Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Gudang Tua
Widuri berjalan melewati jalanan sepi nan gelap, tak ada rasa takut di hatinya, karena dia sedang merasa bahagia sekali. Hari ini dia nyatakan resmi diterima bekerja menjadi sekretaris tetap, setelah mengikuti masa percobaan selama satu minggu di kantor hukum milik Pak Wijaya.
Widuri tak menyangka pertemuannya dengan Pak Wijaya membuatnya mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris. Seolah sudah takdirnya, di hari ketika pak Wijaya menolong lalu mengantarnya pulang. Pak Wijaya mendapatkan kabar kalau sekretarisnya mengundurkan diri karena alasan pribadi.
Widuri yang mendengarnya langsung memanfaatkan hal tersebut, dan menawarkan diri. Tak di sangka Pak Wijaya pun setuju, dan langsung menyuruh Widuri untuk datang ke kantornya keesokan harinya sambil membawa lamaran, dan data diri yang lengkap. Widuri memang belum pernah berpengalaman sebagai sekretaris, tapi karena rasa kasihan Pak Wijaya pun menerimanya dan memberikan masa percobaan.
Widuri terus mengamati name tag yang sekarang mengkalung di lehernya dengan senyum yang tak ada habisnya. Dia juga mulai membayangkan wajah Pak Wijaya. Bukan hanya wajah, tapi kepribadian dan kepintaran Pak Wijaya membuat Widuri semakin hari semakin terpesona.
"Ah, seandainya aku menjadi istri Pak Wijaya, aku bisa 24 jam melihat senyumannya yang manis itu," batin Widuri berandai-andai.
"Sayangnya Pak Wijaya udah punya istri, enggak mungkin kan aku jadi pelakor." Widuri kembali kesal. "Tapi, semoga aja deh Pak Wijaya cepat bercerai dari istrinya, jadi aku bisa dekati Pak Wijaya dengan leluasa."
Di tengah pikirannya yang sedikit di luar nalar. Tiba-tiba Widuri mendengar suara seseorang terisak meminta tolong. Suara itu terdengar samar dan pelan membuat bulu kuduk Widuri merinding. Dia mengamati jalanan yang gelap dan sepi, yang ada di sekitarnya.
"Suara apa itu?" Widuri takut itu bukan manusia.
"Ah, harusnya aku tak pulang lewat jalan ini." Dia menyesal sudah memilih jalan pintas yang sepi untuk pulang ke tempat kosnya yang baru.
Kepalanya terus menoleh ke kiri, dan ke kanan mencari asal suara, hingga dia yakin mendengar suara itu dari dalam sebuah gudang yang tak terpakai .
Dengan perlahan, dan langkah gemetar dia mendekat ke arah pintu gudang tersebut, lalu mengintip celah. Matanya membelalak saat melihat seorang wanita lanjut usia sedang terikat di atas kursi, dan dikelilingi oleh empat laki-laki bertubuh besar yang sepertinya adalah penjahat.
"Gawat! Ada penculikan!" Widuri seketika membekap mulutnya agar tak menimbulkan suara.
"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menolongnya atau pura-pura tak melihatnya?" batinnya.
Widuri merasa bingung, tapi melihat sosok ibu itu mengingatkannya pada ibunya sendiri.
"Haruskah menelpon polisi?" Dengan ragu Widuri mengeluarkan ponselnya, dan dan disaat bersamaan panggilan dari Pak Wijaya masuk ke ponselnya.
Widuri gegas mengangkat panggilan itu. "Halo Pak...." Suaranya pelan dan gemetar.
Wijaya yang berada di seberang telepon pun merasa aneh mendengar suara Widuri, dan langsung bertanya. "Kamu kenapa Widuri? Suara kamu terdengar kayak ketakutan begitu?"
"A- Ada penculikan Pak." Widuri terbata. "Gu-gudang bekas di jalan merpati. Ada ibu-ibu sedang disekap."
"Apa maksud kamu? Kamu diculik?"
"Bukan Pak, --" Widuri hendak mengatakan, tapi tiba-tiba seseorang merebut ponsel dari tangannya.
"Rupa-rupanya Ada yang menguping nih bos." Ternyata keberadaan Widuri diketahui oleh salah satu penjahat.
Widuri menggeleng dengan tubuh gemetar. "Sa-saya enggak lihat apa-apa, tolong jangan sakiti saya."
"Enggak lihat apa-apa gimana! Gue lihat jelas barusan lo nelepon seseorang! Sekarang lo harus ikut masuk!" Penjahat itu menyeret tubuh Widuri dengan paksa.
Widuri berusaha meronta saat penjahat itu menyeret tubuhnya, dia juga berteriak. "Jangan coba-coba sentuh saya!" Dia melayangkan tasnya ke arah penjahat.
"Berani banget ini cewek." Penjahat itu berhasil menghalau perlawanan Widuri, lalu merebut tas di tangan Widuri, lalu melemparnya ke sembarang arah.
Salah satu temannya yang lain mendekat, dan mengamati Widuri. "Kalau dilihat-lihat bodynya nih cewek bagus juga. Kayaknya seru buat di unboxing." Penjahat bertato itu mulai mencolek-colek tubuh Widuri
"Jangan sentuh saya!" Widuri berteriak sambil menepis tangan penjahat itu. Dia berusaha terlihat berani. Walau sebenarnya dia ketakutan setengah mati.
