Jejak Cinta Dan Dosa
Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu, membasahi jalanan yang sudah penuh dengan genangan air. Suara klakson kendaraan bercampur dengan gemuruh petir yang sesekali menggelegar. Di tengah hiruk pikuk kota, seorang perempuan muda berjalan terhuyung-huyung di trotoar, menggigil kedinginan dengan seorang bayi dalam gendongannya. Tubuhnya yang kurus terbungkus pakaian tipis yang sudah basah kuyup, dan matanya terus waspada, seperti seorang pelarian yang tak tahu ke mana harus pergi.
Itulah Arini.
Tepat di bawah lampu jalan yang berkelap-kelip, sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan. Kaca jendela mobil turun, menampilkan wajah seorang pria dengan setelan jas rapi. Wajahnya serius, tapi matanya tajam, seperti menilai sesuatu dengan seksama.
“Permisi,” panggil pria itu, suaranya terdengar tegas meski tak terlalu keras.
Arini berhenti, menatap pria itu dengan waspada. Bayi yang digendongnya mulai merengek pelan, membuatnya semakin gelisah.
“Ya?” balas Arini, nada suaranya penuh kehati-hatian.
“Sedang apa kau di sini malam-malam begini? Dengan bayi pula,” tanya pria itu.
Arini menggigit bibirnya. Dia tidak ingin berbicara dengan pria asing, apalagi di malam seperti ini. Tapi tatapan pria itu tidak seperti yang lain—bukan tatapan jijik atau penuh nafsu seperti yang biasa ia terima. Ada rasa ingin tahu di matanya, bahkan mungkin sedikit rasa iba.
“Saya... sedang mencari tempat berteduh,” jawab Arini singkat, memalingkan wajahnya.
Pria itu menghela napas, lalu membuka pintu mobilnya. “Masuklah. Kau tidak akan bertahan lama di luar seperti ini.”
Arini melangkah mundur. “Saya tidak kenal Anda, Pak. Saya tidak bisa begitu saja menerima bantuan.”
“Saya tidak sedang menawarkan bantuan tanpa alasan. Namaku Rangga Tanaya. Mungkin kau pernah mendengarnya,” ujarnya.
Nama itu langsung menyentak kesadaran Arini. Siapa yang tidak tahu Rangga Tanaya? Pengusaha sukses sekaligus politisi yang sering muncul di berita. Pria ini berdiri di puncak dunia, sementara dirinya... hanya seorang perempuan dengan masa lalu yang kotor.
“Apa maumu?” tanya Arini, mencoba terdengar tegar meski hatinya berdegup kencang.
“Aku hanya ingin membantu,” jawab Rangga dengan nada yang tenang. “Kau terlihat seperti seseorang yang butuh pertolongan. Anak itu juga.”
Bayi di gendongan Arini mulai menangis lebih keras. Dengan panik, Arini mengayun-ayunkan tubuhnya mencoba menenangkan si kecil, tapi tangisannya justru semakin menjadi.
“Setidaknya biarkan aku membawamu ke tempat yang lebih aman. Ada anak di tanganmu. Kau tahu ini bukan tempat yang baik untuknya,” Rangga menambahkan, suaranya lebih mendesak.
Hati Arini terhimpit oleh rasa bersalah. Dia tahu Rangga benar. Bayinya tak pantas berada di tengah hujan dan dinginnya malam.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arini mengangguk pelan. “Baiklah.”
Dia masuk ke dalam mobil, tubuhnya gemetar saat duduk di kursi penumpang. Rangga mengambil mantel dari jok belakang dan memberikannya padanya. “Gunakan ini. Kau akan sakit kalau terus basah seperti itu.”
“Terima kasih,” gumam Arini lirih, membungkus tubuhnya dan bayinya dengan mantel yang hangat.
Mobil melaju pelan melewati jalan-jalan Jakarta yang masih ramai meski malam semakin larut. Selama beberapa menit, hanya suara hujan yang terdengar. Rangga sesekali melirik ke arah Arini, tapi dia tidak ingin memaksanya berbicara.
“Siapa namamu?” Rangga akhirnya bertanya.
“Arini,” jawabnya tanpa banyak ekspresi.
“Dan bayi itu?”
Arini terdiam sejenak sebelum menjawab. “Namanya Kirana.”
“Dia anakmu?”
Pertanyaan itu membuat Arini tertegun. Dia menatap Kirana yang kini sudah tertidur lelap di pelukannya. “Iya,” jawabnya singkat, meski ada keraguan di suaranya.
Rangga menangkap keraguan itu, tapi dia memilih untuk tidak menekannya lebih jauh. “Kau punya tempat untuk tinggal?”
