"Kamu serius Jas? Kamu merestui mama pacaran sama Arjuna? Temen kamu?" tanya Cahaya tak percaya. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Lo nggak bohong kan Jas? Lo beneran bolehin gue pacaran sama nyokap Lo kan?" tanya Arjuna. Meskipun merasa aneh, tapi dia juga cukup senang. Berharap jika Jasmine tidak mengecewakan mereka.
Jasmine melihat sorot kebahagiaan dari mamanya dan Arjuna. Hatinya terasa sesak, benci. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa Mamanya bahagia bersama Arjuna.
*
*
*
Hmm, penasaran dengan kelanjutannya? baca sekarang, dijamin bakal suka deh:)))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Mengubah Posisi
Cahaya dan Arjuna sama-sama meraih sendok dan garpu masing-masing. Arjuna mengambil pisau untuk memotong dagingnya. Irisan demi irisan daging itu terpotong rapi, lalu disuap ke mulutnya.
Cahaya, dengan tenang, mengaduk makanannya, lalu menyendoknya dengan senyum tipis. Sejenak keduanya fokus pada makanan masing-masing, karena saat itu sudah jamnya makan siang, tentu keduanya sudah sama-sama lapar.
Lalu Cahaya yang makanannya sudah tinggal setengah segera meletakkan alat makannya kembali di atas piring. Ia meraih tisu dan menyeka bibirnya dengan lembut, lalu meletakkan tisu itu kembali di atas meja.
Ia kemudian meraih gelas minumannya dan menyeruputnya. Cahaya menoleh ke arah Arjuna. Saat itu Arjuna masih sibuk memakan makanannya. Tidak menoleh ke arahnya.
"Yang," panggil Cahaya. Mungkin ini adalah kali keberapa Cahaya memanggil Arjuna dengan sebutan sayang. Sejak pertama kali pacaran Cahaya sering memanggil Arjuna hanya dengan panggilan nama saja, mengingat Dia adalah Bos Arjuna di kantor dan umurnya jauh diatasnya.
Dia kadang merasa malu sendiri mengingat pacarnya adalah seorang brondong yang seumuran dengan anaknya.
Tapi jika cinta sudah menyapa, apa lagi yang bisa dilakukan? Tatapan Arjuna yang hangat seakan melelehkan hati Cahaya. Jantungnya berdebar kencang, dan senyum tipis pun mengembang di bibirnya.
"Hmm, kenapa Yang?" tanya Arjuna, mendongak dan menatap Cahaya. Dia menaruh sendok dan pisau yang dipegangnya ke atas piring.
Cahaya masih juga tersenyum menatap ke arah Arjuna. Arjuna yang melihat senyuman Cahaya sejenak terpesona. Selama ini yang ia lihat dari sosok Cahaya adalah Cahaya yang galak, ketus dan suka marah-marah di kantor.
Tapi ternyata di balik sikapnya yang seolah berduri itu, tersembunyi senyum yang begitu indah.
"Aku mau ngubah posisi kamu di kantor," kata Cahaya tiba-tiba, membuat Arjuna terkesiap. Matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Hah? Ngubah? Maksud kamu?" tanya Arjuna, bingung.
Cahaya mengangguk, "Ya, aku mau ngubah posisi kamu. Sekarang kan kamu jadi OB di kantor aku, ya? Nah setelah ini, aku mau ubah posisi kamu jadi asisten pribadiku. Setiap kali aku ada meeting, rapat, atau urusan kerjaan lainnya, kamu ikut.
Pokoknya kamu jadi tangan kananku deh. Gimana? Menarik, kan? Kita jadi lebih sering bareng, kamu ikut kemanapun aku pergi. Kecuali saat jam kantor selesai," Cahaya mengatakannya sembari tersenyum. Wajahnya terlihat gembira, berbeda dengan dirinya yang biasanya.
Arjuna masih mengerutkan kening, bingung. Baginya ini adalah sesuatu yang mengejutkan. Mungkin Jika dia belum jadian dengan Cahaya, dia akan merasa senang mendengar perubahan jabatan ini.
Tapi sekarang kasusnya berbeda. Apa kata orang nanti saat melihat Arjuna yang dari awal bekerja sebagai OB tiba-tiba menjadi asisten pribadi?
"Kamu kok diem? Nggak mau ya jadi asisten pribadi aku?" tanya Cahaya, mengerutkan keningnya. Wajahnya tampak sedikit kecewa, seakan-akan menebak penolakan dari Arjuna. Sejak tadi, Arjuna hanya diam, membuat Cahaya semakin penasaran.
"Kamu apa-apaan sih?!" Arjuna mengerutkan kening, suaranya sedikit meninggi. "Tiba-tiba mau jadiin aku asisten pribadi kayak gini?" Pandangannya sulit diartikan, seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak terucap.
Cahaya terkejut mendengar nada bicara Arjuna, "Kan tadi aku udah bilang, aku pengen kita deket terus. Kalo kamu jadi asisten pribadi aku di kantor, kita bisa terus bareng. Pergi kemana-mana bareng. Kamu nggak mau gitu?" Cahaya berusaha keras menahan emosinya yang biasanya meledak-ledak.
