Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Figure Who Peeked At Fate
Langit Albensiris bergetar ketika Oihen muncul. Tidak ada kilatan dramatis atau ledakan energi — hanya kehadiran yang begitu berat hingga membuat udara terasa padat. Sosoknya tegap dan tinggi, mengenakan armor hitam sederhana yang kontras dengan statusnya sebagai dewa perang. Sebuah pedang panjang tersarung di punggungnya.
"Sudah lama tidak ada yang berani berburu di wilayahku," Oihen berkata, suaranya dalam dan tenang. "Apalagi menghabisi seluruh komandanku."
Arata tidak menjawab. Dia mengamati bagaimana Oihen bergerak — tidak ada gerakan sia-sia, setiap langkah diukur dengan presisi sempurna. Ini bukan gerakan seorang dewa yang mengandalkan kekuatan divine, tapi seorang petarung yang telah mengasah tubuhnya melampaui batas fisik.
"Kau berbeda dari pemburu lainnya," Oihen melanjutkan, masih belum menyentuh pedangnya. "Mereka datang dengan sihir dan teriakan akan kekuatan. Kau... kau membawa darah dan ketepatan."
"Aku tidak tertarik dengan sihir atau kekuatan mentah," Arata menjawab, Agroname tergenggam siaga di tangannya. "Yang kuinginkan adalah esensimu."
Oihen mengangguk pelan, "hmm kalau begitu, tunjukkan padaku bagaimana caramu akan mengambilnya."
Pertarungan dimulai dalam diam. Tidak ada teriakan atau seruan teknik — hanya dua pedang yang beradu dalam presisi mematikan. Agroname bergerak dalam jalur-jalur tajam, mencari celah dalam pertahanan Oihen yang hampir sempurna.
Tapi Oihen bukan dewa perang tanpa alasan. Setiap serangan Arata ditahan atau dialihkan dengan gerakan minimal. Pedang hitamnya bergerak seperti bayangan, selalu berada tepat di tempat yang tepat untuk menggagalkan serangan Arata.
"Teknikmu bagus," Oihen berkomentar di sela pertarungan, "tapi kau masih mencari-cari."
Arata mendecih pelan. Benar, serangannya belum menemukan ritme yang tepat. Darah divine yang dia kumpulkan memberikan kekuatan, tapi Oihen bergerak dengan cara yang berbeda dari dewa-dewa lain yang pernah dia hadapi.
Pertarungan berlanjut dalam dansa pedang yang semakin intens. Tidak ada sihir atau ledakan energi — hanya dentingan logam dan derap langkah yang bergerak dalam harmoni mematikan. Keduanya mulai meninggalkan goresan-goresan di armor masing-masing.
"Kau tidak menggunakan darah divine yang kau kumpulkan," Oihen mengamati. "Kenapa?"
"Karena kau akan mengantisipasinya," Arata menjawab sambil melancarkan tusukan cepat. "Kau sudah melihat bagaimana aku mengalahkan komandanmu."
Oihen tersenyum tipis. "Pintar. Tapi itu berarti kau harus mengalahkanku dengan murni teknik pedang."
"Itulah rencananya."
Pertarungan memasuki fase baru. Arata mulai menemukan ritmenya, Agroname bergerak dalam pola-pola yang semakin sulit dibaca. Tapi Oihen tetap tenang, setiap serangannya efisien dan mematikan.
Darah mengalir dari luka-luka kecil di tubuh keduanya. Armor mereka kini dipenuhi goresan, tapi tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda melemah. Ini adalah pertarungan ketahanan dan teknik — siapa yang lebih dulu kehilangan fokus akan kalah.
"Kau memang berbeda," Oihen akhirnya berkata setelah bertukar puluhan serangan lagi. "Tapi masih belum cukup."
Gerakan Oihen tiba-tiba berubah. Pedangnya yang tadinya bergerak dalam garis-garis lurus kini membentuk kurva-kurva halus yang sulit diprediksi. Arata dipaksa mundur, Agroname nyaris terlepas dari tangannya beberapa kali.
Tapi inilah yang dia tunggu.
Saat Oihen melancarkan serangan terakhirnya, Arata tidak menghindar atau menangkis. Dia membiarkan pedang Oihen menggores bahunya — dan dalam momen itu, Agroname melesat dalam tusukan telak ke dada sang dewa perang.
Darah divine mengalir dari luka di dada Oihen. Tapi dewa itu tersenyum.
"Kau rela terluka untuk melukaiku," dia berkata pelan. "Kau memang layak membawa darahku."
Oihen terhuyung mundur, pedangnya terlepas dari tangan. Arata tidak membuang waktu — Agroname bergerak dalam arc sempurna, mengakhiri pertarungan dengan satu tebasan bersih.
Tubuh Oihen roboh tanpa suara, essence divinenya mengalir ke dalam Agroname seperti sungai. Arata memejamkan mata, merasakan kekuatan baru yang jauh berbeda dari yang dia dapatkan sebelumnya — murni, terfokus, dan dipertajam oleh ribuan tahun pengalaman bertarung.
"Terima kasih," Arata berbisik pada udara kosong, "untuk pertarungan yang berharga."
Langit Albensiris masih bergetar, tapi kini dengan resonansi berbeda. Esensial divine Oihen yang mengalir dalam Agroname menciptakan gelombang energi yang membuat udara berpendar kebiruan. Arata merasakan perubahan dalam pedangnya — Agroname kini bergetar dengan frekuensi yang berbeda, seolah mencoba menyesuaikan diri dengan kekuatan barunya.
Dimensi Adomte, Arata berbisik, rencana selanjutnya untuk melompati Dunia.