Arini menggeleng. “Tidak ada.”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
Mata Arini berkaca-kaca, tapi dia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Saya tidak punya keluarga lagi.”
Rangga terdiam, mencoba memahami situasinya. “Kalau begitu, kau bisa tinggal sementara di rumahku. Setidaknya sampai kau menemukan tempat lain.”
Arini menoleh cepat, matanya membelalak. “Apa? Tidak, saya tidak bisa...”
“Kau bisa,” potong Rangga dengan tegas. “Aku menawarkan ini bukan karena kasihan. Aku melihat potensi dalam dirimu. Kau hanya butuh kesempatan.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentang aku,” gumam Arini, nadanya penuh kepahitan.
“Kau benar. Tapi aku melihat sesuatu dalam dirimu yang menarik perhatianku,” balas Rangga, menatapnya dengan serius. “Aku tidak percaya seseorang dengan wajah seindah itu dibiarkan menderita seperti ini. Apa pun masa lalumu, aku yakin kau pantas mendapatkan lebih.”
Arini hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Rangga terasa tulus, tapi juga menusuk.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar yang megah, jauh dari kebisingan kota. Pagar tinggi dan taman yang tertata rapi membuat rumah itu tampak seperti istana kecil.
“Ini rumahku,” kata Rangga, membuka pintu mobil.
Arini turun dengan ragu, memeluk Kirana erat-erat. “Apa kau yakin ini ide yang baik?”
“Aku tidak menawarkan sesuatu yang aku tidak yakin,” jawab Rangga. Dia membuka pintu rumah dan mempersilakan Arini masuk.
Di dalam, hangatnya suasana rumah langsung menyelimuti tubuh Arini yang kedinginan. Interiornya mewah, dengan lampu kristal dan lantai marmer yang berkilauan. Namun, lebih dari segalanya, ada perasaan aman yang menenangkan.
Seorang wanita paruh baya, yang tampaknya seorang pelayan, muncul dari dapur. “Pak Rangga, Anda sudah pulang. Siapa ini?”
“Ini Arini dan anaknya, Kirana. Siapkan kamar untuk mereka,” perintah Rangga.
Pelayan itu tampak terkejut, tapi dia segera mengangguk. “Baik, Pak.”
Saat pelayan pergi, Rangga menoleh ke Arini. “Istirahatlah malam ini. Kita bicarakan semuanya besok.”
Arini mengangguk pelan, terlalu lelah untuk membantah. “Terima kasih, Pak Rangga.”
Rangga tersenyum tipis. “Sebut saja Rangga.”
Malam itu, saat Arini berbaring di kasur empuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, ia merasa campuran antara syukur dan takut.
...****************...
Matahari pagi menembus celah tirai jendela kamar, menciptakan pola bayangan di dinding. Arini membuka matanya perlahan. Sudah hampir seminggu sejak Rangga membawanya dan Kirana ke rumah megah ini. Kehangatan yang ia rasakan di tempat ini seperti sesuatu yang hanya ada dalam mimpi. Ia mengalihkan pandangannya ke bayi kecil di sampingnya, Kirana, yang masih terlelap. Hati Arini mencelus penuh syukur.
Terdengar ketukan di pintu. “Bu Arini, sarapan sudah siap,” suara pelayan memanggil dari balik pintu.
Arini bangkit, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia berjalan keluar sambil menggendong Kirana yang baru saja terbangun.
Di meja makan, Rangga sudah duduk sambil membaca koran pagi. Saat melihat Arini datang, ia melipat korannya dan tersenyum. “Pagi, Arini. Bagaimana tidurmu semalam?”
“Baik, Pak Rangga. Terima kasih,” jawab Arini, duduk perlahan.
“Panggil aku Rangga saja. Aku bukan atasanmu, kita tidak perlu terlalu formal,” katanya sambil tersenyum tipis.
Arini mengangguk. “Baik, Rangga.”
Rangga menatap bayi di pelukan Arini. “Kirana terlihat sehat. Dia cukup tenang, ya?”
Arini tersenyum sambil membelai kepala Kirana. “Iya, dia jarang rewel. Dia yang membuatku tetap kuat sampai sekarang.”
Rangga mengangguk, lalu berkata dengan nada serius, “Arini, aku ingin bicara sesuatu yang penting denganmu.”
Arini berhenti menyuapi Kirana dengan botol susu. “Apa itu, Rangga?”
Rangga menghela napas, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. “Aku tahu kehidupanmu sebelum ini tidak mudah. Aku tidak tahu semua detailnya, tapi aku tidak peduli tentang masa lalumu. Yang aku tahu, kau adalah perempuan yang kuat, dan aku menghormatimu karena itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Uti Enzo
hadir thor
2024-11-29
0