Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima - Baju Pink
“Eh Tuan di sini?” ucap Yoga gugup begitu menyadari sosok atasannya kini berdiri di sebelah Asyifa.
“Kenapa kalau saya di sini, Yoga?” tanya Adrian, dingin.
“Ya tidak apa-apa, memang harusnya begitu? Kebetulan nih saya bawakan jajanan pasar, buat cemilan Tuan sama Nyonya,” ucap Yoga.
“Hmmm ... terima kasih, ya sudah sana kamu pulang, saya ke kantor agak siangan!” titah Adrian.
“Siap, Tuan! Selamat bersenang-senang, sudah saya duga pasti ketagihan, kan?” gurau Yoga.
“Jangan banyak bicara! Pulanglah!” perintah Adrian sedikit menekan.
Dengan cengar-cengir melihat wajah Bosnya yang lucu, Yoga langsung pergi meninggalkan rumah Asyifa.
Padahal Yoga masih ingin lama di rumah Asyifa, untuk sekadar makan jajanan pasar bersama sambil ngopi di teras Asyifa.
Ya, Asyifa tidak pernah menyuruh Yoga masuk ke dalam rumah, meskipun ada sesuatu hal yang perlu diperbaiki, entah keran bocor, lampu mati, atau apa,
Asyifa lebih leluasa memanggil orang ahlinya daripada meminta Yoga untuk memperbaikinya, karena ada tetangga yang mengira Yoga adalah suaminya.
Takut digosipkan yang tidak-tidak.
“Benar dia sering ke sini?” tanya Adrian begitu memastikan Yoga pergi.
“Iya, paling bawakan jajanan begini, atau bubur ayam, habis itu sudah pulang, atau dudukan di sini, di teras,” jawab Asyifa.
“Oh jadi lama di sininya?” tanya Adrian lagi.
Dia semakin penasaran sedekat apa Asisten pribadinya dekat dengan Asyifa, “Istri Keduanya”.
“Ya enggak sih, sudah kenapa bahas Mas Yoga sih? Jadi mau ikut belanja sayur tidak? Kalau enggak ya sudah di sini saja, atau Bapak mau pulang?” ujar Asyifa.
“Oh jadi kamu usir saya? Biar bisa lama-lama dengan Yoga di sini? Saya suami kamu lho, Asyifa?” ucap Adrian yang seperti orang sedang cemburu.
“Idih bapak ini lucu, lagian kok dihubungkan sama Mas Yoga?” gerutu Asyifa.
“Panggil dia Yoga saja, tidak usah ada embel-embel Mas!” tegas Adrian dengan sewot.
“Ih bapak, gak sopan dong? Masa aku manggil orang yang lebih tua dari saya dengan nama saja?” protes Asyifa.
“Ya sudah terserah kamu saja, Asyifa!” putus Adrian dengan berjalan mendahului Asyifa.
“Bapak mau ke mana? Perempatan kan sebelah sana? Bukan ke sana, Pak!” teriak Asyifa yang melihat Adrian salah arah.
“Oh iya,” ucapnya dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal
Adrian berjalan di sisi Asyifa, sambil bertanya-tanya pada Asyifa.
Mulai dari soal Asyifa betah atau tidak tinggal di kawasan sekarang.
Tanya bagaimana tetangganya, baik atau tidak pada Asyifa, sampai lagi-lagi bertanya soal Yoga!
“Fa,” panggil Adrian.
“Iya, Pak. Kenapa?” tanya Asyifa.
“Tetangga di sini tahu kamu sudah bersuami?”
Deg!
Asyifa mengangguk. “Iya, tahu. Malah kadang orang yang belum paham, tahunya Mas Yoga itu suami saya. Tapi, langsung saya jelaskan, kalau Mas Yoga itu asisten Bapak, dan Bapak belum bisa pulang karena masih banyak pekerjaan,” jelasnya..
“Mas Yoga lagi?” cebiknya kesal.
