Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilihan yang menyakitkan
Sudah tiga bulan berlalu sejak rumah dan aset-aset keluarga Rangga disita. Arini dan Kirana kini tinggal di rumah kontrakan kecil yang jauh dari kemewahan yang pernah mereka nikmati. Kehidupan berubah drastis, dan mereka berdua terjebak dalam kesulitan yang semakin hari semakin menekan.
Pagi itu, Arini duduk di ruang tamu sambil menghitung sisa uang dari hasil menjual perhiasannya. Tangannya gemetar ketika ia menyadari jumlahnya yang semakin menipis.
“Uangnya sudah hampir habis,” gumam Arini sambil menutup dompet kecilnya.
Kirana menoleh. “Mama bilang uang itu cukup untuk beberapa bulan. Tapi kenapa sekarang sudah habis?”
Arini melirik putrinya dengan tatapan tajam. “Kamu pikir semuanya mudah? Hidup butuh uang. Makan, listrik, semuanya butuh biaya.”
Kirana menghela napas panjang. “Tapi, Ma, Mama kan juga sering keluar untuk arisan atau makan-makan sama teman-teman Mama. Itu kan nggak perlu. Kita ini lagi susah, Ma.”
Nada suara Kirana membuat Arini merasa terpojok. “Jangan mulai mengatur-atur Mama, Kirana. Mama tahu apa yang Mama lakukan!”
“Kalau tahu, kenapa kondisi kita malah makin buruk, BMa?” sergah Kirana. “Aku nggak ngerti kenapa Mama masih peduli sama mereka. Mereka itu bukan teman sejati!”
Arini berdiri dari duduknya, emosinya memuncak. “Kamu pikir Mama tidak tahu itu? Tapi ini soal harga diri, Kirana! Mama tidak mau mereka menganggap kita sudah kalah!”
“Harga diri? Harga diri apa yang Mama bicarakan kalau kita bahkan susah makan?” balas Kirana dengan suara meninggi.
Suasana menjadi tegang. Mata Arini berkaca-kaca, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah di depan putrinya. Kirana, di sisi lain, merasa putus asa melihat ibunya yang tidak mau menerima kenyataan.
***
Siang itu, ketika suasana rumah masih dingin setelah perdebatan mereka, bel pintu berbunyi. Arini berjalan dengan malas menuju pintu, membuka perlahan, dan mendapati sosok wanita berpakaian mencolok berdiri di depan rumah.
“Mirna?” Arini terkejut melihat temannya dari masa lalu.
“Arini! Ya ampun, aku dengar kabar tentang kamu. Aku langsung datang ke sini,” kata Mirna sambil memeluk Arini erat.
Arini hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa malunya. “Masuklah. Rumahnya kecil, tapi... ya, beginilah.”
Mirna melangkah masuk, melihat-lihat keadaan rumah kontrakan itu dengan tatapan menilai. “Aduh, Rin. Nggak nyangka ya, hidup kamu jadi seperti ini. Dulu kamu kan ratu sosialita.”
“Ya, hidup kadang nggak sesuai rencana,” jawab Arini sambil mempersilakannya duduk.
Kirana muncul dari kamarnya, merasa penasaran dengan tamu mereka. Mirna langsung memandangnya dengan mata berbinar.
“Ini Kirana? Ya Tuhan, kamu cantik sekali. Persis seperti waktu ibumu masih muda dulu,” kata Mirna dengan nada kagum.
Kirana hanya tersenyum tipis, merasa tidak nyaman dengan pujian itu. “Terima kasih, Tante.”
Mirna kembali menoleh ke Arini. “Rin, aku sebenarnya mau ngomong serius sama kamu. Aku tahu kamu lagi kesulitan, dan aku punya cara supaya kamu bisa bangkit lagi.”
Arini mengerutkan kening. “Cara apa?”
Mirna mendekat, menurunkan suaranya seolah-olah membisikkan rahasia besar. “Kita ini sama-sama tahu dunia kita dulu, Rin. Dunia itu masih ada, dan aku masih di dalamnya. Banyak yang sukses lagi, bahkan lebih dari sebelumnya.”
Arini terdiam. Ia tahu maksud Mirna. Dunia itu adalah dunia gelap yang pernah ia tinggalkan sejak bertemu Rangga.
