NovelToon NovelToon
The King Final Sunset

The King Final Sunset

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cintapertama / Poligami / Perperangan / Kultivasi Modern / Penyelamat
Popularitas:928
Nilai: 5
Nama Author: Mrs Dream Writer

Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.

Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.

Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.

Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.

Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ratu Hwa Mengambil Alih Pengasuhan Putera Mahkota

Zharagi merasa tubuhnya menegang saat mendengar kata-kata Lady Ira. Wanita itu memutar tubuhnya perlahan, menatapnya dengan pandangan yang penuh keyakinan.

"Kau tahu aturan hukum nasional, bukan, Yang Mulia?" ujar Lady Ira dengan nada yang menggema di ruang kosong itu. "Jika Selir Agung, ibu dari Putera Mahkota, wafat, maka hak pengasuhan pewaris takhta berada di tangan Ratu. Dalam hal ini, Ratu Hwa. Apa kau pikir itu kebetulan?"

Zharagi mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Hukum itu memang ada, undang-undang tua yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tetapi selama ini dia tidak pernah berpikir aturan itu akan digunakan untuk menyerangnya.

"Jadi ini rencana kalian?" tanyanya dingin. "Menciptakan ketergantungan pada Istana Selatan dengan menguasai Putera Mahkota?"

Lady Ira tersenyum kecil, melangkah mendekat dengan anggun. "Ini bukan rencana kami. Ini adalah aturan yang dibuat oleh para leluhurmu. Kami hanya memastikan aturan itu tetap dihormati. Bukankah itu kewajiban semua rakyat kerajaan?"

"Apa yang kalian inginkan?" Zharagi akhirnya bertanya. Nada suaranya penuh dengan ketidaksabaran dan amarah yang ditahan.

Lady Ira mengangkat alis, pura-pura mempertimbangkan pertanyaan itu. "Keamanan, stabilitas, dan masa depan yang cerah untuk kerajaan ini, tentu saja. Tetapi yang lebih penting, kami ingin memastikan bahwa Putera Mahkota menerima pendidikan dan bimbingan terbaik yang bisa diberikan oleh Istana Selatan. Kau tentu setuju, Yang Mulia, bahwa Ratu Hwa adalah sosok yang paling tepat untuk itu."

Zharagi mendekat dengan langkah cepat, hingga hanya ada jarak satu langkah di antara mereka. Tatapannya seperti bara api, penuh dengan amarah yang membara. "Ratu Hwa tidak memiliki hak untuk mengatur Putera Mahkota. Aku masih Raja. Dan aku akan memastikan dia tetap di bawah perlindungan istana utama."

Lady Ira tidak mundur. Sebaliknya, dia menghadapi Zharagi dengan keberanian yang luar biasa. "Maka kau harus memastikan Selir Agung tetap hidup, Yang Mulia. Sebab jika tidak, hukum akan mengambil jalannya sendiri. Dan kau tahu, di atas raja sekalipun, hukum tidak bisa diganggu gugat."

Ucapan itu seperti tombak yang menusuk ke hati Zharagi. Lady Ira memberi hormat singkat sebelum berbalik dan berjalan pergi bersama anak buahnya, meninggalkan Zharagi dengan pikiran yang berkecamuk.

Saat bayangan Lady Ira menghilang, Zharagi berdiri diam di tempatnya, memutar ulang kata-kata itu di pikirannya. "Jika Selir Agung wafat, pengasuhan Putera Mahkota akan berada di bawah perlindungan Ratu Hwa."

Dia harus bertindak cepat. Tidak hanya untuk melindungi Selir Agung tetapi juga untuk memastikan stabilitas kerajaan. Tetapi yang lebih penting, dia harus mengetahui sejauh mana pengaruh Istana Selatan telah merasuki kerajaannya.

Dengan tatapan tajam, Zharagi berbalik menuju istananya, menyusun rencana untuk menghadapi ancaman dari dalam ini. Di dalam hatinya, dia bersumpah untuk tidak membiarkan siapa pun, bahkan hukum kuno sekalipun, mengambil haknya atas pewaris takhta.

Zharagi terdiam sejenak, mendengarkan laporan perwira yang baru saja tiba dari perbatasan. Wajah sang perwira tampak penuh kecemasan, menunjukkan betapa mendesaknya persoalan yang dibawa.

"Yang Mulia," ujar perwira itu dengan suara tegas, "ada ketegangan di perbatasan selatan. Pasukan dari wilayah otonom Hanjura tampaknya mulai memobilisasi kekuatan. Kami tidak yakin apakah ini ancaman langsung, tetapi aktivitas mereka tidak biasa."

Zharagi menyipitkan matanya, pikirannya terpecah antara ancaman dari Istana Selatan dan laporan perbatasan. Sebelum dia sempat merespons, seorang kasim yang setia bekerja untuknya mendekat dengan langkah hati-hati.

"Yang Mulia," kasim itu berkata dengan nada pelan namun penuh keyakinan, "tidak perlu terlalu mencemaskan Putera Mahkota. Ratu Hwa tidak akan berani menyentuhnya, setidaknya untuk saat ini. Jika dia mencoba sesuatu, itu hanya akan mengundang kemarahan dari seluruh istana."

Zharagi memandang kasimnya dengan tatapan tajam. "Apakah kau begitu yakin?" tanyanya dengan nada yang rendah namun berbahaya. "Ratu Hwa bukan wanita yang bisa diprediksi. Jika dia sudah memulai permainan ini, tidak ada jaminan dia akan berhenti di tengah jalan."

