Dunia Sakura atau kerap dipanggil Rara, hancur seketika saat video dia yang digerebek sedang tidur dengan bos nya tersebar. Tagar sleeping with my boss, langsung viral di dunia Maya.
Rara tak tahu kenapa malam itu dia bisa mabuk, padahal seingatnya tidak minum alkohol. Mungkinkah ada seseorang yang sengaja menjebaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Jovan kembali ke kamar dengan salep luka di tangannya. Dia melihat Rara duduk di atas ranjang, sedang memegang cermin kecil, mengamati luka di wajahnya. Dia yakin, luka tersebut tak terlalu sakit sebenarnya, tapi bukankah, bagi seorang wanita kecantikan wajah adalah hal yang begitu penting. Dia kembali menutup pintu, lalu menghampiri Rara dan duduk di depannya.
Jovan mengambil cermin yang di pegang Rara, meletakkan di atas nakas. "Gak terlalu dalam kayaknya, pasti bekasnya bisa hilang."
"Semoga saja."
Jovan membuka tutup salep, mengeluarkan sedikit isinya ke ujung jari telunjuk. Pelan-pelan, mengoles salep tersebut ke luka Rara.
Rara mendesis pelan saat merasakan perih di lukanya.
"Perih ya?" tanya Jovan.
"Dikit."
Jovan mendekatkan wajahnya, membuat Rara langsung salah tingkah. Jantungnya berdegup dengan kencang, sementara kedua tangannya meremat sprei untuk mengurangi kegugupan. Dia reflek menutup mata dan menggigit bibir bawahnya saat wajah Jovan hanya berjarak beberapa centi saja dari wajahnya.
Rara merasakan hembusan nafas di sekitar lukanya. Perlahan, dia membuka mata dan mendapati Jovan sedang meniup lukanya.
"Masih perih gak?" tanya Jovan sambil sedikit menjauh.
"I-i, eng, eng, enggak," sahut Rara gugup, berusaha menetralkan detak jantung yang berpacu cepat.
"Nanti sore kita ke rumah sakit."
"Enggak, gak usah," Rara menggeleng cepat. "Cuma luka kecil, gak perlu ke rumah sakit."
Jovan menahan tawa melihat Rara salah faham. "Bukan periksa luka itu, tapi periksain baby," dia menyentuh perut Rara. "Aku kan udah janji, akan nemenin kamu periksa kandungan setelah pulang honeymoon."
Rara sedikit merinding dengan usapan lembut telapak tangan Jovan di perutnya. Padahal hanya perut yang disentuh, tapi respon tubuhnya malah berlebihan. "Memang kamu gak capek?"
"Capek dikit. Tapi nanti setelah tidur, paling udah hilang capeknya."
Rara yang kebetulan duduknya agak di tengah, langsung beringsut minggir, memberi ruang pada Jovan agar bisa tidur.
"Kamu sejak jam berapa disini?" tanya Jovan sambil beringsut ke sebelah Rara, menepuk-nepuk bantal yang akan dia gunakan tidur.
"Belum lama kok. Aku sampai disini, terus gak lama kemudian Abang nyampek."
"Udah makan?"
"Em.... " Rara menggeleng.
Jovan melihat ke arah jam dinding, sekarang sudah pukul 1 lebih. "Ya udah, ayo aku temani makan," dia mengurungkan niatannya untuk tidur.
"Gak usah, kamukan capek, istirahat aja. Aku bisa kok, makan sendiri."
"Yakin, bisa makan sendiri disini?" Jovan malah tersenyum mengejek. "Aku sih gak yakin."
Rara tak bisa menahan tawa saat tebakan Jovan seratus persen benar. Mending dia menahan lapar daripada harus ke dapur untuk minta makan. Sumpah, malu banget.
"Ya udah, yuk makan," Jovan beranjak lebih dulu dari ranjang. "Bisa jalan?"
"Emang aku lumpuh?" Rara mencebikkan bibir.
"Alhamdulilah, jadi aku gak perlu capek-capek gendong kamu."
"Ish, jahat!" Rara mendelik kesal.
Di ruang keluarga, ternyata Dista sedang buka-buka isi koper bersama Bu Mariam. Dia membelikan banyak sekali oleh-oleh untuk ibu mertuanya tersebut.
"Mama suka gak, oleh-oleh dari Dista dan Mas Jovan?" Dista sengaja mengeraskan suara agar Rara yang sedang melintas mendengar. Dia tahu kalau Jovan tidak membelikan oleh-oleh untuk Rara.
"Suka sekali sayang. Mana banyak banget oleh-olehnya. Makasih ya. Kamu memang mantu Mama yang paling baik, ngerti banget cara nyenengin Mama," puji Bu Mariam sambil menggenggam tangan Dista.
Jovan mengajak Rara langsung ke dapur karena sudah tak ada makanan di atas meja makan. ART sudah membereskan sejak tadi, sejak kedua orang tuanya selesai makan siang. Dia memanggil ART, memintanya untuk menyiapkan makanan untuk Rara.
"Aku bisa nyiapin makanan sendiri, gak perlu manggil Mbak nya," Rara sungkan pada ART yang dipanggil Jovan. Di rumahnya, dia memang tak pernah dilayani untuk makan. ART hanya bertugas membersihkan rumah, dan nyuci nyetrika.
"Gak Papa Non, ini memang kerjaan saya," ucap Mbak Rani sopan.
"Gak usah panggil Non, panggil Mbak Rara aja." Rara lebih suka dipanggil seperti itu, seperti ART di rumah memanggilnya.
"Nanti saya dimarahin."
"Gak akan ada yang marahin," Rara yakin, mertuanya gak akan ngurusi soal itu.
Mbak Rani melihat Jovan, takut pria itu yang marah.
"Gak papa, kalau maunya dipanggil gitu, nurut aja."
Mbak Rani mengangguk lalu menyiapkan makanan. Jovan mengajak Rara makan di dapur mengingat jaraknya cukup jauh dari ruang keluarga. Dia tak mau Rara mendengar ucapan Dista dan mamanya yang nyelekit. Begitu makanan siap, Rara langsung menyendok nasi ke piring karena dia sudah sangat lapar. Entah efek hamil atau apa, dia memang cepat lapar sekarang.
"Abang makan juga?"
"Enggak, masih kenyang."
Setelah mengambil nasi dan lauk yang diinginkan, Rara mendorong piringnya ke depan Jovan.
"Aku masih kenyang, Ra."
"Em.... anaknya pengen suapin papanya."
"Hah!" Jovan terbengong beberapa saat lalu tersenyum sambil mengangkat sendok dan garpu. "Yakin anaknya yang pengen, bukan mamanya?" goda Jovan. "Setahuku kamu wanita mandiri, ternyata... "
"Ternyata apa?"
Jovan tak langsung menjawab, terlebih dahulu dia menyuapkan sesendok makanan ke mulut Rara. "Ternyata ada sisi manjanya juga."
"Bawaan bayi kali," Rara beralibi, sesungguhnya dia hanya ingin menciptakan momen romantis dengan Jovan, yang mungkin bisa meningkatkan chemistry antara keduanya.
"Itu namanya ngidam, Den," ujar Mbak Rani.
"Tuh, betul banget," Rara menimpali.
Jovan hanya tersenyum, lalu lanjut menyuapi Rara.
"Jangan suka telat makan, kasihan anak aku," ujarnya.
"Bang," raut wajah Rara tiba-tiba berubah serius.
"Hem."
"Kamu sayang gak sih, sama anak kita?"
"Kenapa nanya gitu? Tentu aku sayang, Ra. Dia anakku."
Mata Rara sedikit berkaca-kaca. "Makasih," dia menggenggam tangan Jovan yang ada di atas meja. "Aku akan berjuang lebih keras lagi."
"Berjuang?"
Rara mengangguk. "Berjuang untuk mendapatkan hati ayah dari anakku," ucapnya dengan suara bergetar dan air mata menetes.
sana sini udah kek WC umum istri tersayang Jovan...
nikmati hasil jebakanmu Dista...
goyang gih sampe gempor 🤣🤣🤣🤣
astaghfirullah, rasain lu. malu banget dah kalau tubuh jg sdh dikonsumsi publik
kpok dista..
ganyian yg masuk perangkap fino..
kalo mau ngelayani pasti ngancam nyebarin video dista dan bastian..
bahaya punya koleksi video syur pribadi..
kalo kecopetan atau kerampokan kan bisa disebarin orang lain..