"Udah! Udah! Biarkan dia, dan ikat saja dulu. Kita harus urus target kita ini!" ucap seseorang yang merupakan pemimpin dari para penjahat tersebut.
"Kita harus cepat hubungin keluarganya, dan minta tebusan yang banyak. Baru setelah itu kita nikmati perempuan itu beramai-ramai." Laki-laki itu mendelikkan matanya ke arah ibu yang terikat, dan juga Widuri.
Widuri menggeleng ketakutan saat kedua penjahat di dekatnya mulai mengikat tangan dan kakinya.
Sementara Widuri di ikat, penjahat yang seperti bos itu menyodorkan ponsel ke hadapan ibu yang terikat. Namun, nomor yang dihubungi olehnya tampak tak menerima panggilan.
"Sialan dia tak mengangkat telepon, apa dia tak peduli dengan keselamatan istrinya," geramnya.
Perempuan yang terikat itu tersenyum smirk. "Kalian pikir suami saya akan mengeluarkan uang buat penjahat kayak kalian! Kalian enggak akan dapat sepeserpun, dan lihat aja, saya akan jeblosin kalian semua ke polisi!"
"Masih berani bicara rupanya ini Ibu, mau kita habisi sekarang juga!" Penjahat itu menodongkan sebuah pisau membuat tubuh perempuan yang disanderan itu sedikit gemetar.
Widuri yang sedang diikat tangannya hanya bisa berharap Pak Wijaya akan datang menolongnya, dan benar saja tak lama pintu gudang itu terbuka karena tendangan seseorang dari luar.
Dengan setelan jas yang masih menempel rapi Pak Wijaya berdiri di ambang pintu dengan keberanian, dan tatapan yang dingin tanpa rasa takut.
"Pak Wijaya ...." batin Widuri mulai merasa aman.
Namun, tatapan dingin itu berubah terkejut saat melihat perempuan lanjut usia yang diikat di kursi.
"Mama!" seru Pak Wijaya.
"Wijaya!" seru perempuan yang tak lain adalah Bu Fatma.
"Lepaskan mereka sekarang juga!" Pak Wijaya mengepalkan tangannya, dan matanya terlihat penuh amarah. "Berani sekali kalian menyentuh orang yang saya ayang!"
Penjahat itu terkekeh. "Oh, jadi lo Wijaya, anak Pak Edward pengusaha yang kaya raya."
"Baiklah, kita bakal lepasin ibu kamu ini, tapi sediain dulu uang sebanyak lima milyar!"
Pak Wijaya terkekeh. "Kalian pikir saya sudi memberi uang pada penjahat kacangan seperti kalian, jangan mimpi."
"Baiklah kalau gitu, gue bakal sakiti ibu lo!" Penjahat itu menodongkan pisaunya ke arah leher Bu Fatma, lalu tak diduga Pak Wijaya dengan cepat menendang kaleng kecil di dekatnya hingga mengenai tangan penjahat itu.
"Lepaskan, mereka sekarang juga! Mumpung saya masih bersikap baik!" ancam Pak Wijaya.
Penjahat itu terlihat kesal, dan terkekeh mendengar ucapan Pak Wijaya. "Nantang kita dia rupanya. Emang dia pikir kita takut!"
"Ayo sikat!"
Pak Wijaya memasang kuda-kudanya, dan empat penjahat mulai berlari ke arahnya sambil melayangkan beberapa pukulan. Tak disangka Pak Wijaya bisa berkelit menghindari pukulan-pukulan itu.
Widuri pun semakin kagum, dari penampilannya Widuri hanya bisa menilai Pak Wijaya sebagai orang yang pintar saja, dia tak menyangka kalau Pak Wijaya juga pandai berkelahi.
Di saat Pak Wijaya terlibat perkelahian dengan para penjahat. Widuri menggunakan kesempatan itu untuk kabur, kebetulan tali yang mengikatnya belum terpasang dengan benar. Lalu dengan cepat Widuri juga melepas tali yang mengikat Ibu Fatma.
"Ayo, Bu kita pergi!" Widuri menuntun Ibu Fatma, dan mengajaknya keluar dari pintu samping.
Keduanya berhasil keluar, dan Ibu Fatma nampak mencemaskan Pak Wijaya yang masih terlibat perkelahian. "Ya ampun Wijaya ...anakku ... dia melawan empat orang itu sendirian."
"Ibu yang tenang ya, saya akan membantu Pak Wijaya. Ibu lebih baik pergi dari sini, dan cari bantuan," ucap Widuri.
Ibu Fatma mengangguk mengerti lalu Widuri kembali masuk ke dalam untuk membantu Pak Wijaya. Disaat Widuri masuk terlihat salah satu penjahat sedang melayangkan sebuah papan ke arah Pak Wijaya, dan Pak Wijaya tak menyadarinya.
Dengan cepat Widuri berlari sambil berteriak. "Awas, Pak!"
Widuri mendorong tubuh Pak Wijaya, dan melindungi Pak Wijaya, hingga papan itu mengenai kepalanya sendiri.
"Widuri! Pak Wijaya berteriak, lalu segera menangkap tubuh Widuri yang limbung.