tubuh mereka diselimuti dengan selimut tebal, sementara tim medis bergerak cepat memberikan perawatan.
Namun, hujan tak kunjung reda. Tetes-tetes air yang menghantam permukaan tanah membawa udara dingin yang semakin menusuk hingga ke tulang. Setiap tarikan napas serasa penuh perjuangan. Mereka yang masih menunggu giliran berusaha tetap bertahan di bawah naungan gubuk kecil yang kini menjadi tempat terakhir mereka berlindung.
Naima duduk bersandar pada dinding kayu yang dingin dan lembap. Jaket tebal yang membalut tubuhnya tak cukup untuk mengusir gigil yang merayap hingga ke tulang. Sesekali ia menarik selimut lebih erat, berusaha mencari kehangatan yang nyaris hilang. Matanya terus memandang ke luar melalui celah pintu gubuk, seperti ada yang sedang ia tunggu. Namun, sejauh mata memandang, sosok yang ia cari tidak kunjung terlihat. Malik tidak ada.
"Lo nyari Malik, Aim?" tanya Susi pelan. Tidak ada nada jail dalam suaranya, hanya kekhawatiran tulus yang terlukis jelas di wajahnya.
Naima tidak menjawab. Ia hanya menggeleng samar, meskipun gesturnya tidak meyakinkan. Bibirnya bergetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena kecamuk perasaan yang sulit ia uraikan.
Susi menghela napas panjang, menatap temannya dengan cemas. "Dia pergi ke pos penyelamat sama Bimo. Karena para penyelamat datang itu artinya mereka selamat," katanya dengan suara yang berusaha terdengar yakin, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya percaya pada ucapannya.
Naima tetap diam, hanya menunduk dalam. Jemarinya yang kaku menggenggam erat lututnya, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk mempertahankan dirinya dari runtuh. Di luar, hujan masih menabur dingin ke dalam udara, iramanya seperti melodi suram yang menambah berat beban di dadanya.
“Beruntung kita diselamatkan tepat waktu,” ujar Rizal, berusaha memecah suasana dengan suara yang sedikit lega. Namun, ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia melirik Naima sesaat sebelum menambahkan, "Kalau nggak…” Ia menggantungkan kalimatnya, seperti menolak untuk mengucapkan kemungkinan terburuk yang menghantui pikirannya.
Hujan terus mengguyur tanpa ampun, memantulkan kilauan samar dari lampu helikopter yang sesekali menerangi langit. Genangan air di tanah becek mencerminkan kekacauan situasi mereka. Di antara semua itu, Naima merasa seperti terjebak dalam kabut perasaan yang sulit ditembus — khawatir, bersalah, dan entah mengapa, ada secercah harapan yang pelan-pelan menghangatkannya.
"Dengar, itu suara helikopter lagi," ujar Susi tiba-tiba, memecah lamunan Naima.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak