Update Sebulan Sekali (Opsional)
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca. The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan di Ruang Terlipat Menuju Raja Binatang Buas Abrahav
Arata melangkah dengan ringan, meninggalkan labirin di belakangnya. Namun setelah beberapa saat berjalan, alisnya berkerut. Pemandangan di sekitarnya terasa familiar - terlalu familiar.
"Hm?" Dia berhenti, mengamati sekitarnya dengan lebih seksama. Pohon-pohon, bebatuan, bahkan pola rerumputan - semuanya persis sama seperti yang dia lihat beberapa menit lalu.
Arata mengambil langkah lagi, kali ini dengan lebih hati-hati. Sepuluh langkah, dua puluh langkah... dia kembali ke titik yang sama.
"Menarik," gumamnya, Sargceva berpendar pelan di mata kanannya. Mata takdir itu menunjukkan sesuatu yang ganjil - seolah ruang di sekitarnya terlipat pada dirinya sendiri, menciptakan loop tanpa akhir.
Arata berputar di tempat, mengamati setiap detail lingkungan. Tidak ada tanda-tanda ilusi atau manipulasi energi divine. Ini sesuatu yang berbeda.
"Jadi begitu," dia mendengus pelan. "Keluar dari labirin hanya untuk masuk ke labirin lain?"
Dia mengangkat tangannya, mencoba merasakan aliran energi di udara. Tidak ada distorsi yang kentara, tidak ada jejak sihir yang biasa. Namun ada sesuatu... sesuatu yang sangat halus, nyaris tak terdeteksi.
"Sepertinya ini akan lebih merepotkan dari yang kukira," Arata bergumam, masih berputar-putar di tempat yang sama. "Siapapun yang merancang ini... cukup cerdik."
Langit di atasnya tetap cerah, matahari bersinar terang - tapi Arata mulai curiga, apakah itu benar-benar matahari yang sama dengan yang dia kenal
Arata mengepalkan tangannya, energi murni berpendar di sekitar tubuhnya. "Jadi ini cara kerjanya..."
Dia mengambil sebuah batu kecil dan melemparkannya ke udara. Batu itu melambung tinggi, namun alih-alih jatuh kembali ke tanah, batu tersebut menghilang - seolah tertelan oleh udara kosong.
"Ruang yang terdistorsi," dia bergumam. "Bukan ilusi, bukan dimensi... tapi sesuatu yang lebih fundamental."
Sargceva berpendar lebih terang, menunjukkan pola-pola tak kasat mata di udara. Seperti benang-benang tipis yang menjahit realitas di sekitarnya, membentuk kantong ruang yang terisolasi.
"Aku tidak bisa keluar..." Arata mengamati sekelilingnya. "Dan sepertinya aku juga tidak bisa menghancurkannya seperti void tadi."
Tiba-tiba, udara di sekitarnya bergetar pelan. Sebuah suara yang familiar terdengar - tawa Halkalmi.
"Kau pikir semudah itu keluar dari wilayahku?" Suara itu menggema dari segala arah. "Yang kau hancurkan tadi hanyalah satu lapisan. Selamat datang di perangkap kedua, Arata."
Arata tetap tenang, namun matanya menyipit. "Aku sudah mengalahkanmu."
"Yang kau kalahkan hanya proyeksi." Suara Halkalmi kini terdengar lebih dekat. "Kau benar soal fragment para dewa... tapi itu hanya pengalihan. Pertunjukan kecil untuk membuatmu lengah."
Udara di depan Arata bergelombang, dan sosok Halkalmi muncul - kali ini lebih solid, lebih nyata dari sebelumnya.
"Sekarang..." Halkalmi tersenyum lebar, "mari kita mulai pertarungan yang sesungguhnya."
Tanpa peringatan, Halkalmi melesat maju. Energi divine miliknya berpendar terang, menciptakan gelombang tekanan yang menghancurkan tanah di bawahnya. Namun Arata tetap tak bergeming, matanya fokus mengamati setiap gerakan.
"MATI KAU!" Halkalmi menghantamkan tinjunya yang berselimut energi divine keemasan.
*BOOM!*
Ledakan energi divine membelah udara, namun Arata sudah tidak ada di posisinya. Dalam sekejap, dia muncul di belakang Halkalmi, tangannya terkepal penuh energi murni.
"Lambat," gumam Arata, melancarkan pukulan balik.
Halkalmi berputar, menangkis serangan Arata dengan perisai divine. Benturan kedua energi menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan bebatuan di sekitar mereka.
"Kau..." Halkalmi mendesis, "memang monster."
"Bukan," Arata menarik tangannya. "Kau yang terlalu lemah."
Kemarahan meledak di mata Halkalmi. Energi divine-nya membuncah, mengubah ruang terdistorsi di sekitar mereka menjadi medan pertempuran yang kacau. Tanah retak, udara bergelombang, dan realitas sendiri mulai tidak stabil.
"LEMAH?!" Halkalmi mengangkat kedua tangannya. "LIHAT INI!"
Ribuan pedang divine muncul di udara, masing-masing berpendar dengan kekuatan yang mampu membelah gunung — "[Galzue]!" teriak Halkalmi.
Pedang-pedang itu melesat ke arah Arata dari segala arah. Namun, Arata hanya tersenyum tipis.
"Masih belum mengerti juga ya?" Energi murni berderak dari tubuhnya, menciptakan pusaran yang menelan semua pedang divine. "Kekuatan sejati... bukan tentang seberapa banyak senjata yang bisa kau ciptakan."
Dalam gerakan yang bahkan tak tertangkap mata Halkalmi, Arata menghilang. Detik berikutnya, dia sudah berada di hadapan Halkalmi, tangan kanannya terangkat.
"Tapi tentang seberapa absolut tekadmu."
*BLAR!*
Pukulan Arata menghantam telak, mengirim Halkalmi terbang menembus beberapa lapisan ruang terdistorsi. Namun alih-alih terluka, Halkalmi tertawa.
"BAGUS! BAGUS SEKALI!" Tubuhnya bersinar terang. "INILAH YANG KUINGINKAN!"
Energi divine meledak dari tubuh Halkalmi, kali ini berbeda - lebih pekat, lebih absolut. Ruang di sekitar mereka mulai runtuh, menciptakan void baru yang lebih dalam dari sebelumnya.
"Mari kita lihat," Halkalmi bangkit, auranya berubah total, "siapa yang lebih absolut di antara kita."
Arata terdiam sejenak, matanya menyipit saat sebuah realisasi muncul dalam benaknya. Sargceva berpendar lebih terang, seolah merespons kesadarannya yang baru terbentuk.
"Ah..." dia bergumam pelan. "Jadi begitu."
Potongan-potongan puzzle mulai tersusun dalam pikirannya. Ruang yang terdistorsi, energi yang tak biasa, dan sensasi familiar yang terus menghantuinya sejak keluar dari labirin - semuanya mulai masuk akal.
"Dimensi Dewa Bencana," Arata mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar. "Raja Labirin Hewan Buas... kau cukup licik juga."
Halkalmi yang masih melayang dengan energi divine-nya terhenti sejenak. "Oh? Kau akhirnya menyadarinya?"
"Bukan kau Raja itu Halkalmi. Pantas saja, terasa berbeda, aku mulai mengerti." Arata melanjutkan, matanya mengamati sekeliling dengan lebih seksama.
"Aku hanya pengawas dari dunia Alkahalam, aku bukanlah sesuatu yang palsu Arata." Tawa Halkalmi menggema.
"Begitu rupanya..." Arata memejamkan matanya sejenak. "Kau hanya penghalang untuk bertemu dengannya - "
"HAHAHA!" Halkalmi tertawa keras. "Kau mengincarnya? Dewa Bencana yang bahkan para dewa lain takut padanya?"
Arata membuka matanya, Sargceva berpendar lebih intens. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu."
Dalam sekejap, atmosfer di sekitar mereka berubah. Energi murni Arata meledak dengan intensitas yang berbeda - lebih dingin, lebih mematikan.
"Kalau begitu," Halkalmi menyeringai lebar, energi divine-nya berkobar. "[Divine Art: Thousand Gates of Heaven: Jicva Arc Tian]!"
Portal-portal emas muncul di sekeliling mereka, masing-masing mengeluarkan senjata divine yang berbeda. "MATILAH KAU!"
Namun sebelum serangan itu mencapai Arata, dia sudah bergerak. Bukan menghindar, tapi melesat lurus langsung ke arah Halkalmi.
"Sudah kubilang..." energi murni terkonsentrasi di tangan kanannya. "Aku tidak punya waktu!"
*CRASH!*
Tangan Arata menembus dada Halkalmi, menggenggam inti energi divine-nya. "Kau bukan targetku."
"Kh..." Halkalmi terbatuk darah, namun masih tersenyum. "Kau... monster... tapi Abravrehevic... dia jauh lebih mengerikan..."
"Aku tahu," Arata meremas inti itu hingga hancur. "Itulah yang kucari."
Tubuh Halkalmi mulai pecah menjadi partikel-partikel cahaya. "Semoga... kau menyesal... Arata..."
Saat tubuh Halkalmi sepenuhnya menghilang, ruang di sekitar mereka mulai berguncang. Dimensi Dewa Bencana mulai merespons kematian pengawasnya.
"Akhirnya," Arata menatap ke kejauhan di mana energi yang jauh lebih kelam mulai terasa. "Abravrehevic Eganzov... Aku bunuh kamu, selanjutnya."
Langkahnya mantap saat dia berjalan menuju kegelapan yang semakin pekat - menuju pertemuan dengan sang Dewa Bencana, Raja dari segala binatang buas.
Arata merasakan ketidakmungkinan ruang di sekitarnya. Setiap gerakan, setiap upaya untuk keluar dari dimensi Alkahalam selalu berakhir pada titik awal. Ruang ini seperti labirin raksasa yang mencengkeram, menolak untuk membiarkannya pergi.
Sargceva berpendar di mata kanannya, menunjukkan pola-pola yang rumit tapi itu bukanlah energi seperti aliran darah. Dia sudah mencoba berbagai metode - memanipulasi energi murni, menerobos barrier, bahkan menggunakan intuisinya yang tajam. Namun hasilnya sama: terjebak.
Arata memunculkan pedang Agroneme. Cahaya keabuan langsung memenuhi tangan kanannya, seolah menusuk kegelapan di sekitarnya. Energi Agroneme terasa berbeda - seperti pisau yang mampu membelah langit.
Dia mengayunkan pedang ke atas, tepat ke titik di mana barrier dimensi terlihat paling solid. Pertama, hanya goresan tipis. Kemudian, retak mulai menyebar.
"[Dimensional Cleave: Czek]," bisiknya.
Barrier itu terasa seperti daging tebal yang diregang. Saat pedang Agroneme menyentuhnya, lapisan pertama robek. Namun lapisan berikutnya jauh lebih keras, lebih padat - seperti membran logam yang tak tertembus.
Arata menekan lebih dalam. Otot-ototnya menegang, energi murni mengalir ke pedang. Setiap sentimeter membutuhkan tekanan luar biasa.
*KRAAAK!*
Barrier yang dipotong Agroneme ternyata benar-benar seperti daging mentah. Sebuah hembusan darah pekat langsung menyembur dari robekan, membasahi seluruh tubuh Arata. Cairan kental berwarna merah gelap itu berbau anyir, mengalir seperti air sungai yang tersembam.
Arata terkejut. Bukan sekadar darah biasa, cairan ini mengandung energi yang luar biasa pekat. Setiap tetesan seolah hidup, bergerak dengan kesadaran sendiri.
"Apa... ini?" gumamnya.
Dia menekan Agroneme lebih dalam. Barrier daging ini terasa seperti mencoba melawan, bergerak aktif menahan pedang.
Energi murni Arata mulai terkuras. Keringat bercampur darah mengalir di wajahnya. Arata mengumpulkan seluruh kekuatannya, mendorong Agroneme dengan sisa-sisa tekad.
"[Undeniable Cut]!" teriaknya.
Ledakan energi murni meledak dari pedangnya. Barrier daging itu mulai robek total, mengeluarkan semburan darah yang semakin deras. Arata terlempar ke belakang, tubuhnya dipenuhi cairan kental berbau anyir.
Namun satu hal yang pasti - dia hampir menembus dimensi ini.
"Sedikit lagi," bisiknya.
Arata berhadapan dengan cangkang terakhir - lapisan paling keras dari barrier dimensional. Permukaan metalik itu berkilat, menolak setiap upaya pedang Agroneme untuk menembus.
"[Fenrehud]," gumamnya.
Energi murni berkonsentrasi di ujung pedang. Setiap molekul Agroneme bergetar dengan frekuensi yang mampu menghancurkan struktur paling solid. Arata mendorong dengan seluruh tekadnya, menciptakan gelombang energi yang mampu membelah realitas.
*TRANGGGG!*
Suara dentingan memenuhi ruang. Cangkang itu retak, namun tidak hancur. Setiap retakan langsung tertutup, seolah memiliki kemampuan regenerasi sendiri.
"Kau benar-benar keras," Arata mendesis.
Arata menatap darah yang berceceran di sekitarnya. Cairan merah pekat itu seolah hidup, bergerak dengan energi aneh. "Sia-sia jika tidak aku ambil,"
Agroneme bergetar di tangannya. Pedang pembunuh jiwa itu mulai menyerap darah di sekitarnya — bagian tubuh Arata yang terkena ceceran ikut terhisap. Awalnya perlahan, kemudian semakin cepat. Setiap tetes darah ditelan pedang, menambah intensitas energinya.
"[Absorption]," bisik Arata.
Darah-darah yang tersebar mulai tertarik ke Agroneme. Cairan merah itu bergerak seperti aliran sungai yang dipaksa masuk ke dalam celah sempit. Sargceva di mata kanannya berpendar, menangkap setiap pergerakan energi.
Pedang itu berubah. Warnanya semakin gelap, mengkilat dengan cahaya merah darah. Energi yang terkandung dalam Agroneme meningkat berkali-lipat.
"Sekarang," Arata mengangkat pedang, "kita selesaikan ini."
Cahaya merah pekat mulai menyelimuti Agroneme, siap untuk menghancurkan barrier terakhir dimensi Alkahalam.
Pedang Agroneme, kini dipenuhi energi darah, menghantam titik cangkang terkuat. Sebuah retakan besar terbentuk - cahaya putih menyembur dari celahnya, membutakan segalanya.
Ketika cahaya mereda, Arata sudah berada di luar dimensi Alkahalam. Udara terasa berbeda, lebih dingin, lebih kelam.
Saat Arata melangkah keluar dari dunia Alkahalam, pemandangan yang tersaji membuatnya terpaku. Seekor kura-kura kuno raksasa memenuhi seluruh cakrawala - ukurannya begitu massif sehingga tubuhnya sendiri seperti gunung yang bergerak.
Cangkang kura-kura itu menutupi hampir separuh ruang yang bisa dilihat mata. Tiap sisik pada cangkangnya seukuran dataran luas, berkilauan dengan cahaya yang aneh dan asing. Seolah makhluk itu bukan sekadar binatang, melainkan sebagian dari realitas itu sendiri.
Sargceva di mata kanannya bergetar, menangkap detail-detail yang tak kasat mata. Arata menyadari - ini bukan sekadar kura-kura biasa. Makhluk ini adalah sesuatu yang jauh lebih fundamental.
"Abravrehevic," bisiknya pelan.
Kura-kura raksasa itu bergerak, menciptakan gelombang dimensional dengan setiap gerakan. Arata berdiri mematung, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Arata melayang di atas dimensi kura-kura raksasa, merasakan setiap gerakan tubuh makhluk itu yang seperti menggerakkan realitas itu sendiri. Sargceva berpendar di mata kanannya, menangkap setiap detail mikroskopis pada permukaan cangkang.
"Yo," sebuah suara familier terdengar di belakangnya.
Arata tidak bergerak, tidak terkejut. Dia sudah tahu siapa yang berbicara.
"Abravrehevic Eganzov," balasnya dingin.
Dewa Bencana itu berdiri di belakangnya, berbicara seolah mereka adalah sahabat lama yang baru saja bertemu setelah sekian lama. Atmosphere di sekitar mereka terasa mencekam, penuh dengan energi yang siap meledak kapan saja.
"Lama tidak jumpa," Abravrehevic tersenyum.
Abravrehevic menatap Arata dengan senyuman yang dingin namun familiar.
"Kau membunuh peliharaan aku," ucapnya datar. "Kura-kura peliharaanku itu sangat patuh."
Energi bencana mulai mengalir, menciptakan gelombang destruktif di sekitar mereka. Dalam sekejap, ruang di sekeliling mereka mulai retak dan bergetar.
"Bayaran untuk pembunuhan itu," lanjut Abravrehevic, "adalah nyawamu."
Sebuah pukulan energi divine langsung mengarah pada Arata, siap menghancurkan segalanya dalam sekali serang.
Abravrehevic melangkah maju, rambut putihnya bergerak tanpa angin. Di tangan kanannya tergenggam sebuah belati transparan yang berkilauan, sementara tangan kirinya memegang sabit berwarna hitam kemerahan disetiap garis ketajaman.
Hawa dingin mengalir dari kedua senjatanya, menciptakan kristal di udara sekitar mereka. Mata Abravrehevic menatap tajam Arata, energi bencana meluap dari tubuhnya.
"Kau salah," balas Arata tenang. "Aku tidak membunuh kura-kuramu."
"Oh?" Abravrehevic mengangkat alisnya.
"Aku membebaskannya."
Belati transparan Abravrehevic berkilat, menciptakan gelombang es yang membekukan udara. Sabit di tangan kirinya bergetar, energi bencana mengalir deras.
"Membebaskan?" Abravrehevic tertawa dingin. "Kura-kura itu adalah fondasi dunia. Tanpanya, seluruh realitas dunia Alkahalam akan runtuh."
"Itulah masalahnya," Arata menggenggam Agroneme lebih erat. "Kau menggunakan makhluk hidup sebagai pondasi dimensimu. Menyiksanya selama ribuan tahun."
Energi divine Abravrehevic meledak, menghantam barrier yang diciptakan Arata. Pertarungan antara energi murni dan energi bencana menciptakan retakan di udara kosong.
Sabit hitam kemerahan melesat ke arah Arata. Namun Agroneme yang kini dipenuhi energi darah dimensional berhasil menahannya. Percikan energi membutakan sekitar.
"[Catastrophe]!" Abravrehevic mengayunkan kedua senjatanya.
Gelombang kehancuran absolut mengarah pada Arata. Udara terbelah, realitas mulai retak. Namun Arata tetap tenang, Sargceva di matanya berpendar semakin terang.
"[Gernodite]!" Teriak Arata.
Darah dimensional yang diserap Agroneme meledak keluar, menciptakan barrier yang mampu menahan kehancuran divine. Kedua energi bertabrakan, menciptakan dentuman yang mengguncang dunia disekitarnya.
Abravrehevic terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa. Energi bencana di sekitarnya perlahan mereda.
"Baiklah, aku melepaskanmu," ujarnya santai. "Lagipula kura-kura itu bukanlah yang paling aku sayangi."
Senjata di kedua tangannya menghilang. Dia melangkah mendekati Arata dengan sikap yang berbeda - lebih rileks, hampir bersahabat.
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.