Arata mengangkat Agroname ke posisi horizontal, memejamkan mata dan memusatkan konsentrasi.
Retakan pertama muncul di udara kosong, seperti kaca yang retak tapi tidak pecah. Cahaya merembes dari celah-celahnya, membawa aroma yang tidak bisa dijelaskan — seperti campuran antara petrichor dan ozone, tapi jauh lebih dalam dan kuno.
"Sekarang atau tidak sama sekali," Arata menggertakkan gigi, mengalirkan lebih banyak essence ke dalam Agroname. Pedang itu bersinar terang, resonansinya semakin kuat hingga membuat tangannya gemetar.
Retakan di udara semakin lebar, membentuk portal yang berpendar keemasan. Melalui celahnya, Arata bisa melihat pemandangan yang membuat matanya perih — ruang tanpa ruang, waktu yang mengalir ke segala arah, realitas yang terlipat dan terbentang dalam pola-pola yang tidak mungkin ada di dunia normal.
Tanpa ragu, Arata melompat masuk ke dalam. Sensasi yang menyambutnya sulit dijelaskan — seperti tenggelam dan melayang di waktu yang sama, tubuhnya terasa dipecah menjadi partikel-partikel terkecil lalu disatukan kembali dalam hitungan mikrodetik.
Dimensi Adomte membentang di hadapannya — lanskap yang selalu berubah, di mana hukum fisika hanya menjadi saran yang bisa diabaikan. Platform-platform kristal mengambang di udara kosong, terhubung oleh jembatan-jembatan cahaya yang muncul dan menghilang dalam ritme yang tidak bisa diprediksi.
"Jadi ini yang mereka cari," Arata bergumam, memahami mengapa para dewa begitu terobsesi dengan dimensi ini. Di sini, realitas bisa dibentuk ulang sesuai kehendak mereka yang cukup kuat. Tapi kekuatan seperti itu selalu datang dengan harga yang setimpal.
Arata mulai melangkah di atas platform kristal terdekat, Agroname masih tergenggam erat di tangannya. Essence divine dalam pedangnya beresonansi dengan dimensi ini, menciptakan riak-riak energi setiap kali dia melangkah.
"Tunggu aku," Arata berbisik, matanya terfokus pada menara-menara di horizon yang selalu berubah. "Aku akan menemukan kebenaran di balik semua ini."
Dengan tekad yang semakin kuat, Arata melanjutkan perjalanannya menembus Dimensi Adomte.
Langkah Arata terhenti ketika dia menyadari bahwa platform kristal yang dia pijak bukanlah kristal biasa. Permukaannya yang berkilau mulai berpendar dengan cahaya yang berbeda — bukan lagi keemasan, tapi putih keperakan seperti cermin yang dimandikan cahaya bulan.
"Cermin Takdir," sebuah bisikan kuno melintas di benaknya, pengetahuan yang mengalir dari essence divine yang dia kumpulkan. Dimensi Adomte bukanlah sekadar ruang antara ruang — ini adalah galeri tak berujung dari cermin-cermin yang memantulkan tidak hanya bayangan, tapi juga takdir setiap entitas divine yang pernah ada.
Arata melihat ke sekelilingnya dengan pemahaman baru. Platform-platform kristal yang mengambang di udara, jembatan-jembatan cahaya yang berkedip — semuanya adalah cermin. Ribuan, mungkin jutaan cermin yang masing-masing menyimpan jejak takdir yang berbeda.
"Setiap dewa memiliki ceritanya sendiri," Arata bergumam, mulai memahami mengapa tempat ini begitu dijaga. Ini bukan hanya tentang kekuatan — ini adalah arsip dari setiap pilihan, setiap keputusan yang membentuk para dewa menjadi seperti sekarang.
Tapi kemudian, sebuah cermin menarik perhatiannya. Berbeda dari yang lain, cermin ini berdenyut dengan energi yang familiar — energi yang sama dengan yang mengalir dalam Agroname. Tanpa sadar, Arata melangkah mendekatinya.
Bayangan yang terpantul membuat napasnya tercekat.
Dia melihat dirinya sendiri — bukan seperti sekarang, tapi versi yang lebih tua, lebih kuat, dan jauh lebih berbahaya. Arata menyaksikan bagaimana dirinya di masa depan terus memburu para dewa, mengumpulkan essence divine satu demi satu, menjadi semakin kuat.
Hingga akhirnya, dalam pancaran cermin itu, Arata melihat takdir finalnya: sebuah pertarungan melawan sosok yang memancarkan aura kegelapan yang begitu pekat — Noah, raja iblis pertama. Pertarungan yang berakhir dengan kematiannya sendiri,
"Jadi ini..." Arata mundur selangkah, "...yang akan terjadi jika aku terus di jalan ini."
Agroname bergetar di tangannya, seolah merespon realisasi ini. Essence divine dari para dewa yang telah dia kalahkan bergema dengan cara yang berbeda sekarang — bukan lagi sebagai sumber kekuatan, tapi sebagai pengingat akan harga yang harus dibayar untuk setiap nyawa yang dia ambil.
"Takdir bisa diubah," Arata menggenggam erat pedangnya, "tapi hanya jika kita mau melihat ke arah yang benar."
Dia menatap cermin itu sekali lagi, memahami bahwa perjalanannya selama ini mungkin telah mengarah ke tujuan yang salah. Pembunuhan para dewa bukan jawaban yang dia cari — itu hanya jalan menuju kehancurannya sendiri.
Tapi jika bukan ini jalannya, lalu apa?
Cermin-cermin di sekelilingnya berpendar, seolah menunggu Arata menemukan jawabannya sendiri.