“Maksud saya Pak Yoga, Pak,” ucap Asyifa meralat panggilannya pada Yoga.
“Bagus, mulai sekarang panggil Pak Yoga saja,” ucap Adrian.
“Baik, Pak,” jawab Asyifa nurut.
Setelahnya, tak ada percakapan lagi.
Untungnya, tak lama keduanya sampai di pangkalan Tukang Sayur.
Sudah banyak ibu-ibu yang sedang belanja.
Asyifa sendiri menyapa mereka dengan ramah, sambil memilih sayuran dan bahan masakan lainnya yang diperlukan.
“Mbak Asyifa itu siapa?” tanya tetangganya Asyifa memulai pembicaraan.
“Oh ini suami saya, Bu,” jawab Asyifa.
Adrian hanya tersenyum mengangguk ramah menyapa ibu-ibu yang sedang belanja.
“Oh suaminya keren ternyata, pantas Mbak Asyifanya makin cantik saja?” puji salah satu tetangga Asyifa.
“Ibu bisa saja,” ucap Asyifa menahan malu.
Wanita itu segera membeli beberapa potong ayam dan tempe, lauk favoritnya.
Selesai memilih sayuran dan lainnya, penjual sayur pun menghitung semua belanjaan Asyifa.
“Totalnya seratus dua puluh satu ribu, Mbak.”
“Baik, Pak.” Asyifa mengambil dompetnya dan akan membayar belanjaannya, namun dihentikan oleh Adrian.
“Ini saja, Pak. Kembaliannya buat bapak,” ucap Adrian sembari memberikan dua lembar 100 ribu.
“Aduh bapak, ini kembalinya masih banyak sekali, Pak,” ucap Penjual Sayur.
“Sudah tidak apa-apa, ambil saja, Pak.”
“Ya sudah terima kasih, Pak!”
Adrian mengangguk. Dia pun menoleh pada Asyifa. “Ayo sudah, kan? Sini tas belanjaannya saya bawakan,” ucapnya lembut.
“Ah iya, sudah,” jawab Asyifa gugup.
“Mari ibu-ibu, saya pulang dulu,” pamitnya, menahan semu merah di wajahnya sembari berjalan di sebelah Adrian yang membawakan tas belanjaannya.
Dalam diam, Adrian juga memperhatikan Asyifa yang banyak dikenal baik oleh tetangganya.
Tanpa disadari, pria kaya itu semakin menikmati jalan-jalan pagi hari sambil membawa tas belanjaan dan bercerita dengan Asyifa.
Ternyata Asyifa enak diajak bicara, tidak seperti yang Adrian kira kalau Asyifa itu pendiam.
Apalagi sekarang Asyifa semakin terlihat manis dan anggun.
Pakaiannya juga tidak terlalu kampungan sekali. Meski hanya menggunakan rok model A dan T-shit yang tidak terlalu ketat, Asyifa benar-benar anggun dan manis sekali.
“Oh iya, Asyifa. Kamu kelihatannya sekarang beda sekali. Kamu tidak pakai krim abal-abal kan, Fa?” tanya Adrian tiba-tiba.
Asyifa sontak menganga. “Ih enggak, Pak. Saya ikut Mbak Sri perawatan di klinik yang tidak jauh dari sini, klinik itu milik Dokter Kecantikan yang ada di seberang sana itu lho!”
“Kenapa, Pak? Apa bapak tidak suka, dan itu menambah pengeluaran bapak?” tanya Asyifa, mendadak khawatir.
“Bukan begitu, saya malah tahunya uang kamu kurang? Tidak kurang kan uang yang saya kasih?”
“Malah yang tiga bulan uangnya masih utuh, Pak. Belum saya pakai, masih utuh di amplop yang Pak Yoga kasih.”
“Lha kamu memang gak beli apa-apa gitu?” tanya Adrian, heran, “Beli baju, sepatu, tas, make-up, parfum, atau apa gitu?”