Kasim itu menunduk, menyadari kebenaran di balik kata-kata rajanya. "Namun, Yang Mulia, fokus Anda harus tetap pada ancaman yang lebih mendesak. Perbatasan selatan tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. Jika Hanjura bergerak, itu bisa menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar."

Zharagi menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bercabang. Dia tahu kasimnya benar; ancaman dari Hanjura tidak bisa diabaikan. Namun, kekhawatiran tentang Putera Mahkota dan Ratu Hwa terus menggerogoti benaknya.

"Siapkan pasukan," perintah Zharagi akhirnya kepada perwira itu. "Aku akan pergi ke perbatasan selatan sendiri. Tapi sebelum itu, aku ingin surat resmi dikirim ke Istana Selatan, memperingatkan Ratu Hwa bahwa aku tidak akan mentoleransi permainan politiknya. Pastikan surat itu sampai langsung ke tangannya."

Perwira itu memberi hormat dan segera pergi untuk melaksanakan perintah. Zharagi lalu menoleh kepada kasimnya. "Kirim pengawal terbaik kita ke Istana Utama untuk memastikan keamanan Putera Mahkota. Jika ada tanda-tanda bahaya, aku ingin diberi tahu segera."

Kasim itu membungkuk hormat. "Saya akan memastikan hal itu, Yang Mulia."

Zharagi melangkah keluar dari ruangannya dengan wajah penuh tekad, memutuskan untuk menghadapi ancaman di perbatasan terlebih dahulu. Meskipun hatinya masih dibebani oleh masalah dalam istana, dia tahu bahwa jika Hanjura benar-benar bergerak, itu bisa memicu ketegangan besar di seluruh kerajaan. Dia tidak bisa membiarkan itu terjadi, apalagi jika ada yang berani mengancam stabilitas kerajaan yang sudah susah payah dibangunnya.

Di luar, angin musim panas yang hangat menyapu wajahnya, namun tak mengusir rasa cemas yang merayap di hati Zharagi. Ia tahu bahwa Ratu Hwa tidak akan tinggal diam. Jika sampai saat ini, Ratu Hwa masih menjaga jarak dengan Putera Mahkota, itu hanya karena ia tahu bahwa saat ini, menyentuh putra mahkota sama dengan memulai perang terbuka dengan seluruh istana.

Namun, Zharagi tidak bisa mengandalkan keyakinan itu sepenuhnya. Seiring perjalanan menuju perbatasan, pikirannya terus melayang kepada Putera Mahkota yang masih muda dan rapuh. Dia tahu bahwa kekuasaan di balik Ratu Hwa sangat besar. Seandainya Ratu Hwa benar-benar menginginkan kekuasaan itu, tidak ada yang bisa menahan keinginannya. Kecuali, tentu saja, Zharagi sendiri.

Setibanya di markas perbatasan, Zharagi segera dihadapkan dengan situasi yang lebih pelik. Tentara Hanjura sudah terlihat bergerak lebih cepat dari yang diperkirakan, seolah-olah mereka sudah siap untuk menyerang. Zharagi memutuskan untuk segera berkonsultasi dengan para komandan dan perwira di garis depan.

"Apa yang kita ketahui tentang kekuatan mereka?" tanya Zharagi kepada seorang komandan yang baru saja menghadap.

"Yang Mulia," jawab komandan itu dengan wajah serius, "Mereka bergerak dengan sangat teratur. Ada kemungkinan besar mereka sedang menunggu pasukan tambahan dari wilayah tetangga. Jika mereka benar-benar melancarkan serangan, kita akan membutuhkan lebih banyak pasukan untuk bertahan."

Zharagi merenung sejenak, memikirkan langkah berikutnya. Pasukan yang ada memang cukup kuat untuk melawan ancaman kecil, tetapi jika Hanjura benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya, mereka bisa menghadapi masalah besar. Zharagi mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua komandan berkumpul di sekitar meja perencanaan.

Namun, seiring pertemuan itu dimulai, pikiran Zharagi kembali terpecah. Meski ancaman fisik di perbatasan semakin nyata, rasa cemas tentang nasib Putera Mahkota dan intrik yang semakin melingkupinya tak kunjung sirna. Dalam hatinya, dia merasakan ketegangan antara tugas negara dan keluarga.

"Apakah kita harus bergerak terlebih dahulu, atau menunggu sampai ancaman ini benar-benar terkonfirmasi?" Zharagi bertanya pada komandan yang paling berpengalaman.

"Kita harus bertindak sekarang, Yang Mulia. Jika kita menunggu lebih lama, kita mungkin akan kehilangan kendali," jawab komandan itu dengan tegas.

Zharagi mengangguk, memutuskan untuk segera mengerahkan pasukannya dan memulai persiapan untuk menyerang lebih dulu. Namun, dalam hatinya, dia tahu bahwa pertempuran ini hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar, permainan yang melibatkan banyak pihak di dalam kerajaan—terutama Ratu Hwa yang selalu diam-diam mengawasi setiap langkahnya.

1
MDW
terimakasih
MDW
bentar lagi nih
Ahmad Fahri
Gimana nih thor, update-nya kapan dong?
Mưa buồn
Ceritanya bikin nagih dan gak bisa berhenti baca.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!