“Mirna, aku sudah selesai dengan itu. Aku nggak mau kembali ke sana,” kata Arini tegas.
Mirna tertawa kecil. “Ayolah, Rin. Kamu masih punya pesona. Lelaki di dunia itu tidak peduli soal masa lalu. Mereka hanya peduli soal kecantikan dan gaya.”
“Tapi aku sudah tidak seperti dulu,” bantah Arini. “Lihat aku. Aku sudah tua, tidak ada yang mau.”
Mirna menghela napas panjang, seolah-olah ia sudah menduga jawaban itu. “Kalau kamu tidak percaya diri, itu urusanmu. Tapi aku lihat kamu punya sesuatu yang lebih berharga.”
Arini mengerutkan kening. “Maksudmu apa?”
Mirna mengarahkan pandangannya ke Kirana, yang saat itu sedang sibuk dengan bukunya.
“Putrimu, Kirana. Dia cantik luar biasa, Rin. Dia bisa jadi kunci untuk membangkitkan kehidupan kalian. Banyak orang di luar sana yang rela membayar mahal untuk gadis secantik dia.”
Arini langsung membelalak, marah mendengar saran itu. “Mirna! Apa kamu gila? Itu anakku!”
Mirna mengangkat tangan, mencoba menenangkan Arini. “Tenang dulu, Rin. Aku hanya memberikan saran. Aku tahu ini terdengar buruk, tapi pikirkan masa depan kalian. Kamu mau terus hidup seperti ini?”
Arini menggeleng keras, emosinya bercampur antara marah, takut, dan rasa malu. “Mirna, ini bukan caranya! Kirana adalah anakku, darah dagingku. Aku tidak mungkin tega melakukan itu padanya.”
Mirna mendekat, menatap Arini dengan serius. “Rin, aku nggak minta kamu langsung bilang iya. Aku hanya mau kamu pikirkan. Kamu tahu, anak-anak muda seperti Kirana sekarang ini punya nilai yang luar biasa di mata mereka. Apalagi kalau dia masih... kamu tahu, perawan. Tawaran yang masuk bisa mencapai minimal lima miliar, Rin. Lima miliar!”
Mata Arini melebar mendengar angka itu. Lima miliar. Jumlah yang tidak pernah terbayangkan olehnya dalam kondisi seperti ini. Dengan uang sebanyak itu, ia bisa kembali hidup nyaman, melunasi utang, bahkan menyekolahkan Kirana ke tempat terbaik. Tapi pikiran itu segera dilawan oleh hatinya yang penuh rasa bersalah.
“Mirna, itu gila...” Arini berbisik, suaranya bergetar.
“Gila? Atau realistis?” desak Mirna dengan nada meyakinkan. “Kirana nggak perlu tahu semua ini. Kita bisa membuatnya terlihat seperti perjodohan atau sekadar kenalan biasa. Yang penting, dia nggak merasa dipaksa. Kamu, aku, dan dia semua akan mendapatkan keuntungan dari ini.”
Arini memejamkan mata, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Hatinya berperang hebat. Di satu sisi, ia ingin melindungi Kirana dari dunia yang kejam ini. Tapi di sisi lain, kenyataan hidup menamparnya keras. Hutang semakin menumpuk, dan kebutuhan terus bertambah.
“Bagaimana caranya?” tanya Arini akhirnya, nyaris berbisik.
Mirna tersenyum puas, melihat celah kecil dalam keraguan Arini. “Aku akan atur semuanya. Kamu nggak perlu khawatir. Aku punya banyak kenalan, pria-pria kaya yang akan bersedia membayar mahal. Kamu hanya perlu mempersiapkan Kirana. Beri tahu dia kalau ada seseorang yang ingin mengenalnya. Biarkan dia percaya bahwa ini adalah peluang besar.”
Arini menggigit bibirnya, merasa seperti sedang menandatangani kontrak dengan iblis. Tapi angka lima miliar terus terngiang-ngiang di pikirannya. Mungkin, pikirnya dengan getir, ini satu-satunya jalan agar mereka bisa keluar dari kesulitan ini.
“Baik,” katanya akhirnya dengan suara lemah. “Tapi ini harus terlihat... bersih. Aku nggak mau Kirana merasa terluka.”
“Percayakan semuanya padaku,” ujar Mirna sambil meraih tangan Arini. “Kamu tidak akan menyesal, Rin.”