“Belilah, Pak? Tapi kan secukupnya, tidak usah berlebihan,” jawab Asyifa.
“Ini juga kamu belanja kok murah sekali, segini banyaknya tidak ada dua ratus ribu?”
“Ya makanya saya suka belanja di Pak Bejo, Pak. Murah terus barangnya masih fresh semua,” jawab Asyifa.
Adrian mengangguk. Dia semakin merasa bersalah karena terlalu cepat menilai Asyifa dulu.
Tak terasa, keduanya sampai di rumah.
Adrian pun memutuskan untuk membantu Asyifa menata sayuran di lemari pendingin.
Hanya saja, pria itu mendadak merasa tak nyaman dengan pakaian di tubuhnya.
“Aduh, saya tidak bawa ganti, Fa. Saya keringatan sekali, ternyata jalan-jalan enak ya, jadi berkeringat gini?”
“Terus gimana, Pak? Bapak mau mandi? Ada kaos oblong cukup besar milik saya, apa bapak mau pakai? Tapi ....”
"Tapi, apa, Fa? Warnanya pink, atau apa?” tanya Adrian.
“I—iya, Pak. Warnanya Pink, dan gambarnya Hello Kitty,” jawab Asyifa tertawa kecil.
“Aduh, selain itu gak ada, Fa?” tanya Adrian.
“Itu yang paling besar, yang mungkin pas di badan bapak,” jawab Asyifa.
“Ya sudah, saya mau pakai lah, saya ke kantor siangan saja nanti, atau tidak usah ke kantor saja lah, ada Yoga juga, saya mau di sini saja,” ucap Adrian.
“Yakin mau? Helo Kitty lho, Pak?” tanya Asyifa memastikan.
“Ya mau gimana lagi? Darurat, Fa. Gak mungkin saya pulang ke rumah Naura dulu, puter baliknya jauh sekali, lagian saya sedang malas pulang, Fa,” jawab Adrian
“Ya sudah bapak mandi gih, nanti baju dan celananya saya cuci dulu, biar bisa dipakai lagi nanti kalau sudah kering,” ucap Asyifa.
“Baiklah,” ucap Adrian.
Asyifa langsung ke kamar, mengambilkan handuk untuk Adrian.
food
Untung saja Asyifa beli handuk lagi kemarin, jaga-jaga kalau suaminya datang.
Sayangnya Asyifa tidak membeli baju untuk Adrian, dan pakaian dalam untuknya.
Sementara itu, Adrian mengekori Asyifa untuk masuk ke kamarnya.
“Ini handuknya, Pak. Dan, ini kaos yang tadi saya bilang,” ucap Asyifa memberikan handuk dan kaos untuk Adrian.
Pria itu memperhatikan pakaian itu dengan dalam. “Pink betulan ini, Fa? Hello Kitty juga gambarnya?”
“Iya adanya begitu, lihat saja nih di lemari adanya kecil-kecil ukurannya, Pak,” ucap Asyifa.
“Aku gak salah lihat? Ini baju kamu, Fa? Segini saja?” tanya Adrian.
“Iya, memang kenapa, Pak?” jawab Asyifa.
“Kamu aneh ya? Lemari segede ini Cuma buat nyimpan baju dua susun saja? Ini yang tiga susun untuk apa, Fa? Baju kamu juga modelnya begini saja? Gak beli gaun atau apa, Fa?” tanya Adrian.
“Lah aku mau beli baju seperti apa, Pak? Ya memang butuhnya segini?” jawab Asyifa.
Adrian menggelengkan kepala, tak senang. “Ini juga, kenapa meja rias isinya skincare satu paket, parfum satu aroma, lipstik satu warna, sama bedak saja? Terus eye shadow, maskara, eye liner mana, Fa?”
“Mulai bulan depan, saya kirimkan uang tambahan, ya?’ ucap pria itu lagi.
“Hah?”