Dia biasanya akan langsung menyentak dengan keras, tapi kali ini dia berusaha bersikap lembut dan manis.
Arjuna menyadari perubahan sikap Cahaya. Jujur, dia merasa senang, namun juga bingung dengan permintaannya.
"Aku sih mau-mau aja. Siapa sih yang bakal nolak kalau ditawari perubahan posisi sama bos? Tentu siapapun pasti mau, aku juga. Cuma sekarang posisi kita berbeda loh.
Ya, kalau aku di kantor kamu itu sebagai karyawan biasa, mungkin masih oke-oke aja perubahan posisi itu. Tapi aku itu sebagai OB loh di kantor kamu. Apa nggak aneh rasanya kalau aku yang seorang OB tiba-tiba jadi asisten pribadi kamu?
Apa kata karyawan lain nanti? Mereka pasti ngomongin yang enggak-enggak soal kita." Cahaya memahami kekhawatiran Arjuna. Siapa pun pasti akan terkejut seperti Arjuna jika ditawarkan kenaikan jabatan seperti ini.
Tapi dia sudah sangat bulat. Dia ingin posisi Arjuna di kantor berbeda.
"Nggak usah peduliin omongan orang. Terserah mereka mau mikir apa dan ngomong apa, aku nggak peduli, toh yang ngegaji di sana itu aku.
Bos mereka itu aku, jadi kamu nggak usah takut soal komentar mereka. Aku bakal bungkam mereka satu persatu. Kamu tau aku kan? Aku Bulan Cahaya Galaxy, aku pasti bisa mendapatkan apapun yang aku mau.
Termasuk soal perubahan posisi ini. Ini bukan hal sulit untuk dilakukan. Kamu mau ya jadi orang kepercayaan aku," pinta Cahaya. Raut wajahnya terlihat memohon.
Arjuna semakin bingung. Akhirnya dia menghela nafas dan mengangguk. "Ya sudah aku mau. Tapi nanti kamu kasih alasan yang masuk akal ya sama mereka kalau mereka nanya. Aku nggak kuat kalau harus ditanya-tanyain sama mereka terus. Kamu mau kapan ngubah posisi aku?" tanyanya, nada suaranya sedikit jengah.
Dengan sumringah Cahaya membalas. "Besok. Besok juga aku bakal umumin ke semua orang kalau kamu adalah asisten pribadi aku. Sekarang kan di kantor asisten pribadi aku udah resign karena istrinya mau melahirkan.
Jadi posisi asisten pribadi di kantor itu lagi kosong. Kamu bisa menempati posisi itu, nanti bakal aku ajarin semuanya," kata Cahaya.
Arjuna pun tersenyum manis. Lalu dia meraih tangan Cahaya yang tergeletak di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. "Makasih ya. Kamu baik banget sama aku," ucap Arjuna, suaranya hangat.
Cahaya mengerutkan kening, sedikit heran. "Emang selama ini aku nggak baik?" tanya Cahaya cepat.
Arjuna tertawa. "Bukan. Kamu baik kok, kalau nggak baik mana bisa aku kerja di perusahaan kamu sebagai OB," jawab Arjuna.
Tiba-tiba Cahaya teringat sesuatu. Dia lantas bertanya, "Jun, kondisi Jasmine gimana? Setelah Papanya meninggal, dia baik-baik aja kan?" tanya Cahaya, raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Jasmine sih masih suka sedih-sedih gitu kalau teringat Papanya. Dia bilang kangen dan pengen Papanya balik lagi. Ehm oh iya, kemarin Jasmine bilang mau cari kerja, terus aku saranin dia buat kerja di bengkel," jawab Arjuna.
Cahaya terkejut mendengar ucapan Arjuna. Terlebih soal Arjuna yang mengatakan jika Jasmine akan mencari kerja dan dia yang menyarankan untuk bekerja di bengkel.
"Bengkel? Kenapa kamu nyaranin itu?! Jasmine kan cewek, masa iya cewek kerja di bengkel?! Jangan ngadi-ngadi kamu ya!" Benar kan. Cahaya marah dan langsung menuding dengan tajam. Suaranya meninggi.
Arjuna menghela nafas, sejenak dia terdiam, lalu menjawab. Matanya menatap lekat dan dalam ke arah Cahaya, yang saat itu menatap tajam penuh intimidasi ke arahnya.
"Emang kenapa sih? Jasmine itu bisa benerin motor. Dia juga mau-mau aja aku saranin kerja di bengkel. Malahan dia minta aku buat nyariin lowongan yang lagi butuh karyawan," jawab Arjuna enteng. Menurutnya, kerja di bengkel adalah pekerjaan yang cocok buat Jasmine.
