Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 24
Beberapa hari berlalu sejak operasi, Sofia masih dirawat di rumah sakit.
Namun, berbeda dari sebelumnya, kini dia benar-benar merasa diperhatikan.
Elleanor dan Edward, dua anak kembar yang baru dikenalnya, begitu telaten merawatnya.
Seperti pagi ini, Elleanor duduk di tepi ranjang dengan sendok di tangannya.
“Ayo, Tante Sofia. Satu suapan lagi.”
Nada suaranya lembut, hampir seperti membujuk.
Sofia tersenyum kecil, hatinya terasa hangat. Selama ini, tidak ada yang pernah memanjakannya seperti ini.
Bahkan saat dia sakit sekalipun, Robin, anak-anaknya, atau mertuanya tak pernah peduli.
Tapi kini, dua anak yang bahkan bukan siapa-siapanya justru memperlakukannya dengan penuh perhatian.
Sofia mengunyah perlahan, menikmati suapan demi suapan yang diberikan Elleanor.
Saat dia ingin turun dari tempat tidur, Edward dengan sigap berdiri di sampingnya.
Tanpa perlu bertanya, pemuda itu langsung membungkuk dan menggendongnya dengan mudah.
“Aku bisa jalan sendiri, Edward.”
Sofia mencoba protes, tapi Edward hanya tersenyum tipis.
“Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya memanjakan Tante sedikit, kan?”
Elleanor tertawa kecil, “Benar! Kalau Tante Sofia keberatan, anggap saja kami sedang menggantikan posisi anak-anak Tante.”
Mendengar itu, Sofia terdiam.
Jujur, dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih.
Sofia akhirnya bertanya dengan ragu, “Kenapa kalian begitu perhatian padaku? Bukankah kalian seharusnya bekerja atau kuliah? Tapi kalian justru menghabiskan waktu di sini selama beberapa hari.”
Elleanor dan Edward bertukar pandang sebelum tersenyum.
“Ya, karena menolong itu kewajiban setiap manusia,” Edward menjawab santai. “Apalagi kalau membantu seseorang, tidak boleh setengah-setengah.”
Elleanor mengangguk cepat. “Apalagi ... kami sangat merindukan ibu kami. Jadi kami ingin memanjakan Tante Sofia sebagai gantinya.”
Sofia tertegun.
Untuk sesaat, dia merasa sesuatu bergetar di dalam hatinya.
Namun, sebelum dia sempat membalas, Elleanor sudah kembali mengalihkan pembicaraan dengan ceria.
“Ayo, Tante Sofia! Sekarang saatnya jalan-jalan kecil supaya Tante cepat pulih!”
Sofia akhirnya mengangguk, meski rasa heran itu masih menggantung di benaknya.
****
Malam itu di kamar rawat inap, Sofia, Edward, dan Elleanor duduk bersandar di ranjang pasien, asyik menonton drama Korea.
Elleanor menyeka air matanya dengan tisu.
"Astaga, kenapa harus sad ending?! Kenapa?!"
Edward memutar bola matanya. "Elle, ini drama. Wajar kalau kadang nggak sesuai ekspektasi."
"Tapi tetap saja!" Elleanor menyikut lengan kakaknya dengan kesal.
Sofia tertawa lepas melihat mereka bertengkar seperti anak kecil.
"Kalian ini benar-benar ...."
Mereka tidak hanya menonton drama, tapi juga mencoba berbagai genre film, bahkan bermain game bersama.
"Tante Sofia, ayo coba game ini! Aku yakin Tante pasti kalah!" Edward tertawa penuh percaya diri.
Tapi tak disangka, Sofia menang dengan mudah.
Elleanor tertawa terbahak-bahak, sementara Edward hanya bisa mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Aku dikalahkan oleh Tante sendiri!"
Malam semakin larut, ketiganya akhirnya merasa lelah.
Edward dan Elleanor memeluk Sofia dari dua sisi, seperti anak-anak yang haus kasih sayang.
Sofia mengelus rambut keduanya dengan lembut, rasa hangat menjalar di dadanya. Tanpa sadar, ia mulai bernyanyi pelan.
"Nina bobo, oh nina bobo ...."
Edward dan Elleanor tertawa kecil, tapi tak lama suara mereka melemah, tubuh mereka semakin rileks.
Sofia menatap wajah damai keduanya dan tersenyum lembut.
