Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laut dan hal-hal yang aku benci 1
Aku heran kenapa orang-orang suka pergi ke tepi laut saat sore hari. Katanya, salah satu cara menyembuhkan luka hati adalah dengan menatap laut berlama-lama. Teori yang aneh. Apa hubungannya hati yang patah -dipatahkan, dengan laut? Apakah orang-orang seperti ini percaya bahwa laut adalah tempat buang sial. Dan, patah hati adalah salah satu bentuk kesialan.
Namun, sore ini aku juga tidak mengerti. Aku berdiri di tepi laut sendiri. Ya, meski banyak orang yang lain. Aku memilih berdiri sendiri. Menatap ke arah laut. Aku datang ke sini sendirian. Tadi sepulang dari kampus. Dan, semuanya memang di luar perencanaanku hari ini. Awalnya, ketika baru terbangun, aku berencana ke toko buku, lalu membeli bekal makanan bulanan. Sebagai anak indekos aku memang sudah biasa mengatur kebutuhanku sendiri.
Entah apa yang membuat pikiranku berubah. Aku malah datang ke tepi laut ini. Sudah dua puluh menit aku berdiri. Menatap nanar ke tengah laut. Di sini orang-orang sama sekali tidak saling peduli. Kalau tidak kenal, mereka tidak akan saling menyapa. Jadi, aku aman berdiri sendiri di sini. Tidak seorang pun yang lalu lalang di hadapanku mengenaliku.
Angin laut sore ini terasa lebih kencang dari biasanya. Kalau biasanya, sepasang kekasih masih bisa bermesraan, sekarang angin malah merusak rambut mereka. Jadi, tidak ada satu orang pun yang berpelukan di tepi laut. Setidaknya, itu salah satu hal yang membuatku nyaman berada di sini. Aku memang tidak suka melihat orang-orang berpelukan di hadapanku. Apalagi di pinggir laut yang terbuka seperti ini. Ya, aku benci melihat orang berpelukan.
Tidak ada alasan yang lain. Aku juga tidak punya kelainan. Hanya saja aku memang tidak suka melihat orang berpelukan. Pertama kali aku mulai tidak menyukai hal itu. Sekitar empat tahun lalu. Perempuan yang aku cintai memeluk lelaki lain di pinggir laut yang lain. Bukan laut ini. Dan, si lelaki bajingan itu mengecup lembut lehernya. Itulah satu-satunya hal yang membuat aku membenci adegan pelukan. Jadi, tolong! Kalau sedang berada di dekatku, jangan berpelukan dengan kekasihmu!
Tentu, selain orang-orang berpelukan. Jangan ciuman di hadapanku. Alasannya sama, aku benci melihat lelaki bajingan itu mengecup lembut leher kekasihku. Setiap ada yang melakukannya, aku teringat hal menjijikkan itu. Bukan ciumannya yang menjijikkan, tetapi kekasihku dan kemauan lelaki itu.
Aku menahan angin dengan telapak tanganku. Melindungi mataku. Pasir pantai ikut beterbangan. Angin terlalu kencang sore ini. Beberapa orang malah terlihat meninggalkan pantai. Mungkin mereka takut. Atau mungkin cinta mereka tak pernah sekuat badai yang mengempas pantai.
Sudah setengah jam aku berdiri di sini. Dan, anehnya aku tidak bosan sama sekali. Sore semakin turun mendekati senja. Orang-orang semakin sepi saja. Aku tetap menatap laut. Meski membenci beberapa hal yang berkaitan dengan laut. Sebenarnya. aku juga menyukai sebagian dari laut. Aku menyukai riak-riaknya, kadang terlihat lembut, kadang menggenaskan. Seperti perasaan orang yang sedang jatuh cinta. Setiap menatap laut aku membayangkan aku sedang jatuh cinta. Itulah alasan aku membenci orang-orang yang datang ke laut hanya untuk menenangkan hati mereka yang patah.
Angin yang kencang membawa awan, lalu membias di balik cahaya matahari.
Tetapi laut ini semakin sepi saja. Hanya ada beberapa orang yang tersisa. Gerimis yang tiba-tiba turun membawa mereka menjauh. Atau mungkin memang sudah pada jenuh. Sementara aku masih tetap berdiri. Aku pikir tidak ada salahnya menikmati gerimis di tepi laut. Meski sendiri, ini tetap romantis. Karena terkadang hal romantis tidak hanya bisa diberikan kepada pasangan. Namun, juga bisa kepada diri sendiri.
Gerimis yang turun tidak terlalu banyak. Hanya membias seperti embun di pagi yang paling buta. Jadi, tidak akan membasahi tubuhku. Dan, gerimis kali ini terasa lebih romantis membias di bawah cahaya matahari yang tak lagi garang.
Aku berdiri menatap laut. Seperti sedang menumpahkan segala perasaan. Juga menumpahkan segala hal-hal yang aku benci.
Beberapa menit kemudian, sudah hampir satu jam aku berdiri di sini. Hanya menatap laut, menikmati gerimis yang pelan-pelan membasahi pipiku.
"Hei... kenapa berdiri di sana?" sorak seorang lelaki
Aku hanya tersenyum. Tidak menanggapi apa-apa.
Lalu dia melompat ke dalam ombak. Dia sepertinya sedang mabuk berat, atau memang tampangnya saja yang terlihat begitu Kusut.