"Apapun alasannya ya, aku nggak setuju kalo anakku kerja di bengkel! Cari kerjaan lain aja yang lebih bersih. Di bengkel kan kotor, bau, aku nggak mau anakku yang cantik harus kotor-kotor kayak gitu." Cahaya menggeleng tegas, matanya masih tajam menatap Arjuna.
Arjuna mendengus pelan. Matanya menyipit tajam, "Emang kamu kenal sama Jasmine? Tau Jasmine itu kayak gimana orangnya? Jasmine itu keras kepala, suka ngegas, mirip sama kamu.
Jadi nggak mudah bujuk dia itu. Kemarin aja dia udah kelihatan seneng banget waktu aku tawarin kerja di bengkel. Pasti dia nolak kalau aku tiba-tiba ngomong gini."
Cahaya terhenyak mendengar ucapan Arjuna. Matanya melebar, jantungnya seakan berhenti berdetak.
Kata-kata Arjuna seperti tamparan keras baginya. Dia yang bahkan dari sejak melahirkan Jasmine tidak pernah ada waktu untuknya, merasa tertampar mendengar ucapan Arjuna. Dia tidak mengenal putrinya sama sekali.
**********
Setelah bertemu dengan Elin di taman raja zebra, Jasmine buru-buru mencari angkot untuk pulang. Saat ini dia masih duduk di dalam sebuah angkot dan di dalam angkot itu dipenuhi banyak orang.
Banyak diantaranya adalah ibu-ibu yang sejak masuk angkot tak henti-hentinya ngerumpi, suara mereka bergema di dalam angkot yang pengap. Jasmine hanya mendengus mendengarnya, tak tertarik untuk ikut nimbrung.
Dia menoleh ke jendela, lalu meraih tasnya. Jemarinya menyentuh handphone yang tersimpan di dalam tas. Dengan cepat, dia menyalakan data internet di ponselnya.
Begitu data menyala, deretan notifikasi muncul di layar. Salah satunya dari Bibi Kate, dan beberapa pesan lain dari nomor asing yang tak dikenalnya.
Jasmine tersenyum lalu menutup ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Tak lama kemudian, angkot berhenti tepat di depan rumahnya. Jasmine turun dan memberikan selembar uang kepada sopir melalui jendela yang terbuka.
Angkot pun pergi. Jasmine berbalik, berjalan menuju pintu rumahnya. Tangannya meraih kunci yang tersimpan di dalam tas. Setelah menemukannya, ia memasukkan kunci ke dalam lubang kunci. Pintu pun terbuka, dia akan masuk. Tapi tiba-tiba...
"Jasmine! Jas!" Ada seseorang yang memanggilnya dari belakang dan dari nada suaranya orang itu seperti seorang pria dewasa, yang mungkin seumuran dengan almarhum Papanya.
Tanpa ragu, Jasmine berbalik. Di sana, berdiri beberapa langkah di depannya, seorang pria dewasa yang tadi memanggil namanya.
Pria itu mendekat, senyum mengembang di wajahnya. "Kamu pasti terkejut. Perkenalkan, nama saya Andrew, teman Papa kamu." Andrew mengulurkan tangan, mengajak Jasmine bersalaman.
Tapi Jasmine tidak membalas uluran tangannya itu. Dia masih menatap penuh tanda tanya kepada pria di hadapannya. Andrew pun menarik tangannya lagi, dia memahami kebingungan Jasmine.
"Saya adalah teman Papa kamu di kantor, juga teman Papa kamu dulu sewaktu kuliah. Nama saya Andrew Wicaksana, saya datang ke sini untuk sekedar berkunjung.
Sewaktu papa kamu menin-ggal seminggu yang lalu, saya sedang sangat sibuk, jadi tidak bisa datang. Hari ini baru bisa. Turut berduka cita ya, semoga Pak Bima tenang di alam sana," ujar pria itu dengan nada lembut.
Jasmine tetap berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan emosi. Dia memiringkan sedikit kepalanya, seolah sedang menganalisis setiap kata yang diucapkan Andrew.
Suasana di sekelilingnya terasa sunyi, meskipun keramaian di luar rumah masih terdengar samar.
"Terima kasih," jawab Jasmine singkat, suaranya datar tanpa ada kehangatan. Dia tidak menunjukkan minat untuk melanjutkan percakapan, seolah menganggap kehadiran Andrew bukanlah hal yang penting.
Andrew jelas merasa canggung dengan sikap Jasmine yang dingin. "Semoga kamu baik-baik saja. Kalau ada yang bisa saya bantu, jangan sungkan untuk hubungi saya ya. Saya bekerja di PT. Chris Evans," ujarnya, berusaha memecah suasana yang kaku.
Jasmine mengangguk perlahan, tetapi tatapannya tetap tajam, seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak memerlukan bantuan siapa pun.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah pintu, menunggu momen untuk melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah.
Setelah beberapa detik hening, dia akhirnya membuka pintu dan melangkah masuk tanpa mengucapkan selamat tinggal. Pintu tertutup dengan lembut di belakangnya, meninggalkan Andrew berdiri sendiri dengan senyuman yang mulai pudar.
Bersambung ...