"Kalian pasti banyak melewati hal sulit, ya?" bisiknya pelan.
Sementara itu, di tempat lain, seseorang memperhatikan momen itu lewat CCTV.
Tatapan pria itu melembut. "Ternyata kamu masih sama, Sofia ... selalu penuh kasih sayang."
Sebuah senyuman tipis terukir di wajahnya.
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar rawat Sofia, menghangatkan suasana.
Sofia baru saja selesai sarapan ketika Rena datang menjenguk.
"Hei, wanita kuat! Gimana kabarmu hari ini?" ujar Rena dengan ceria, meletakkan tasnya di sofa.
Sofia tersenyum lembut. "Jauh lebih baik. Aku sudah tidak merasa pusing lagi. Apalagi sakit diperutku sudah tidak."
Rena menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Sofia. "Baguslah. Oh ya, aku penasaran, Sof."
Sofia menaikkan alisnya. "Penasaran tentang apa?"
Rena mendekat, menatap Sofia penuh arti.
"Dua anak kembar itu ... Elle dan Edward."
Sofia mengernyitkan kening. "Kenapa dengan mereka?"
Rena menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan. "Apa kamu nggak curiga? Mereka terlalu baik sama kamu. Dan yang paling penting ...."
Rena menghentikan ucapannya sejenak, menatap Sofia dalam-dalam.
"Mereka mirip banget sama kamu, Sof. Terutama Elle."
Sofia terdiam sesaat sebelum akhirnya tersenyum kecil.
"Memang wajah Elle sedikit mirip denganku. Tapi mungkin itu hanya kebetulan. Lagipula, mereka sangat tulus dan baik. Aku bisa merasakannya. Mereka tidak punya niat buruk sama sekali."
Rena mendesah, jelas tidak puas dengan jawaban Sofia.
"Bukannya justru itu yang paling mencurigakan? Kita hidup di dunia yang penuh kepalsuan, Sof. Kebaikan berlebihan tanpa alasan yang jelas... itu aneh."
Sofia tertawa kecil, menggelengkan kepalanya.
"Kamu terlalu banyak curiga, Ren. Kadang, orang baik itu memang ada."
Rena hendak membalas, tetapi pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Edward dan Elleanor masuk dengan membawa kantong makanan.
"Kami datang!" seru Elleanor dengan semangat.
Edward menaruh kantong makanan di meja. "Kami belikan makan siang spesial buat Tante Sofia."
Elleanor mendekati Sofia dengan senyum lebar. "Tante pasti bosan makan makanan rumah sakit terus, kan?"
Sofia tertawa dan mengangguk. "Kalian ini baik sekali. Terima kasih."
Sementara itu, Rena diam-diam memperhatikan ekspresi kedua anak kembar itu. Kecurigaannya semakin besar.
Setelah beberapa menit berbincang-bincang, Rena akhirnya bangkit dari kursinya.
"Baiklah, Sof. Aku harus kembali ke kantor. Banyak berkas yang harus kuurus." katanya sambil mengambil tasnya.
Sofia tersenyum lembut. "Terima kasih sudah datang, Ren. Hati-hati di jalan."
Rena lalu menatap kedua anak kembar yang berdiri di dekat sofa.
Matanya sedikit menyipit, berusaha mencari sesuatu dalam ekspresi mereka.
Namun, Edward dan Elleanor hanya terlihat santai.
Edward bahkan tersenyum kecil. "Terima kasih sudah menjenguk Tante Sofia, Kak Rena."
Elleanor menambahkan dengan nada ceria. "Kami akan menjaga Tante Sofia dengan baik."
Rena memperhatikan mereka dalam diam sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk.
"Baiklah. Aku pergi dulu."
Namun, sebelum benar-benar melangkah keluar, Rena tiba-tiba teringat sesuatu.
Dia mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Sofia.
"Ini laporan tentang ruko kamu. Semua berjalan lancar. Tidak ada masalah sejauh ini."
Sofia mengambil amplop itu dengan senyum lega. "Terima kasih, Ren. Aku benar-benar beruntung punya sahabat sepertimu," ujarnya.
"Santai aja." Rena tersenyum samar, lalu melangkah keluar dari kamar rawat Sofia.
Saat pintu tertutup, Elleanor dan Edward saling berpandangan, lalu tersenyum kecil.
Entah kenapa, ekspresi mereka menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.